webnovel

001 | Tragedi Si Buraq

"Jani, mau ke mana?!" teriak ayah dari dalam rumah.

"Mau ke Mall Epicentrum, Miq!" balasku melengking.

"Heh?! Ke Kota Mataram?! Jauh! Ka—"

WERRRRRR!!!

Motor matic itu sudah terlanjur meluncur ke jalan. Dari kaca spion, aku bisa melihat mamiq (panggilanku untuk ayah) berteriak di jalan sambil mengacungkan sapu ijuk. Aku hanya menyengir sambil terus memacu motor matic.

"Maap, Miq…."

Aku hanya menyengir sambil menambah kecepatan. Acara meet and greet Dion Gautama Brinton dimulai pukul satu siang. Itu artinya, aku sudah terlambat setengah jam! Sialan! Padahal jarak dari rumahku ke Kota Mataram itu 50 km.

"Maakkkk, keburu nggak ya?" ocehku sambil terus memacu motor.

Aku pasti sudah gila….

Jarak 50 km rela aku tempuh demi menemui penulis panutanku: Kak Dion. Jangankan jarak 50 km, lautan pun akan aku sebrangi sih demi bertemu Kak Dion. Kapan lagi cobakkkk?

BRAKKK!!!

"Awww!" pekikku terkejut.

Tubuh dan motorku terjatuh di aspal. Tidak terlalu keras karena aku sempat mengurangi kecepatan. Tapi tetap saja, aku terkejut!

Batu sialan! Aku terbangun susah payah sambil menaiki kembali motor. Kulit di dekat telapak tanganku terluka. Oh, good. Aku lupa pakai kaos tangan karena terlalu buru-buru. Tapi tidak masalah. Hanya luka kecil. Aku masih bisa melanjutkan perjalanan.

Maka aku pun kembali meluncur bersama motor matic-ku di jalanan Pulau Lombok yang… masih belum semulus wajahku. Yeah, ayahku tinggal di desa yang masih cukup tradisional. Aku harus melewati jalanan yang belum terlalu mulus sebelum mencapai jalan yang lebih baik.

Omong-omong, aku baru menjadi penggemar Kak Dion satu bulanan ini. Novel tulisannya sangat bagus! Sangat cocok dengan seleraku. Meskipun aku baru kelas 3 SMA, tapi selera sastra dan seniku jangan diremehkan. Aku sudah biasa membaca novel berat karya Dan Brown. Aku juga suka novel Laut Bercerita, padahal isinya cukup berat.

Aku juga mau sombong

Aku itu siswi berprestasi di sekolah. Sudah banyak lomba melukis dan lomba puisi yang aku menangkan. Aku juga pernah menang lomba menulis cerpen tingkat provinsi. Suaraku juga bagus dan pernah menang lomba menyanyi mewakili sekolah.

Aku keren, kan?

Tapi jangan ditanya soal Matematika, IPA, dan IPS. Bye lah! Aku benci!

Setelah satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai juga di tempat meet and greet. Usai memarkir motor, aku melesat masuk ke dalam ruangan. Aku deg-degan! Jangan-jangan acaranya sudah mau bubar!

"Terima kasih atas kedatangan teman-teman semua. Hati-hati di jalan…."

Suara MC yang berpamitan membuat hatiku patah sepatah-patahnya. Satu per satu, para penggemar pun beranjak pergi. Sementara aku berdiri dengan bodoh sambil memandang panggung yang mulai ditinggalkan.

Hatiku patah untuk kedua kali….

Aku mencengkeram novel Kak Dion dengan kuat. Mataku berkaca-kaca. Hatiku masih belum rela. Sia-sia perjuanganku mengebut dari Lombok Tengah ke Kota Mataram. Padahal tadi aku sempat jatuh, tapi aku tetap melanjutkan perjalananku demi Kak Dion. Dan sekarang, luka di dekat telapak tanganku baru terasa perih….

Tapi hatiku lebih perih lagi.

Sedih banget, Ya Allah…. Ngenes banget nasib hamba-Mu ini. Cry banget.

