webnovel

Prolog

"Begini, Nak Dion," kata Pak Ikbal dengan wajah super serius. "Ada aturan di desa kami. Kalau laki-laki mengajak perempuan yang bukan mahram menginap berdua, maka mereka wajib menikah."

Seketika aku dan Kak Dion melongo.

Bingung?

Ya sama. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba begini. Biar aku ceritakan sejak awal kenapa drama wajib menikah itu terjadi..

Dimulai dari pagi itu. Pagi yang penuh kegaduhan hingga merusak tidur lelapku.

Suara ribut-ribut di luar membuat mataku terbuka. Aku menguap sambil mengumpulkan nyawa. Ketika melihat jam dinding, aku terbangun dengan mata melotot.

"HAH?! AKU KETIDURAN!" pekikku panik.

Buru-buru aku bangun dan keluar dari kamar.

"Kak! Kak Dion!" panggilku berlari ke arah kamar Kak Dion.

"Nah! Itu! Betul kan! Anakku di sini!"

Telingaku tegak mendengarnya. Aku menoleh ke sumber suara. Seketika wajahku memucat.

"SINI KAMU!" teriak ayah menggelegar.

Aku bergeming. Berdiri takut-takut di tengah ruangan. Kalau aku ke sana, pasti aku dijewer habis-habisan oleh ayah.

"Bocah bandel! Dipanggil kok diam saja!" damprat ayah menghampiriku.

"Aduh! Aduh! Sakit, Miq!" teriakku meringis.

Benar kan! Telingaku dijewer ayah! ಥ﹏ಥ

Ayah menarikku ke hadapan Kak Dion. Di sana, ada dua orang lelaki tetua desa yang memandangku sambil geleng-geleng kepala. Sementara itu, ayah bergantian menatapku dan Kak Dion dengan kesal.

"Kalian berdua pacaran?!" tanya ayah ketus.

"Hah?!" Aku melotot sambil mengibaskan tangan. "Enggak, Miq!"

"Ini salah paham," jelas Kak Dion berusaha meluruskan.

"Salah paham apa?! Jelas-jelas kamu bawa anak saya tidur di sini!" hardik ayah marah.

"Mamiq, dengerin duluuuu," rengekku memegang tangan ayah. "Ban Buraq pecah. Semalem hujan angin. Jadi aku ditolongin sama Kak Dion."

"Kamu berani bohong sama mamiq?!" balas ayah kesal sambil memelototiku.

"Jani nggak bohong, Miq!"

"Kemarin kamu bilang ke Epicentrum! Ternyata malah nginap di sini sama cowok! Bikin malu keluarga!"

"Jani nggak bohong, Pak," sela Kak Dion mendukungku.

"Diam kamu! Udah bawa kabur anakku, masih berani bohong juga!"

"Saya nggak bohong, Pak. Kalau nggak percaya, bisa cek bengkel ini," jawab Kak Dion tetap tenang. Ia menunjukkan sesuatu di ponselnya. "Ini nama bengkel tempat motornya Jani diperbaiki."

Wajah ayahmu melunak. Ia bertanya, "Motornya kenapa?"

"Bannya pecah. Ada bagian yang lecet juga karena Jani jatuh," tutur Kak Dion.

Ayah kembali melotot padaku. "Kamu jatuh, Jani?!"

"Iya. Tapi nggak parah—"

"Kualat kamu sama mamiq! Makanya, pamit yang betul kalau mau pergi! Anak gadis pergi nggak pamit! Malah nginap sama cowok!" potong ayah marah.

"Kan Jani udah telat, Miq!"

"Telat apa?! Telat nginep sama lakik ini?!" oceh ayah menoleh pada Kak Dion.

"Sudah, sudah…." Tetua yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara.

Namanya adalah Pak Lalu Muhammad Ikbal, tapi kami biasa memanggil beliau Pak Ikbal. Beliau adalah orang yang dituakan di desa kami. Orangnya sudah cukup tua, tuturnya lembut, dan cukup baik. Jika ada masalah, Pak Ikbal adalah orang yang akan selalu dimintai pendapat. Aku rasa, itulah alasan kenapa Pak Ikbal ke sini.

"Nak Dion, boleh kita duduk?" tanya Pak Ikbal lembut.

Kak Dion mengangguk. "Silakan."

Akhirnya kami pun duduk. Meskipun duduk, wajah ayah masih masam dan kesal. Bukan hanya ayah, tapi juga Pak Nursam (tetua lainnya). Pasti penjelasan tadi masih kurang bagi mereka. Tapi apa lagi yang harus aku dan Kak Dion jelaskan? Memanya nyatanya, tidak ada aib apa pun.

"Ada lagi yang perlu dijelaskan?" tanya Kak Dion sopan.

