Suara gemericik air mengalir terdengar samar dari dalam kamar mandi. Yafizan masih terbaring setengah sadar ketika cahaya matahari sudah menembus ruang kamarnya.
Seseorang membunyikan bel pagi ini. Rona yang sudah bangun duluan bergegas hendak membukakan pintu karena sebelum bunyi bel itu bergema, terdengar seseorang beberapa kali mencoba menekan pin yang salah berulang-ulang. Dilihatnya layar digital yang menempel di dinding dekat pintu masuk, namun tak terlihat siapapun sosok yang datang seolah sengaja orang itu bersembunyi di balik CCTV agar tidak menampakkan wajahnya di layar monitor. Segera ia menuju pintu gerbang depan. Berbeda dengan apartement yang sebelumnya Soully datangi di kawasan elite dekat kantornya. Rumah ini seperti mansion di tengah kota tersembunyi sehingga ketika menuju gerbang depan ia harus menyusuri taman yang mengelilingi mansion tersebut. Yafizan memang memiliki apertement VVIP, namun mansion ini merupakan rumah pertama yang ia miliki ketika dia pertama kali diturunkan ke bumi. Dari tahun ke tahun seiring perubahan zaman, rumah yang tadinya kecil berubah menjadi sebuah mansion modern yang sangat megah.
"Siapa yang datang pagi ini? Lagi pula kenapa orang itu terus bersikeras mencoba membuka kode pin berkali-kali padahal salah. Dan tak ada lagi orang lain yang tahu rumah pribadi ini," benak Rona penasaran sambil terus melangkahnya.
Rona mengintip di balik pintu gerbang, seseorang terlihat membelakanginya dengan sebuah koper besar yang dipegangnya. Bunyi 'Bip' tanda pintu terbuka, Rona perlahan membukakan pintu gerbang sedikit, dilihatnya sesosok perempuan memakai topi dan berkacamata hitam merk terkenal, bertubuh tinggi dan langsing bak seorang model profesional.
"Si..." belum selesai Rona menanyakan, perempuan yang dilihatnya langsung berseru riang.
"Hai, Rona. Apa kabarmu?" sapa perempuan itu yang lalu diterebosnya masuk ke dalam tanpa mempedulikan Rona yang berdiri sejak tadi belum mempersilahkannya masuk.
"Oh...lumayan cukup jauh juga, aku harus susah payah menempuh jarak menuju mansion ini. Dan WOWW ini sungguh sangat besar," ujarnya penuh kagum melihat sekitar mansion sambil terus berjalan lalu diberikannya koper besar itu kepada Rona dengan maksud untuk dibawakan.
Rona kehabisan kata-katanya, dia sungguh kaget luar biasa dan mengutuki dirinya sendiri 'bodoh' karena dia tidak hati-hati dan bersikap ceroboh membiarkan seseorang masuk tanpa izin ke dalam mansion pribadi Yafizan. Dan yang paling dia takuti terlebih perempuan itu adalah... Tamara.
Ya, Tamara kembali setelah tiga tahun secara tiba-tiba.
.
.
.
Tamara terus berjalan dengan tidak sabar. Rona berusaha mencegah agar Tamara tidak masuk ke dalam rumah, namun langkahnya terasa berat karena ia harus membawa koper besar yang sungguh berat entah apa yang dibawa Tamara dalam koper itu. Rona berdecak kesal.
Tamara setengah berlari berteriak memanggil-manggil nama Yafizan.
"Baby...Honey...My sweety...i'm comming!!!" teriaknya nyaring sehingga membulatkan mata Yafizan yang tadinya masih terpejam dan setengah sadar.
Ia membangkitkan tubuhnya, dipakainya segera handuk kimono hitam yang berserakan di bawah lantai. Dengan sedikit tergesa-gesa ia keluar dari kamarnya dan hendak pergi ke bawah mencari sumber di mana suara yang memanggil-manggilnya seperti itu. Panggilan itu memang tak asing baginya, mengingat dulu dia memang pernah menjalin hubungan dengan Tamara dan berharap bisa terus bersamanya.
Namun ketika ia hendak keluar dari kamarnya, Tamara sudah duluan membuka pintu lalu menerobos masuk ke dalam kamarnya. Yafizan tentu terkejut dan hampir marah karena seseorang masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu. Dia tidak suka jika ada seseorang yang sembarangan menerbos masuk begitu saja ke dalam area pribadinya.
