webnovel

Pernikahan

Esok harinya.

Sebuah gereja terbesar di Jakarta dipilih Emma untuk melangsungkan pernikahan Eduardo dan Michelle.

Tamu-tamu mulai berdatangan. Kursi-kursi hampir terisi penuh. Suara riuh piuh memenuhi ruangan sakral itu. Semuanya sibuk membincangkan siapakah gadis yang akan bersanding dengan Eduardo Martino, sang Putra mahkota dari Emma Diana dan Edward William.

Michelle berdiri di depan cermin, memandang sosoknya di pantulan kaca. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya seolah tercekat.

[Apa gue siap melakukan ini dan dibenci Sara, selamanya?] batin Michelle penuh rasa bersalah.

"Bagaimana, Sayang? Apa ada yang kurang?" tanya Selina bingung. Wajah Michelle tampak murung.

Michelle tersentak kaget. Ia langsung tersenyum kikuk pada Selina dari pantulan kaca besar. "Nggak kok, Kak. Ini sudah pas."

"Kamu nggak sesak, kan?" tanya Selina sambil membetulkan resleting gaun Michelle.

"Nggak kok, Kak." Michelle tersenyum pada Selina.

"Syukur, deh." Selina tersenyum manis.

★★★

Eduardo menatap dirinya di pantulan cermin. Taxedo hitam pekat menbalut di tubuhnya, tambutnya di sisir rapi, menambahkan kesan elegan.

[Apa ini yang terbaik bagiku? Apa kamu akan kecewa, Sahabat Kecilku? Andai saja kamu yang bersanding bersamaku saat ini. Pasti aku akan sangat bahagia]

Tok... Tok... Tok...

"Ya, masuk," sahut Eduardo dingin. Ia sama sekali tidak bersemangat melaksanakan pernikahannya dengan gadis aneh itu.

Pria paruh baya berwajah khas Amerika, masuk ke kamar Eduardo, yaitu Edward, Papa Eduardo, yang baru pulang dari Amerika demi menyaksikan anak semata wayangnya menikah.

"Bagaimana perasaanmu, My Little Boy?" Edward mendekati sang Anak dengan senyum lebar.

Eduardo langsung mengubah ekspresi wajahnya seolah bahagia. Ia tersenyum semringah. "Aku sangat senang, Dad."

Edward menepuk-nepuk pundak Eduardo. "Daddy senang mendengarnya. Papa pikir kamu akan murung karena tidak bisa melupakan gadis kecil itu." Edward terkekeh.

Seketika senyum di wajah Eduardo sirna. Perlahan dia menunduk dalam. Hatinya kembali goncang.

"Maaf. Daddy tidak bermaksud menyinggung soal gadis kecil itu," ralat Edward menyesal.

"Tidak apa, Dad. I'm okay." Eduardo berusaha tersenyum dengan tatapan sendu.

★★★

Akhirnya, acara pernikahannya telah dimulai. Tamu-tamu serentak bangkit berdiri ketika sang pemandu acara mengintruksi mereka supaya berdirin saat musik mulai beralun merdu.

Eduardo berdiri di depan pendeta, menunggu sang calon mempelai datang.

Dari ujung pintu, Michelle berjalan dengan anggun menuju altar. Di tangannya dia memegang buket bunga Lily. Dua gadis kecil berdiri di mengikuti Michelle sambil memegangi ekor gaunnya.

Michelle memandang ke depan sambil berusaha memasang senyum paling indah. Padahal, sebenarnya dia seakan mau pingsan, sebab seluruh pasang mata tertuju kepadanya dengan beragam ekspresi.

Eduardo mematung tidak percaya. Ia taak biasa menyembunyikan rasa terkejutnya melihat penampilan Michelle yang tampak sangat berbeda.

Anggun dan ... cantik? Eduardo menggeleng cepat.

Michelle berdiri di samping Eduardo. Sebuah kain putih ditudungkan ke atas kepala gadis itu.

Pengucapan janji suci sehidup-semati diucapkan bergantian oleh Eduardo dan Michelle.

Seketika tamu-tamu bertepuk tangan.

★★★

Michelle termenung di atas balkon. Matanya memandang kosong halaman di depannya. Pikirannya melayang. Pernikahannya dengan Eduardo pastu sudah tersebar di seluruh media.

[Sara akan segera tahu, kalau gue udah menjadi istrinya Eduardo,'] batin Michelle sedih.

"Kenapa kamu berdiri di sini?" tanya Eduardo datar. Ia berdiri di samping Michelle, menyesap kopi sambil memandang ke depan.

Michelle tersentak kaget. "Buset! Lo udah kayak setan aja!"

Eduardo menyesap kopinya dengan santai, tidak peduli. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Michelle menghela napas panjang. "Sara, Bos."

"Oh ...."

Michelle sontak menatap Eduardo kesal. "Oh doang, Bos?" gemas Michelle.

"Lalu?" tanya Eduardo balik.

"Apa gitu, kek! Itu pacar Bos, loh!" protes Michelle berusaha menahan kesal.

"Oh ...."

Michelle berusaha menahan kesal dalam hati. "Pak," panggil Michelle tersenyum paksa.

"Hm?"

"Boleh nggak, kalau saya pukul kepala Bapak pake panci, siapa tahu otak Bapak ada yang geser?"

"Silakan," sahut Eduardo. "Tetapi saya akan kirim kamu ke hutan, malam ini juga."

Michelle menghela napas panjang. "Iya, deh! Iya... Yang anak orang kaya mah, kalau marah serem," sindir Michelle sedikit jengkel.

