webnovel

Ibu Tiri

Dua puluh empat jam sudah, Bagas dirawat di rumah sakit. Kondisinya berangsur membaik. Dia ingin segera pulang, akhirnya dokter memutuskan untuk memberikannya obat guna rawat jalan. Bagas sudah tidak betah berada di rumah sakit lantaran tidak memiliki teman yang nyaman untuk diajak ngobrol. Surya juga seakan tidak memperdulikan anaknya itu, bahkan dia hanya mengantar Bagas hingga percekcokan, setelah itu dia pergi dan tidak kembali lagi.

Bagas ingin menghubungi Marina untuk menjemputnya pulang. Namun, sebelum hal itu terjadi seorang wanita datang ke ruang rawatnya, membawakan pakaian, sepatu, jaket, lengkap dengan sarapan pagi. Entah apa yang dia inginkan, senyumnya seakan memberikan isyarat, jika dia memiliki ambisi untuk mendapatkan hati Bagas.

"Selamat pagi Bagas, maaf, ya, saya baru bisa mengunjungi kamu," ucap wanita itu sambil mengeluarkan sarapan dan meletakkan tas yang berisi pakaian baru, juga sepatu baru, dan jaket kesukaan Bagas.

"Siapa yang mengundangmu ke sini?" tanya Bagas dengan sedikit kesal, dia tidak ingin melihat wanita itu untuk sekarang.

"Bagas, perkenalkan, saya Rossa, mama baru kamu. Bukan mamah baru sih, dan juga bukan mamah pengganti. Saya hanya mama kedua untukmu, terserah kamu mau memanggil saya tante Rosa atau mamah Rosa atau bibi Rosa atau siapa lah, saya tidak peduli. Tapi, asal kamu tahu, saya akan tetap menyayangi kamu sebagai anak saya karena memang saya menikah dengan ayah kamu, berarti saya juga harus menerima semuanya yang dimiliki oleh ayah kamu, termasuk kamu, Bagas, harta yang sangat berharga untuk ayahmu."

Ucapan Rossa seketika membuat Bagas terenyuh. Dia tidak pernah membayangkan jika ayahnya menganggapnya sebagai harta yang sangat berharga di dunia ini. Bagas akan mengikuti alur permainan dari Rossa, dia juga melihat Rossa tidak seperti ibu tiri pada umumnya. Namun, Bagas juga belum terlalu mengenalnya karena ini adalah kali pertama perjumpaan mereka. Di awal perjumpaan ini, Rossa telah memberikan kesan yang baik untuk Bagas. Bagas juga tidak bisa menolak begitu saja, kebaikan Rossa harus tetap dihargai sekalipun mungkin nanti Rossa berbuat jahat kepadanya, itu akan dia pikirkan di esok hari.

"Kamu sarapan dulu ya, habis itu mandi atau bersih diri. Saya sudah bawakan pakaian yang tadi saya beli dan sepatu yang juga tadi saya beli lalu jaket kesayangan kamu yang saya ambil di rumah. Maaf, ya, tadi saya harus masuk ke kamar kamu untuk mengambil jaketmu, kata bibi kamu suka menggunakan jaket ini karena pemberian dari mamamu."

Bagas mengangguk, tanpa mengucap sepatah katapun. Dia masih bingung memposisikan dirinya harus seperti apa, menerima Rossa atau menolaknya. Namun, hati nurani Bagas berbicara, kasihan jika Rossa harus ditolak di kali pertama perjumpaan mereka, lantaran juga bukan ininya Rossa menjadi ibu tiri untuknya, tetapi karena menikah dengan Surya kehidupan Surya dan semua yang Surya miliki akan menjadi bagian dari kehidupan Rossa juga.

"Satu lagi, tolong kamu terima anak saya dengan sebaik mungkin karena saya pikir jika kesalahan ini ada pada saya, berarti anak saya tidak bersalah dan kamu harus menerimanya sebagai saudara tiri, sebagai kakak."

"Kita lihat nanti apa yang akan terjadi. Aku enggak bisa memutuskan untuk sekarang. Aku juga enggak bisa melihat sebaik apa dia dan bagaimana dia memperlakukanku. Tapi, aku janji akan menghormatinya seperti aku menghormatimu saat ini." Bagas mulai bisa sedikit demi sedikit memahami kondisi dan situasi, dia tidak lagi merasa dongkol dengan keberadaan Rossa. Semoga ini awal yang baik untuk kehidupan mereka.

