webnovel

My Janu ( BEING WITH YOU)

Janu ingin mati.Dia sudah tidak tahan menjalani kehidupan yang kerap kali menyiksa batinnya, melukai harga dirinya.Namun disaat dia ingin mengahiri hidupnya seorang anak laki-laki menyelamatkannya. Bukanya berterima kasih Janu justru marah kenapa remaja laki-laki itu menolongnya. Ada kalanya tidak semua hal bisa di selesaikan dengan sabar. Adakalanya menghilang itu lebih baik.

Solandra · LGBT+
Peringkat tidak cukup
21 Chs

Kembali diganggu

Janu baru saja sampai di sekolah, ia langsung masuk menuju kelasnya. Saat cowok remaja itu baru saja akan duduk di bangkunya, datang dua orang siswa langsung mendekatinya. Dua siswa itu mencengkeram dan menahan kedua tangan Janu.

Janu terkejut ia berusaha melepas kedua tangannya dari cengkraman dua siswa yang berdiri di setiap sisi tubuhnya. Tak lama kemudian datang dua orang siswi menghampiri Janu. Dia adalah Sefria dan satu temannya lagi.

"Plak!!" satu tamparan melayang ke arah pipi Janu.

"Plak!!" satu tamparan lagi.

Membuat Janu sampai menoleh ke samping, cowok remaja itu diam, menikmati rasa panas pada pipinya yang memerah.

Murid lain yang kebetulan melihat kejadian itu bengong, namun tak satupun berani mendekat untuk sekedar bertanya ada apa. Mereka hanya diam menonton.

"Kali ini aku salah apa lagi?" tanya Janu dengan wajah tenang.

Sekalipun tak ada orang yang memegangi tangannya, remaja itu tak akan membalas perbuatan Sefria.

"Salah apa??? Lo menjijikkan tahu gak. Kok ada ya, murid model kayak elo di sekolah ini. Lo gak hanya anak miskin. Tapi lo juga menjijikkan!" geram Sefria dengan tatapan benci.

Janu sudah biasa direndahkan Sefria seperti ini. Meski dia tidak tahu alasan apa yang membuat gadis remaja itu begitu membencinya.

"Kalau begitu kamu gak usah dekat-dekat aku."

"Siapa yang sudi dekat sama lo!" bentak Sefria.

"Tapi kamu setiap hari selalu datang mencariku," balas Janu seraya tersenyum miring.

"Itu karena gue muak sama lo, gue belum puas kalo belum nyakitin lo tau!!!!"

"Masalah kamu sama aku apa?" Janu menatap ke arah mata Sefria tanpa ada rasa takut.

Remaja itu diam tidak melawan bukan karena takut, dia hanya malas meladeni.

Sefria maju selangkah, wajah mereka saling berhadapan dekat sekali. Mungkin keduanya bisa saling merasakan hembusan nafas masing-masing.

"Selagi lo menjadi cowok menjijikkan gue bakal terus bermasalah sama lo!" desis gadis remaja berambut ikal itu sambil menunjuk-nunjuk dada Janu.

"Ada apa ini?" suara Nadira dari arah pintu masuk kelas mengalihkan pandangan seisi kelas.

Gadis cantik itu berjalan mendekati Sefria dan yang lainnya.

"Apa??? Lo gak usah ikut campur!" sengit Sefria.

"Kamu ngapain sih, sering gangguin Janu? Dia salah apa sama kamu?"

"Dan kalian ngapain pegangin tangan Janu kayak gitu, ini tuh sekolah tempat buat cari ilmu bukan tempat sok jagoan!" Nadira menatap tajam ke arah dua siswa yang memegangi kedua tangan Janu.

Reflek dua siswa itu melepaskan tangan Janu.

"Sudah gue bilang jangan ikut campur urusan gue!" bentak Sefria

Nadira menoleh ke arah gadis remaja berambut ikal itu.

"Aku gak akan ikut campur, kalau kamu bisa kasih tahu alasan kenapa kamu sering Banget gangguin Janu."

Sefria terdiam. Gadis remaja itu menatap tajam kearah Nadira.

"Kamu gak punya alasan yang jelas kan, iseng banget jadi orang."

Sefria mendengkus kesal. "Ayo pergi!" ajak Sefria pada pengikutnya.

Tiga pengikutnya mengikuti perintah Sefria untuk meninggalkan kelas.

"Gue kira bakal lebih seru," gerutu salah satu teman Sefria, merasa tak puas dengan acara mereka mengganggu Janu pagi ini.

"Lain kali aja. Ada pengganggu tadi" sahut Sefria tanpa menoleh.

"Lo kalau sama Nadira kok kayak takut gitu," celetuk Vivi sambil memilin kepangan rambutnya.

Sefria menoleh ke arah Vivi dan melotot galak.

Vivi langsung menundukkan pandangannya tidak berani bicara lagi.

Setelah kepergian Sefria dan teman-temannya. Nadira mendekati Janu.

"Kamu gak apa-apa?" tanya Nadira pada Janu.

"Lain kali kamu gak usah belain aku seperti tadi," ucap Janu tanpa melihat ke arah Nadira.

Remaja cowok itu duduk mulai menyiapkan buku pelajaran jam pertama.

