Hari ini tepatnya dia hari Mas Fatir di Perusahaan. Berarti Ia ajan pulang. Aku pun sudah mempersiapkan diri jika kami harus bertengkar karena masalah ini.
Ku dengar suara motor Mas Fatir yang berhenti tepat di depan rumah.
"Assalamualaikum...Bun..." Mas Fatir mengucapkan salam saat Ia memasuki pintu yang memang sudah terbuka.
"Wa'alaikum salam Yah..." Aku pun menjawab salam Mas Fatir kemudian mencium tangannya dengan takzim.
Aku melayaninya seperti hari-hari biasanya. Ku siapkan air mandinya, ku siapkan pula baju gantinya. Baju kotor Mas Fatir pun sudah ku masukkan ke mesin cuci. Makan siang Mas Fatir pun telah siap.
Aku sengaja menyuruh Rahima adikku untuk menjemput Widya dan kifli untuk di titipkan di rumah Ayah dan Ibuku. Alasannya pun telah ku sampaikan pada Rahima, dan Aku mengancamnya agar tak menceritakan kepada Ayah dan Ibu.
Selesai makan siang, Mas Fatir kemudian mendudukkan tubuhnya di ruang TV. Tempat ini memang tempat faforitnya jika sudah menyelesaikan apapun termasuk makan.
Setelah membersihkan sisa makan siang kami berdua, Aku pun membuatkannya secangkir kopi. Perlahan aku pun mulai membuka pembicaraan setelah meletakkan kopi tepat si hadapannya lalu duduk tepat di sampingnya.
"Yah...apa Bunda boleh bertanya...??" ucapku dengan nada lembut.
"Iya Bun...ada apa???" jawabnya
"Mmmmm...tadi waktu bersih-bersih Bunda nemuin ini..." ucapku kemudian memberikan buku rekening itu pada Mas Fatir.
Melihat Buku rekening yang aku sodorkan untuknya sontak membuatnya terkejut. Seakan-akan matanya ingin keluar dari sarangnya saking melototnya melihat penampakan benda biru yang ada di hadapannya.
"Lho...ayah kenapa??" tanyaku tanpa dosa. Aku tau Mas Fatir menyembunyikan sesuatu dariku, makanya Ia bereaksi berlebihan seperti ini.
"Kamu ko buka-buka barang pribadi Aku sih..!!"ucap Mas Fatir dengan ketus. Dan jika Ia marah iya akan menggunakan kata Aku dan kamu.
"Lho...ko Ayah marah sih" tanyaku tetap dengan suara tenang.
"Ya jelas Aku marah dong...Kamu udah berani beraninya membuka barang-barang pribadi aku..kamu lancang ya..!! Mas Fatir semakin meninggikan suaranya.
"Lho emang kenapa kalau aku membuka barang pribadi kamu, Aki ini istri kamu..luar dalam kamu juga hak aku Lo Mas..." aku pun mulai tersulut emosi. Aku tak terima Mas Fatir membentak ku hanya karena aku menemukan buku rekening miliknya.
"Sekarang jelaskan padaku Mas...berapa gajimu sebenarnya??? Mas tau aku banting tulang untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga dan anak-anak. Uang satu juta yang Mas berikan tiap bulan itu tak cukup Mas...!!" Aku pun menjelaskan pada Mas Fatir.
"Kamu mulai mengeluh..??? bukannya kewajiban kamu juga membantu suami mencukupi kebutuhan rumah tangga..??? Mengapa harus membebaniku diriku saja?? Aku rasa uang satu juta rupiah itu sudah sangat cukup!!" ucapan Mas Fatir semakin ngawur.
"apa Mas bilang??? kewajiban aku juga membantu suami memenuhi kebutuhan rumah tangga?? apa aku ngga salah dengar???" ucapku mulai kesal.
" nggak" jawab Mas Fatir cepat.
"Lalu untuk apa kamu jadi suami Mas??? semua itu tugas kamu... memenuhi kebutuhan rumah tangga kita, anak-anak. dan juga Aku." jelasku lagi mencoba menyadarkan pemikiran Mas Fatir.
"Halaaa...lebih baik aku menghabiskan uang hasil keringat ku dengan orang tua dan adikku daripada denganmu!" jawab Mas Fatir dengan begitu ketus.