Sambil menata hati yang kacau, aku pun beranjak pergi. Langkahku gontai menuju pintu keluar. Makin jauh kakiku melangkah, hatiku malah terasa makin hancur.

Maakkkk…. Rasanya nggak pengen ninggalin tempat ini. Moga ada keajaiban yang bikin aku ketemu Kak Dion. Tolong banget ini, Ya Allah. Kalo enggak, kayaknya aku bakal nangis semaleman deh. Serius….

Batinku terus bermonolog, bergejolak, dan mengeluh. Sayangnya, hingga aku tiba di tempat parkir pun, tidak ada keajaiban itu. Aku sesak lagi. Semesta memang tidak mengizinkan aku bertemu Kak Dion. Mungkin ini azab gara-gara aku tidak berpamitan dengan baik dan membuat ayah marah-marah.

Ketika hampir menangis, ponselku berbunyi. Aku mengambil ponsel dengan lemas. Di layar ponsel, terlihat nama Melly. Sambil menyalakan mesin motor, aku menjawab panggilan itu.

"Halo."

"Lo di mana? Kita udah nungguin di mall nih. Buruan dateng," kata Melly cepat.

"Iya. Tunggu."

"Mau gue pesenin apa?"

"Ngikut lo aja deh," kataku tidak mau ambil pusing.

"Ya udah deh. Cepet dateng," kata Melly sekali lagi.

"Ya," sahutku mengakhiri panggilan.

Masih dengan tubuh lemas, aku pun menggeber motor matic gemasku menuju Mall Epicentrum. Jujur ya, aku terlanjur tidak mood. Tapi aku sudah lama tidak bertemu dengan teman-teman SMP-ku itu. Tidak mungkin kan aku batal datang? Mereka pasti kecewa berat. Lebih baik aku datang walau wajahku sudah selemas orang puasa begini.

Lima belas menit di jalan sambil menahan perih di tangan. Itulah yang aku rasakan sebelum akhirnya tiba di Mall Epicentrum. Teman-temanku melambaikan tangan dari sebuah kafe.

"Jani! Sini!" panggil Melly sambil menarik kursi untukku.

"Kok gue nggak liat lo sih tadi di acara meet and greet. Lo nggak jadi dateng?" tanya Kayla menimpali.

Aku menggeleng dengan lemas, lalu meniupi luka di tangan kiriku. Anjir! Sakitnya baru terasa sekarang. Perih!

"Eh, tangan lo kenapa?" heran Kayla.

"Jatoh dari motor."

"Oh…." Kayla hanya membulatkan bibir. "Untung lo nggak mati."

Mataku melotot. "Anjir lo. Janganlah. Gue belum ngerasain punya pacar!"

"Lo tinggal di Bali, tapi tetep jomblo? Kesian amat," ledek Tiara yang sejak tadi diam.

"Gue di Bali buat sekolah. Bukan pacaran," balasku mencibir.

"Eh, kenapa lo nggak jadi dateng ke meet and greet?" tanya Melly tiba-tiba.

"Palingan gara-gara jatuh," tukas Kayla menyerobot jatah bicaraku. Dengan cepat ia menyodorkan novel 'Diksi Bintang' karya Kak Dion di hadapanku. Senyum miringnya terulas. Dengan santai ia berkata, "Liat. Gue udah dapet tandatangannya."

Fakta itu membuatku kembali sedih.

"Nih," sambung Kayla menunjukan sebuah foto di ponsel padaku.

Seketika mataku melotot melihat foto itu. Kayla berhasil foto dengan Kak Dion?!

Huwaaa! Mana Kak Dion ganteng banget! Sumpah, lucky banget si Kayla!

"Sumpah, gue gak boong. Kak Dion ganteng parah! Parah! Parah! Seganteng itu!" ucap Kayla semakin menyulut rasa iriku.