★★★

Esok harinya.

Eduardo menyantap sarapannya dalam hening. Michelle meminum susu dan kembali memakan sarapannya dengan lahap. Satu hari tinggal di rumah suaminya, Michelle bisa merasakan makan yang enak-enak. Hanya mereka berdua, karena Emma sedang pergi dengan Martin untuk bertemu teman bisnisnya.

"Apa kamu tidak bisa makan pelan-pelan?" suruh Eduardo jengkel.

"Nggak bisa, Bos. Soalnya rotinya enak banget!" Michelle cengar-cengir dengan mulut penuh.

"Apa kamu sangat miskin, sampai tidak mampu membeli roti sepert ini?" sindir Eduardo. Entah dari kalangan mana gadis ini. Di hari pernikahannya saja, Eduardo tidak berjumpa dengan satu pun keluarga gadis aneh tersebut. Sepertinya mereka tidak datang.

Michelle mengangguk. "Kan, gue udah bilang kemarin, Pak."

Eduardo menghela napas pelan.

[Kenapa Mama menjodohkan aku dengan orang seperti ini? Kalau dia tidak kaya atau bisa menguntungkan perusahaan seperti teman-temanku yang lain?]

"Kenapa, Pak? Kok diam?" tanya Michelle bingung.

Eduardo sedikit tersentak kaget. "Tidak apa." Ia menyeka mulutnya lalu bangkit berdiri. "Ayo kita berangkat."

"Tapi makanannya belum habis, Bos." tolak Michelle tak rela.

"Ya sudah, kamu nanti berangkat sendiri." Eduardo pergi meninggalkan Michelle begitu saja.

"Bos... tunggu!" Cepat-cepat Michelle menghabiskan susunya lalu mengejar Eduardo.

★★★

"Pak, saya turun di depan aja," pinta Michelle.

"Sebentar lagi kita akan sampai. Jangan membuatku repot," sinis Eduardo ketus.

"Tapi kalau Sara ngelihat kita berdua, gimana, Hah!?" protes Michelle kesal. "Lo mikir, gak, sampai ke sana?!"

Eduardo mendengus kesal. "Baiklah! Aku juga tahu itu!" Eduardo menepikan mobilnya ke pinggir trotoar.

Michelle segera trun dari mobil mewah itu. Tanpa mengatakan apa pun, Eduardo melajukan mobilnya.

Michelle mendesis tajam. "Jahat banget tuh orang!"

★★★

Michelle memasuki gedung. Semua pasang mata langsung menyambutnya dengan beragam arti, tetapi dominan intimidasi.

Michelle menunduk, berusaha menghindari tatapan orang-orang yang seolah menghakiminya.

[Pasti mereka sudah tahu soal pernikahan gue sama si Eduardo?] batin Michelle berdebar-debar. [Berarti Sara juga sudah tahu tentang ini?]

Michelle masuk ke dalam lift.

★★★

Michelle keluar dari lift. Dari jauh Sara sedang sibuk mengetik di kubikelnya. Jantung Michelle seakan berhenti berdetak dalam dadanya, menerka-nerka kejadian yang akan menimpanya. Perlahan, dia memberanikan diri berjalan mendekati sang sahabat.

Michelle duduk di kubikelnya dan memperhatikan Sara takut-takut. Sahabatnya itu pura-pura tidak menyadari kehadirannya.

"Sar," panggil Michelle. "Gue mau ngomong sama lo."

Sara menoleh, matanya penuh kilat kebencian. "Lo mau ngomong apa lagi, Hah?! Apa lo mau bilang, kalau sekarang lo udah jadi isterinya Eduardo?!" teriak Sara murka.

Nyali Michelle menciut. "Lo salah paham, Sar. Dengerin penjelasan—"

"Udahlah! Lo memang pengkhianat! Gue tahu sekarang kenapa orang-orang, termaksud keluarga lo benci sama lo!" maki Laras. "Karena lo pantas dibenci!!!"

Semua karyawan di lantai itu menonton pertengkaran mereka hingga ruangan itu dipenuhi bisik-bisik.

"Kasihan banget Sara. Gara-gara dia masukin sahabatnya ke kantor ini, dia jadi merebut Eduardo."

"Padahal hubungan Bos dan Sara sudah deket banget. Eh, malah direbut sama orang baru kayak dia."

"Mungkin dia mau cepat kaya kali!" Suara tawaran pecah di lantai itu.

Michelle hanya menunduk. Ia harus menerima secara lapang dada semua penghinaan itu atas dirinya. Memang Michelle sudah tahu, ini akan terjadi.

★★★

Michelle duduk di rooftop, tempat di mana landasan helikopter yang terdapat di atas gedung pencakar langit.

Perkataan karyawan-karyawan tadi terngiang-ngiang di telinga Michelle.

Michelle memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya. [Apa gue jahat banget, ya?[ batinnya sedih. [Seharusnya gue nggak bertemu Mama Emma waktu itu. Pasti ini tidak akan terjadi.]

★★★

Eduardo meringis tertahan di kursi kerjanya. Ia memegang perutnya yang sangat nyeri. Entah kenapa ginjalnya tiba-tiba kambuh lagi.

"Kenapa!? Kenapa lagi dengan ginjalku?!" kesal Eduardo. "Padahal aku tidak melanggar aturan dokter!"

Terlintas sosok Michelle di benak Eduardo. Bayangan gadis itu terlihat nyata di matanya. Mata Eduardo membulat sempurna. "Apa jangan-jangan ... Michelle menangis!?"