"Baby...Aku sangat merindukanmu..." seketika Tamara berlari lalu mendekap erat tubuh Yafizan yang sedang berdiri dengan pandangan kosong, perasaannya campur aduk. Dia tentu begitu senang karena Tamara adalah perempuan yang ia nanti dan ia cari selama ini. Tanpa sadar, tangannya mendekap tubuh Tamara melepas kerinduannya namun rasanya begitu hambar dan biasa saja saat ini. Padahal, moment inilah yang sangat dinantikannya.
Tapi, kenapa ini seperti asing? tak ada rasa sama sekali...
"Apa kau merindukanku?" tanya Tamara yang masih mendekap erat Yafizan.
Serasa dikunci erat-erat kata 'YA' yang ada dalam fikirannya, seketika tertahan dalam tenggorokannya dan susah untuk dikatakan, ada rasa kegalauan tentang perasaannya yang apakah memang ini rindu berat ataukah rasa sakit yang terpendam cukup lama sehingga tak satupun kata yang terucap dalam mulutnya.
Rona yang menatap kejadian itu tak mampu berucap apapun juga. Dia merasa bersalah dan serba salah. Yafizan memandangnya heran penuh tanya namun tak kuasa karena Tamara kini berada dekat dihadapannya dan ini bukan mimpi.
Tamara melepaskan dekapannya, kemudian dipegangnya kedua telapak tangan Yafizan. Dipandangnya lelaki yang kini berdiri tepat dihadapannya dengan tatapan sendu. Entah tulus atau tidak, Yafizan tidak menyukainya saat ini.
"Baby, kenapa kau tak pernah bilang kalau kau menyiapkan mansion megah seperti ini di sini? Apa kau sengaja karena ingin memberikan surprise padaku?" tanyanya sambil melihat di sekelilingnya.
Pandangannya terpaku ketika ia menyadari seisi kamar itu begitu berantakan.
Tamara membulatkan penuh matanya. Rona yang sedari tadi berdiri pun baru menyadari kalau seisi kamar yang luas itu porak poranda tak beraturan. Rona tahu bahwa ini bukan sesuatu yang disukai bosnya yang gila dengan kerapihan dan kebersihan.
Yafizan sendiri pun baru menyadarinya, ia teringat tentang kejadian semalam sehingga tanpa sadar membuat ia menyunggingkan senyuman di bibirnya. Hal itu membuat Tamara yang sedari tadi di depannya pun terheran-heran karena lelaki ini tersenyum tulus melebihi senyuman saat ia bertemu kembali setelah sekian lamanya.
Pandangan Tamara teralihkan ketika ia melihat bibir Yafizan yang sedikit bengkak dan terluka lalu ia menyentuhnya. Yafizan sempat terkesiap dan seketika menepis pelan tangan Tamara saat menyentuh bibirnya.
"Kenapa dengan bibirmu, Beib?" tanya Tamara begitu penasaran, didengarnya kemudian dengan tajam, suara gemericik air dari dalam kamar mandi masih terdengar jelas tersamar.
.
.
.
Soully yang masih di dalam kamar mandi sejak tadi terus memegang perutnya. Terasa sakit bagaikan ditusuk-tusuk. Dia memandang terus wajahnya di cermin yang beruap, terpampang seluas dinding kamar mandi itu. Dilihatnya di bagian leher dan dadanya yang penuh dengan tanda berwarna ungu kecoklatan. Soully berdecak kesal lalu mulai mengutuki Yafizan lagi.
"Dasar lelaki mesum kurang kerjaan...Ughh, ini sungguh memalukan...apa ia senang menjahiliku seperti ini? Hampir saja aku terperangkap..." benak Soully yang membuat Yafizan tersadar ada sosok orang lain di kamar itu yang suara hatinya terdengar jelas saat ini.