"Kenapa Jani diajak menginap di sini?!" tanya ayah ketus.

"Semalam hujan angin. Terlalu berisiko membawa mobil."

"Kenapa nggak telpon saya?! Saya bisa jemput Jani!" balas ayah yang membuatku menggigit bibir.

Ucapan ayah membuat Kak Dion menatapku dengan penuh tanda tanya.

"Jan? Semalam kamu nggak telfon ayah kamu?" selidik Kak Dion serius.

"Hehehe," cengirku pasrah.

"Astaga, Jani. Kenapa nggak nurut?" tanya Kak Dion mulai ikut kesal.

"Batere hapeku abis! Aku nggak bawa cas!" kilahku membela diri.

"Kenapa nggak pinjem ke aku?"

"Kak Dion kan pake iphone! Beda colokan sama hp aku!"

"Di mobil ada colokan untuk android. Kenapa nggak tanya dulu?"

"Ya mana aku tau Kak Dion punya…," jawabku akhirnya menunduk.

Kak Dion mendesah panjang. Aku tahu. Dia pasti marah padaku.

"Baik. Saya sudah mengerti masalahnya sekarang," kata Pak Ikbal menyela perdebatanku dengan Kak Dion.

"Jadi sudah nggak ada masalah, kan? Semua ini hanya salah paham," ucap Kak Dion.

"Siapa bilang nggak ada masalah?!" sulut ayahku cepat.

"Lho? Ada apa lagi?"

Pak Ikbal dan Pak Nursam berpandangan sejenak, lalu kembali fokus pada Kak Dion.

"Begini, Nak Dion," kata Pak Ikbal dengan wajah super serius. "Ada aturan di desa kami. Kalau laki-laki mengajak perempuan yang bukan mahram menginap berdua, maka mereka wajib menikah."

Seketika aku dan Kak Dion melongo.

"Apa? Nikah?" tanya Kak Dion memastikan pendengarannya.

Pak Ikbal mengangguk tegas. "Sesuai dengan adat desa, kalian harus menikah."

Oh, sial! Aku ingat aturan adat yang itu!

"Tunggu!" tahan Kak Dion lalu tersenyum kikuk. "Ini bercanda, kan?"

"Becanda?! Kamu ajak anak saya nginep, itu becandaan buat kamu?!" tukas ayah menghardik Kak Dion (lagi).

"Tapi saya kan sudah menjelaskan masalah utamanya. Saya dan Jani nggak melakukan apa pun. Kami juga beda kamar. Jadi kenapa saya harus menikah sama Jani?" protes Kak Dion terlihat sangat tidak terima.

Aku menggigit bibir. Jangankan Kak Dion, aku pun tidak terima kalau harus menikah konyol gara-gara masalah ini! Aku memang penggemar Kak Dion, tapi bukan berarti aku pasti setuju! Aku sukanya sama cowok lain….

"Itu aturan adat yang tidak bisa diganggu gugat," kata Pak Nursam tegas.

"Tapi saya bukan orang sini, Pak. Berarti saya nggak wajib memenuhi ketentuan adat dong. Iya, kan?"

Kicauan Kak Dion membuatku sedikit lega.

Ya! Bisa jadi begitu. Mungkin ada keringanan untuk Kak Dion karena dia bukan orang sini. Tolonglah, aku juga tidak mau menikah karena terpaksa. Aku masih mau sekolah dan menikmati masa muda. Aku juga belum sempat menyatakan cinta pada Nathan.

"Tetap harus dipenuhi."

Kak Dion mulai terlihat frustasi. "Pak, saya bukan orang Lombok!"

"Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung. Kamu sedang menginjak tanah Lombok, khususnya desa kami. Jadi kamu harus patuhi adat istiadat di sini," jelas Pak Nursam galak.

"Kalian harus tetap nikah!" sambar ayah.

Pembicaraan itu membuatku frustasi. Akhirnya, aku pun berteriak, "Nggak mau! Aku masih sekolah! Aku baru 18 tahun!"

"Saya juga nggak bisa menikahi Jani. Saya sudah punya calon sendiri."

"Kalau begitu kenapa kamu ajak anak gadis menginap berduaan di sini, hah?!" hardik ayah menunjuk wajah Kak Dion.

"Saya udah jelasin sejak tadi! Niat saya bantu anak Bapak!" balas Kak Dion akhirnya meledak juga.

"Kamu malah bikin keluarga saya kena aib di desa! Saya nggak mau tau! Kamu dan Jani harus nikah!"

Hello.... Ini tulisan pertamaku di platform ini. Mohon dukungannya, yaaa. Masukan di LIBRARY kalau suka. Oh ya, kalau punya ide alternatif untuk kelanjutannya, boleh lho komen. Aku suka kalau pada spam komen. Makasih....

Dimudipucreators' thoughts