"Lo ditolong bukannya berterimakasih malah songong gitu!" ketus Davina,

Tidak suka dengan sikap Janu yang terkesan tidak tahu terimakasih. Salah satu alasan semua siswa menjauhi Janu adalah sifatnya yang pendiam dan cenderung menarik diri dari pergaulan. Selain itu sikap diamnya itu seperti orang yang angkuh seakan dia tidak butuh teman. Itu sebabnya tidak ada orang yang peduli jika Janu diganggu Sefria dan teman-temannya.

"Buat apa aku berterimakasih, aku tidak  minta kalian untuk membelaku."

Davina berdecih. "Emang gak tahu diri lo ya! Pantas saja selalu dikerjai sefria, lo tuh ngeselin!"

"Vin...." Nadira memberi kode sahabatnya untuk tidak terlalu memojokkan Janu.

"Lain kali kalo diganggu Sefria jangan diam aja Nu ..." kata Nadira mengingatkan.

Tetap dengan nada suara yang lembut. Namun, Janu diam tak menanggapi.

xxxx

Nandes menangkap bola basket yang dilempar Alsaki ke arahnya, ia lalu mendribble bola sambil berlari melewati dua cowok yang menghalanginya menuju arah ring. Pandangannya lurus ke arah ring lalu ia melompat dan memasukan bola basket dengan sempurna ke dalam ring.

"Yeaaaaaaa" teriak para remaja putri histeris melihat cowok idaman mereka kembali mencetak poin.

Ahh.. Nandes memang idaman para gadis, idola sekolah SMA Nusa Bangsa. Bukan cowok jenius yang penting tampilannya cool. Dan para remaja putri itu rela menunda pulang demi bisa melihat Nandes latihan di lapangan bola basket setiap pelajaran sekolah usai.

"Ndes!" teriak Enda si cowok berkacamata sambil melempar satu botol air mineral dingin ke arah Nandes. Saat sesi latihan berakhir.

Nandes menangkap botol mineral itu dengan satu tangannya.

"Buat gue mana Nda..." kata Alsaki minta jatah miliknya.

"Lo gak pesen tadi kan," sahut Enda santai.

"Ya elah ... lo pilih kasih banget jadi temen, kalau Nandes dibeliin gue juga beliin dong Nda ..." protes Alsaki.

"Kayak lo kasih duit aja minta beliin juga, dan satu lagi lo jangan panggil gue Nda...Nda gitu Al," Enda cemberut.

"Kenapa sih, kan nama lo Enda. Biasanya juga gue panggil lo gitu, kenapa baru sekarang protes."

"Gue malu Al..."

"Malu kenapa?" bingung Alsaki.

"Lo panggil gue Nda, kedengarannya kayak lo manggil gue bunda aja"

Nandes yang saat itu sedang meneguk air minum langsung menyembur ke arah Enda alhasil wajah cowok remaja itu basah kuyup akibat semburan Nandes.

"Ehh...sorry...sorry...gue gak sengaja." kata Nandes sambil menahan tawa.

Enda kesal. Cowok remaja itu melepas kacamatanya lalu mengusap wajahnya yang basah oleh air mineral dari mulut Nandes

"Jorok banget sih lo Ndes,"  sungut Enda dengan wajah kesal.

"Gue gak sengaja hehehe ..."

Enda merebut sisa air mineral dari tangan Nandes lalu menggunakan air itu untuk menyiram wajahnya. Di bawah terik sinar matahari wajah Enda terlihat cerah, kontras dengan warna kulitnya yang putih, ditambah tak ada kacamata yang menutupi kelopak matanya yang indah dengan bulu mata lentik seperti seorang gadis.

Alsaki terpana, ia menelan ludah sekali. Buliran air mineral mengalir dari kening, menetes ke bibir lalu berakhir ke dagu Enda yang lancip.

"Lo ngapain sih liatin gue kayak gitu?" Enda kembali memakai kacamatanya.

Alsaki terkesiap. Lalu berdehem sekali.

Menoleh ke kanan dan kiri untuk menghindari tatapan mata Enda.

"Eh tau gak tadi pagi si Janu ditampar sama Sefria dua kali, heheh.. kasihan ya tuh anak."

Dua orang siswa melintas di depan Nandes dan yang lainnya.

"Iya heran deh, dia diem aja kalau di-bully Sefria dan gengnya," sahut siswa satunya lagi.

"Dia takut sama Sefria mungkin. Tau sendiri bapaknya ketua yayasan sekolah ini kan."

"Bisa jadi."

"Janu bisa masuk sekolah ini juga karena beasiswa kan"

Nandes dan dua sahabatnya mendengar obrolan dua cowok yang melintas depan mereka.

Alsaki dan Enda melirik ke arah Nandes. Ingin tahu gimana reaksi Nandes. Belakangan ini Alsaki dan Enda kerap melihat perubahan wajah Nandes tiap kali mendengar nama Janu disebut. Gak biasanya seorang Nandes begitu peduli dan penasaran sama orang lain yang gak ada hubungannya dengan dirinya.

"Kalian dua kenapa lihatin gue begitu?" tanya Nandes pada dua sahabatnya yang melihat kearahnya dengan tatapan menyelidik.

Alsaki dan Enda mengangkat bahu hampir bersamaan.

Nandes menyambar tas sekolahnya, lalu pergi berjalan lebih dulu meninggalkan dua sahabatnya.

Alsaki dan Enda saling pandang satu sama lain. Lalu mereka berdua memutuskan untuk menyusul langkah Nandes.

Bersambung...