***
Soully membayangkan kejadian semalam lalu tersenyum sendiri. Semalam, saat Yafizan hendak menyusuri ke area yang lebih intim, dengan sengaja Soully menggit bibir Yafizan hingga berdarah, Yafizan meringis kesakitan namun tak gentar membuat dirinya semakin bergejolak. Saat nafsunya menggebu-gebu dicobanya lagi ia menerkam tubuh mungil Soully namun tak gentar tubuh mungilnya terlalu lincah dan Soully dengan sengaja menggigit kembali di bagian antara leher dan bahu tegap Yafizan hingga berbekas saat ini. Merekapun saling berkejaran dan memburu satu sama lain, saling melempar barang-barang lunak di sekitarnya. Memukul Yafizan dengan bantal guling yang isinya seketika berhamburan bagai salju yang turun dengan indahnya.
Sesekali Yafizan mendekap tubuh Soully dengan gaya olahraga taekwondo dalam gerakan mengunci lawan. Soully menepuk-nepuk minta ampun dan pura-pura menyerah karena tak gentar saat Yafizan melepaskannya ia berbalik menyerangnya, menindih punggung kekar itu dengan segera yang membuat Yafizan kewalahan. Hingga mereka menyerah dan tertidur karena lelah.
***
Soully akhirnya keluar setelah menyelesaikan ritual mandinya. Dengan berjalan sedikit membungkuk dan lemas ia memegangi terus perutnya yang kesakitan sejak bangun tadi.
"Ughh...Tuan mesum apa kau sudah bangun? Kenapa ribut sekali...dan bisakah kau membantuku? Perutku sa..." Soully berucap lemah. Kata-katanya terhenti ketika ia melihat tiga orang tengah berkumpul. Dilihatnya sesosok perempuan yang sedang memegangi telapak tangan Yafizan. Lalu ia mengamati ekspresi tiga orang yang ada dihadapannya satu persatu.
Rona menggerlik kehabisan kata-katanya sementara ia melihat warna pucat dari wajah Soully tanpa ada aliran darah yang mengalir di wajah cantiknya seperti biasanya. Yafizan bahkan tak menoleh sedikitpun saat Soully keluar dari kamar mandi mengingat frustasinya dia sekarang karena terjebak dalam situasi yang sulit.
Bagaimana bisa ia berdiri tegap dan memilih siapa yang harus ia prioritaskan padahal moment penantiannya selama tiga tahun ini terbayar sudah. Namun bathinnya begitu kuat dan tak rela jika ia harus melepas segera perempuan yang baru ia nikahi kemarin. Terlebih setelah ia mendekatkan Soully dalam kehidupanya ada perasaan tenang dan hangat serta kekuatan yang sempat hilang seribu tahun lamanya perlahan kini kembali.
Tamara menatap Soully dengan tajam, dilihatnya seluruh bagian tubuh Soully dari atas ke bawah lalu sebaliknya. Tamara menelisik semua bagian tubuh Soully dengan tatapannya yang tajam. Dilihatnya seksama tubuh Soully yang masih lembab dengan rambut basah terurai berbalutkan handuk kimono berwarna hitam yang sama persis bentuk dan modelnya dengan yang dipakai Yafizan. Seperti handuk couple dia merasa geram dibuatnya karena dulu, saat mereka menjalin kasih dengan Yafizan, dia tidak pernah sekalipun diperlakukan semanis itu oleh lelaki yang kini berdiri tepat dihadapannya. Handuk couple? Itu jauh dari jangkauannya. Bahkan dulu Yafizan paling enggan bila seseorang mengaturkan atau bahkan menyentuhkan tangannya pada pakaian apa yang hendak ia pakai. Tamara sendiri pun pernah ingin memakai T-shirt couple namun ditolak Yafizan mentah-mentah.
"Baby, who is she?" tanya Tamara yang tak langsung dijawab oleh Yafizan. Dilihatnya lagi dengan seksama keadaan di sekeliling kamar itu, imajinasi liar melingkupi fikirannya. Dilepaskannya genggaman tangannya dari tangan Yafizan. Lalu ia mengepalkan tangannya sendiri erat. Dilihatnya lagi bibir Yafizan yang membengkak dan sedikit luka, lalu pandangannya tertuju pada sekitar leher dan pundaknya yang terlihat jelas ada bekas gigitan.
"Sekali lagi aku tanya, siapa perempuan itu Yafi?" Tamara meninggikan suaranya kesal, namun, Yafizan tetap hening...
***
Bersambung...
Jangan lupa tekan Like, Commet dan juga Votenya ya Kakak² sayang 💕
Terima kasih 🙏🏻