webnovel

My Silly Lady [03]

"Daisy!"

Daisy langsung menoleh ke bawah ketika mendengar teriakan membahana berasal dari bawah pohon tinggi tempatnya bertengger kini. Di bawah sana tampak Jeremi, saudara kembar Henry, memicingkan mata dengan tangan kanan yang menutupinya dari sengatan cahaya yang menyelinap di antara celah-celah pepohonan.

Daisy langsung meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, mendesis pelan sambil melemparkan pandangan memperingatkan. Gadis itu baru saja menemukan buruan yang menjanjikan. Seekor musang dewasa yang tampak gemuk dan Sama sekali tak menyadari akan bahaya yang mengancam keselamatannya. Namun berkat teriakan Jeremi yang membahana, musang tersebut langsung mengambil sikap antisipasi. Musang itu langsung berdiri, melompat menuruni pohon tempatnya bersantai tadi, dan sesaat kemudian menghilang tanpa jejak berarti.

Daisy langsung mendelik jengkel kepada Jeremi karena membuat buruannya kabur begitu saja. Sedangkan sang tersangka justru hanya memberikan cengiran aneh sambil garuk-garuk kepala.

"Sudah dapat berapa?" tanya pemuda itu setelah berhasil memanjat pohon dan mendudukkan dirinya di sebelah Daisy.

"Hampir satu, jika saja kau tak datang dan membawa serta teriakan spektakulermu itu." Daisy mendesis di sela-sela giginya yang merapat sempurna. Gadis itu geram tentu saja.

"Benarkah? Mungkin populasi burung dan tupai di hutan ini mulai punah karena perbuatanmu." Jeremi mengangguk-angguk seolah meyakini gagasan sinting yang baru saja berkelebat dalam otaknya.

"Tentu saja." Daisy menimpali dengan pasrah. Merasa malas bahkan untuk sekedar menyanggah pernyataan bodoh sahabatnya. "Kenapa kau bisa tahu aku di sini?" Akhirnya pemikiran itu melesat di pikiran Daisy. Bagaimanapun, para gadis di desa saat ini pasti lebih memilih berdandan habis-habisan dan duduk dengan manis di rumah masing-masing, guna menyambut sang tamu agung yang sama sekali tak penting menurut Daisy.

"Memangnya bisa di mana lagi?" Jeremi menatap Daisy dengan pandangan bodoh. Pria itu memetik buah berwarna hijau yang menjuntai tepat di depan hidungnya. Pohon yang saat ini mereka naiki memang berbuah, lebih di dominasi warna hijau namun ada juga yang berwarna kuning kemerahan. Warna buah yang terlihat benar-benar menggiurkan. "Apakah buah ini bisa dimakan?" Jeremi menghirup aroma buah yang bahkan jauh lebih menggiurkan dari tampilannya.

"Kenapa tidak kau coba saja?" Daisy menjawab acuh tak acuh. "Aku hanya tak mengira kau bisa menemukanku di sini. Apa kau tak berpikir jika saat ini aku sedang berdandan di rumah dan menanti sang tamu agung dengan harap-harap cemas."

Jeremi mengeluarkan suara seperti orang tersedak. Namun ketika Daisy menatapnya, ternyata pria itu tengah balas menatap Daisy dengan pandangan geli lengkap dengan tangan menutupi mulut seolah pria itu tengah mati-matian menahan semburan tawanya yang bisa meledak kapan saja.

Daisy menatap pria itu dengan jengkel. Mengepalkan tangan, kemudian memukulkan kepalan tangannya itu ke kepala Jeremi dengan tenaga yang tidak ditahan lagi. "Kau menyebalkan!" tak puas memukul, jemari lentik gadis itu kini telah memberikan cubitan-cubitan geram di seluruh badan Jeremi. Namun bukannya jera, pria itu malah tertawa terbahak-bahak.

"Hanya ada tiga kesimpulan jika kau lebih memilih berdandan dan berdiam diri di rumah, bukannya pergi berburu ke hutan seperti yang biasa kau lakukan." Jeremi menatap Daisy dengan pandangan geli.

"Dan kesimpulan itu antara lain?" Daisy mengangkat alis dan menatap Jeremi menantang.

"Satu, hutan ini tiba-tiba terbakar entah karena apa. Pohon-pohon dan rerumputan berubah menjadi abu, sedangkan binatang-binatangnya habis karena mati terpanggang."

Daisy mengerenyitkan alis, "lalu yang kedua?"

"Kau terjatuh dari tangga lantai lima, berguling-guling hingga otakmu bergeser dari tempatnya sehingga kau menjadi amnesia!"