"astagfirullah Mas...emangnya aku dan anak-anak ini ngga penting untukmu??? aku ini istrimu Mas dan anak-anak...sudah sepantasnya gajimu itu kamu habiskan dengan kami.... Astagfirullah Mas...jadi selama ini kamu menganggap kami ini benalu???" sungguh Aku tak mengerti jalan pikiran Mas Fatir. Memang Orang tuanya yang telah merawatnya hingga sampai sukses menjadi seorang Mandor. Tapi, saat dia memutuskan untuk menikahi ku dan memiliki anak, tanggung jawab itu otomatis beralih pada kami. Tanpa harus mengesampingkan orang tuanya.
" haaaaaaa... sudahlah...aku malas berdebat denganmu...baru pulang kerja udah bikin aku pusing aja..." ucap Mas Fatir mencoba menghindar dari pertanyaan ku.
" Lho Mas, Aku belum selesai ngomong??" Aku tak terima jika Ia mengabaikan ku seperti ini. Ia harus menjelaskan padaku kemana uang dua juta rupiah itu. Bukannya aku gila akan uang, tapi Ia menyuruhku untuk hemat dan bisa menabung dengan uang pemberiannya yang hanya satu juta rupiah sebulan itu, Lalu uang dua juta rupiah itu Ia berikan pada siapa??? Kalau untuk Ibunya pun kan wajib Ia jelaskan.
"Apalagi sih..." kesalnya saat aku menarik tangannya. Ia pun menghentakkan tanganku dengan kasar.
" jelaskan padaku Mas kemana uang dua juta rupiah itu...mas kasih ke Orang tua mas? atau kemana Mas?" Aku mulai geram melihat sikap Mas Fatir yang mulai tak jujur padaku.
"Kamu ngga perlu tau...lagian sebagai istri itu harus terima apa adanya apapun yang di berikan suami..tak perlu tau urusan yang lainnya." sarkasnya. Aku tak terima dengan penjelasan Mas Fatir. Enak saja Aku di suruh menerima apa adanya uang yang Ia berikan sebulan satu juta rupiah namun tak mencukupi kebutuhan???
" Ya aku harus tau dong Mas...kita ini suami istri saling terbuka itu hal wajar...!!! sekarang jelaskan padaku Mas..." Aku masih mencoba untuk meminta penjelasan dari Mas Fatir
"Kalau tau seperti ini, lebih baik aku tak pulang ke rumah ini, lebih baik aku ke rumah Ibu" Mas Fatir seakan ingin menghindar dariku. Seperti nya ia menutupi sesuatu yang memang tak ingin aku mengetahuinya. oke Mas Fatir, Jika kamu tak mejelaskan padaku, maka Aku yang akan cari tau sendiri.
Setelah mengatakan hal itu, Mas Fatir beranjak ke kamar. Ternyata Ia mengambil kunci motor dan membawa tas ransel, sepertinya Ia membawa beberapa baju. Ohhhh seperti ini kah sikap Mas Fatir mengahadapi masalah??? Kekanak-kanakan..!! Ia pun pergi tanpa pamit padaku.
Melihat sikap Mas Fatir, membuatku semakin muak saja. Ia selalu mengatakan padaku untuk menghemat dan menabung, sedangkan Ia seenaknya saja memberikan uang pada orang lain entah siapa itu.
Disini Aku bisa belajar, jika hanya mengharapkan suami saja bekerja, maka kebutuhan tak akan terpenuhi, jika kita tak bekerja juga.
Sebenarnya jika seorang suami yang mengerti perannya pasti akan memperlakukan istrinya layaknya seorang istri. Tapi jika seorang suami yang memang tak mengerti perannya pasti akan seperti yang ku alami saat ini. Hanya ada pertengkaran pertengkaran dan pertengkaran.
Jika Mas Fatir pergi dan tak akan kembali aku malah lebih bersyukur. Bukan ingin menjanda muda, tapi menurutku lebih baik sendiri daripada punya suami yang tak perduli kebutuhan istri dan anaknya.
Lagian Aku masih mampu jika hanya membiayai kedua anakku. Walaupun dengan hasil menjual keripik pisang, tapi Alhamdulillah masih bisa menutupi kebutuhan kami bertiga.
Bukannya tak menghargai pemberian suami tapi jika aku lebih bisa mendapatkan yang lebih dari pemberiannya, kenapa tidak!