Seluruh ritual pembersihan diri, sarapan, pengecekan obat, pelepasan infus telah Bagas lalui dengan baik. Rossa membantu Bagas dengan sangat sabar. Dia mengambilkan apapun keperluan Bagas sampai dia juga menuntun Bagas untuk menuju mobil guna pulang ke rumah. Sekelebat ada rasa seperti mama Marina yang sangat menyayangi putranya dan akan melakukan apapun untuk membuat putranya merasa lebih baik, Rossa pun demikian.

Sepanjang perjalanan, mereka terdiam. Rossa ingin membuka percakapan, namun Bagas memejamkan mata. Nyatanya, dia tidak tertidur, hanya tidak ingin mengobrol banyak hal dengan wanita itu lantaran topiknya pun mungkin seputar itu-itu saja atau topik-topik yang tidak ingin Bagas bahas, sehingga dia memutuskan untuk memejamkan mata hingga sampai ke tujuan. Rossa tidak ada rasa curiga ketika melihat Bagas memejamkan mata dengan palsu lantaran dia menganggap mungkin saja efek obat yang diberikan Rumah sakit membuat Bagas tertidur sepanjang waktu.

Sesampainya di halaman rumah, Bagas segera membuka mata lalu dia seperti Bagas yang biasanya, tidak menunjukkan sakit dan turun dari mobil tanpa dibantu Rosa. Di sini Rossa mulai bisa mengambil suatu kesimpulan, jika tadi, mungkin saja Bagas memang pura-pura tertidur, namun Rosa tidak menganggapnya berlebih. Dia memutuskan diam dan mengikuti bagaimana Bagas memainkan perannya sebagai anak tirinya.

"Halo, apa kabar? Aku baru pulang nih, masak apa hari ini?" Bagas langsung ke dapur untuk menyapa bibi yang sangat dia sayangi itu.

"Mas Bagas maunya dimasakin apa, tapi katanya Pak Surya, Mas Bagas harus makan bubur dulu karena Mas Bagas baru saja sembuh dari sakit."

"Terserah, bubur juga enggak apa-apa, bubur buatan bibi enak banget. Oh, ya, berarti di sini pekerjaan masak bibi bisa berkurang dong?"

"Emangnya kenapa, Mas?"

"Ada istrinya ayah yang bisa masak, yang bisa menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam," ucap Bagas sedikit menyindir Rossa yang saat itu sedang melewati mereka.

"Boleh, kalau saya diizinkan menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam, akan saya lakukan dengan baik," sahut Rosa dengan senyum ramahnya, dia malah menyukai hal itu.

Bagas mengangkat kedua alisnya lalu pergi berjalan meninggalkan Rossa dan juga bibi untuk masuk ke kamar, meregangkan otot yang mulai tegang karena banyak hal yang menghantam. Bagas masuk kamar dan mengunci pintunya. Dia merebahkan tubuhnya di kasur empuk miliknya, beberapa saat kemudian, klik, klik, pintu kamar mandi terbuka. Seorang gadis ke luar dari sana.

"Kamu siapa?" tanya gadis itu dengan tatapan kaget, dengan mata melotot dan mulut terbuka, melihat ada laki-laki muda di depannya.

Bagas segera bangkit dari kasur empuknya lalu menatap gadis itu, yang hanya memakai kaos dan juga celana pendek. Gadis itu seakan tidak asing untuknya. Dia pernah menjumpai gadis itu, entah di mana. Bagas telah melupakannya, namun dia yakin gadis itu pernah hadir di dalam harinya.

"Aku yang harusnya tanya, kamu siapa? Ngapain ada di kamar mandi kamarku? Kamu maling, ya?"

"Sembarangan kalau ngomong, dijaga mulutnya. Jangan asal nuduh aku maling. Ini kamar aku, enak aja kamu ngaku kalau ini kamar kamu, jangan-jangan memang kamu yang maling di sini?"

"Pergi! Ini kamar aku!"

"Jangan ngaku, ya, kali pertama aku tinggal di rumah ini, ini adalah kamarku."

"Apa, tinggal di rumah ini?"

***