Di hari normal, aku biasanya akan menimpali ucapan teman-temanku (terutama Kayla yang menyebalkan). Sayangnya, tangan dan tubuhku cukup sakit karena efek terjatuh dari motor tadi. Aku sudah cukup sibuk menahan nyeri dari luka di tangan. Karena itu, aku mengabaikan ocehan Kayla.

"Nyesel lo nggak dateng!" celoteh Kayla yang lama-lama membuatku panas juga.

Usai meniup luka, aku menyahut santai, "Nggak apa-apa. Ntar juga gue punya foto bareng Kak Dion di buku nikah."

"Yeuuu!" Sontak teman-temanku bersorak meledek.

"Bangun! Liat atap rumah lo mau roboh!" ejek Tiara.

"Hilih bicit," sahutku tidak peduli.

Keseruan itu berlangsung lama. Aku dan teman-teman keasyikan ngobrol, lalu bermain di Timezone. Rasanya seru sekali bisa bermain bersama teman-teman SMP-ku yang hits ini. Saking serunya, aku sama sekali tidak melihat jam selama di dalam mall. Lalu tiba-tiba saja… WALLA… hari sudah malam.

Aku terpaku menatap suasana di luar yang sudah gelap. Jujur, aku tidak berani mengecek ponsel sekarang. Pasti ayah sudah menelpon dan mengirimiku pesan berkali-kali.

Mati aku! Bisa dicincang mamiq ini! Aduh, gimana yak….

"Lo nggak pengen nginep di rumah gue dulu?" tawar Melly.

Aku menggeleng. "Nggak deh. Gue pulang aja."

"Yakin? Rumah lo jauh lho dari sini," ucap Melly meyakinkanku.

"Nggak apa-apa. Baru jam tujuh malem juga. Aman."

Melly mengangguk. Ia menekan tombol di kunci mobilnya sebelum memelukku. "Hati-hati, ya. Kalo balik ke Lombok, kabarin. Next time gue deh yang main ke tempat lo."

"Iya," sahutku membalas pelukannya.

"Bye," pamit Melly melangkah ke mobilnya.

Iyak! Sekarang aku sendirian bersama motor matic-ku yang sedikit lecet. Tapi overall, motor yang aku namakan Buraq itu masih normal. Tidak ada masalah di mesinnya (semoga). Aku pun bergegas pulang dengan kecepatan sedang. Aku tidak terlalu berani mengebut malam-malam. Lagipula, tanganku masih sakit dan belum aku obati.

Katanya, di Pulau Lombok masih ada pembegalan. Itu kata orang-orang.

Faktanya?

Entahlah. Aku tidak tahu. Selama ini aku lebih sering diantar menggunakan mobil oleh ayah. Hari ini, aku sedikit bandel. Aku kabur dengan Buraq karena takut terlambat menghadiri meet and greet. Yeah, walau pada akhirnya aku memang gagal bertemu dengan Kak Dion.

Ya Allah…. Kan, nyesek lagi ingetnya….

Tiba-tiba suara petir yang sangat keras membuatku terkejut setengah mati. Buru-buru aku menepi untuk mengambil jas hujan merah jambu dari jok motor. Belum sempat memakai jas hujan, air pun turun dari langit dengan deras.

"Jangan dulu hujan dong! Ih!" makiku jengkel sambil memakai jas hujan.

Masih dengen hati sesak sekaligus kesal, aku kembali menaiki Buraq dengan hati-hati. Hujan deras mempengaruhi jarak pandangku. Aku tidak mau terjatuh kedua kalinya. Lebih baik aku kemalaman daripada jatuh lagi.

Aku mulai memasuki jalan sepi.

Sial!

Baru jam segini tapi suasana sudah seperti kuburan. Sepi dan agak gelap karena lampu yang berjauhan. Belum lagi hujan deras dan petir yang bersahut-sahutan yang membuat suasana kian mencekam. Astaga, bisa-bisanya aku terjebak di suasana horor begini.

Bagaimana nanti kalau ada begal?

Bagaimana kalau mesin Buraq tiba-tiba mati di jalan?

Bagaimana kalau—

DARRRR!

"AAAAKKKK!"