Daisy mendengus, harusnya ia tahu. Sembilan dari sepuluh topik pembicaraan yang ia bahas dengan Jeremi ataupun Henry selama ini, hanyalah hal yang tak penting dan benar-benar hanya membuang waktunya yang sangat berharga. Gadis itu kemudian memilih mengambil senapan dan bangkit dari posisi duduknya tadi. Mengalihkan pandangan ke sekitar dan berharap menemukan hewan buruan yang layak digunakan sebagai menu makan malam.

"Hei! Kau tak berminat mengetahui kesimpulan yang ketiga?" Jeremi menyusul langkah Daisy yang baru saja melompat dari pohon dan melangkah memasuki hutan lebih dalam.

"Bukan hal yang penting," Daisy menyibakkan tanaman perdu yang menghalagi langkahnya.

"Kau yakin?"

"Lebih dari itu."

"Padahal aku sangat ingin mengatakan kesimpulan yang ketiga," Jeremi sengaja menyelipkan nada merajuk dalam kalimatnya. Membuat Daisy akhirnya berhenti dan memandang pasrah kepadanya.

"Jadi, apa kesimpulan yang ketiga?" tanpa harus mendengar jawaban dari Jeremi pun, Daisy telah memiliki firasat jika kesimpulan Jeremi pastilah sesuatu yang menyesatkan atau paling tidak, menyebalkan.

"Kesimpulan ketiga adalah, sama dengan kesimpulan yang kedua, hanya saja kau tidak amnesia melainkan menjadi gila atau kehilangan sebagian akal sehatmu," Jeremy tertawa geli dengan ucapannya sendiri. "Daisy yang kukenal akan lebih memilih bergelut dengan harimau kelaparan, dari pada harus bergelut dengan alat-alat kosmetik dan sebangsanya."

Daisy terdiam sesaat sebelum akhirnya tertawa dengan nada datar namun sarat emosi. "Hahaha... lucu sekali!" ujar gadis itu sebelum akhirnya memetik sebuah tumbuhan berduri dan bersiap menyabetkannya ke tubuh Jeremi yang sudah mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri.

"I-itu berduri Daisy, asal kau tahu saja!" Jeremi berjingkat-jingkat ke belakang ketika melihat Daisy mengibas-ngibaskan tumbuhan berduri tadi dengan seringai yang mengembang sempurna di wajahnya.

"DAISY! JEREMI!"

Perhatian mereka langsung teralih ketika mendengar suara Henry membahana dari kejauhan. Dan benar saja. Tak lama kemudian, penampakan pemuda itu terlihat berlari tergopoh-gopoh ke arah mereka. Terlihat tergesa-gesa dan juga sembrono, sehingga akhirnya kaki pemuda itu terantuk akar pohon yang entah bagaimana sudah mencuat ke permukaan.

Tubuh Henry terjerembab, terpelanting dan menggelinding beberapa meter hingga kemudian tubuhnya berhenti tepat beberapa senti dari kaki saudara kembarnya.

"Kau baik-baik saja, mate?" tanya Jeremi dengan nada terlampau datar. Daisy bahkan asik mengelus senapannya seolah tak terjadi apa-apa. Karena memang ini adalah pemandangan yang kerap mereka lihat bersama. Mereka adalah sahabat yang kompak. Kompak dalam hal hobi, ataupun sifat. Dan ceroboh, tampaknya sudah menjadi sifat dasar mereka. Jatuh, tergelincir, berguling atau bahkan menggelinding, sudah hal biasa bagi mereka. Bukan lagi hal yang istimewa.

"Aku baik. Hanya saja sepertinya aku mendengar beberapa tulangku mengeluarkan suara yang aneh." Henry berujar tak jelas karena wajahnya yang masih terjerembab di atas tanah.

"Mungkin kau hanya salah dengar." Daisy menjatuhkan bokongnya dan duduk bersila di samping Henry yang masih terkapar tak berdaya. "Ada yang sakit?" gadis itu kini menoel lengan Henry beberapa kali.

"Ugh... hampir semuanya." Henry mengangkat bokongnya terlebih dahulu sebelum akhirnya sanggup menopangkan tubuhnya dengan kedua lengan. Pria itu mencoba bangkit dengan perlahan. Ketika akhirnya bisa bangkit dalam posisi duduk, pria itu langsung berbaring terlentang dan merebahkan kepalanya di pangkuan Daisy.

"Ahh... seluruh badanku rasanya hampir remuk." Gumam pemuda itu sambil menikmati usapan Daisy di rambutnya.

"Jadi, hal besar apa yang membuatmu berlari seolah melarikan diri dari wabah penyakit mematikan seperti tadi?" Daisy bertanya sambil memeriksa lengan Henry yang tampak mulai membiru di beberapa bagian.

"Ah... ini bahkan lebih berbahaya dari sekedar penyakit mematikan." Daisy mengerenyitkan alis mendengar jawaban Henry.

"Apa?"

"Ibumu."