webnovel

Bab 3

Hari ini 17 april, tepat hari pemilihan calon presiden dan wakil presiden, juga dewan legislatif digelar. Seluruh warga Indonesia serentak memberikan suara mereka baik tua maupun muda yang umurnya sudah mencukupi. Diluar dugaan, sekolah dan tempat kerja tidak diliburkan-melainkan harus izin terlebih dahulu lalu pergi memilih dan kemudian kembali lagi ke sekolah atau tempat kerja.

"Gimana sih ini pemerintah, kagak tau apa bolak-balik itu juga ngabisin bensin!"

Clara hanya diam mendengarkan keluhan dari Mitha, teman semejanya. Ia tidak berkeinginan untuk berbicara karena dirinya sendiri sedang menahan rasa kesal. Kenapa? Tanyakan saja pada pengendara motor Trail yang sedari tadi menguntit di belakang!

"Lo punya hubungan apa sama si Cakra? Perasaan pacar bukan, tapi dia nempel mulu sama lo!" tanya Mitha setelah melirik sekilas kaca spion.

Clara mengerang, bukan erangan sakit apalagi nafsu. "Dia bukan siapa-siapa gue elah. Abangnya dia itu sahabatnya Bang Zaki, dan nggak tahu deh kenapa dia ngintilin gue mulu."

"Mungkin suka sama lo!"

"Dih, kagak mungkin lah."

Clara membantah, walaupun sebenarnya ia juga sempat berpikir demikian. Tapi ia tidak ingin terlalu percaya diri, soalnya kalau jatuh nanti sakit. Mengingat Cakra yang sempurna dari segi fisik dan materi serta akademik, membuatnya merasa minder. Lagipula ia juga kurang suka dengan sifat kekanakan cowok itu.

"Habis ini gue nggak masuk ke kelas, mau ngisi perut dulu di kantin. Jadi nanti lo duluan aja!"

Perkataan Clara hanya ditanggapi dengan jempol dari Mitha yang mengisyaratkan kata 'oke'.

Selama kurang lebih lima belas menit kemudian, Clara dan Mitha akhirnya sampai di sekolah mereka yang tidak lain adalah SMA Bakti Sentosa. Di sekolah ini, sudah disediakan tempat parkir khusus murid yang terletak bersebelahan dengan sekolah. Alhasil membuat murid-murid harus jalan kaki terlebih dahulu untuk menuju sekolah.

"Ayo buruan!"

Baru saja sampai di parkiran, Clara langsung menyeret Mitha dengan terburu-buru. Dia takut Cakra akan menyusul lalu kemudian mengganggunya.

"Eh, santai woy!" Diseret-seret, tentu saja Mitha merasa tidak nyaman dan juga kesal.

Tepat ketika mereka berdua keluar dari gerbang parkir, Cakra baru saja datang dan Clara bisa mendengar cowok itu berteriak memanggilnya-ya walaupun kurang jelas akibat teredam oleh helm fullface.

"Buset, gue duluan Mith!"

Akhirnya Clara melepas lengan Mitha dan langsung berlari secepat mungkin. Cewek itu berlari seolah di kejar setan. Eh tapi dia kan memang sedang dikejar setan, setan childish!

"Semoga Cakra nggak bisa nemuin gue!" ucap Clara sembari mendudukkan diri di kursi kantin. Ia menyambar botol mineral di atas meja lalu meminumnya. Duh, gara-gara Cakra ia harus berlari-lari seperti tadi.

"Clara!"

Wtf!

Hingga suara itu terdengar, Clara spontan mengumpat dalam hati. Dewi Fortuna sepertinya enggan berdekatan dengannya. Ck, damn it!

"Clara kok ninggalin Cakra sih? Kan tadi udah Cakra panggil!" Sang pemilik suara tampak mengeluh lalu beralih duduk di samping Clara. Dan Clara yang awalnya hanya melirik cowok itu sekilas, kini berubah memelototinya.

"Kenapa lo masih pake helm, njir?!"

Dan ya, sekarang Cakra memang masih memakai helm-bedanya kini kacanya terbuka sehingga menampilkan wajahnya yang cemberut. Tapi tetap saja, memakai helm ke kantin!

Alhasil semua orang yang berada di kantin memusatkan perhatian kepada Cakra. Cewek-cewek berdecak kagum melihat Cakra yang masih tampan walau memakai helm. Sedangkan cowok-cowok hanya bisa tertawa sembunyi-sembunyi, mana berani mereka menertawai Cakra secara terang-terangan-mengingat walaupun Cakra bertingkah kekanakan namun sangat unggul dalam hal baku hantam.

"Soalnya tadi Cakra buru-buru, takut Clara hilang." jawab Cakra sembari melepas helm lalu menaruhnya di meja.

Sedangkan Clara sendiri hanya diam tak merespon. Dia lebih memilih bermain dengan ponselnya.

"Cakra haus, Clara." ucap Cakra yang menatap Clara dari samping.

"Minum."

"Baik!"

Sedetik kemudian, botol minuman yang dipegang Clara beralih tangan. Cakra meminumnya sampai habis tak bersisa.

"Itu bekas bibir gue!" protes Clara tak terima. Enak saja dia ciuman tak langsung dengan bocah ini.

"Tapi Cakra suka." Jawaban ini sangat jujur dan murni dari hati.

"Mesum lo!"

Cakra terkekeh hingga gigi gingsulnya tampak. Dia merapatkan kursinya mendekati Clara lalu mulai bertanya-tanya. "Clara, tadi kesulitan nyoblos engga?"

Clara menggeleng cuek.

"Bagus deh kalo gitu." Cakra mengulas senyum lebar. Tapi langsung luntur ketika teringat sesuatu. Dia menghela lesu, "Tapi tadi Cakra kesulitan."

"Kenapa?" Clara bertanya dengan ogah-ogahan.

"Cakra tadi bingung pas di TPS. Kan katanya kotak suara, tapi kok cuma diem aja pas Cakra ajak curhat?"

What the-

Clara spontan menggertakan giginya karena saking emosi akibat perkataan polos Cakra barusan. "Lo itu goblok atau bodoh sih sebenarnya?"

Alis tebal Cakra kontan meruncing, dan Clara akhirnya sadar kalau baru saja berkata kasar. Tapi sayangnya ia terlambat.

"Ish, Clara jahaat!!" Cakra berteriak murka dan langsung memeluk Clara dengan sangat erat. Sangat erat hingga membuat Clara sedikit sesak.

"Lepasin woy!" Clara berusaha memberontak. Selain risih, ia juga malu dipeluk di tempat umum seperti ini.

Berbanding terbalik dengan Clara, semua cewek yang berada di kantin kontan menjerit tertahan-semua ingin berada di posisi Clara.

"Cakra nggak suka Clara ngomong kotor, apalagi ngomongnya sama Cakra!" ucap Cakra bersungut-sungut. Bibirnya maju ke depan karena saking kesalnya.

"Ck, lepasin gue!"

"Nggak!" Cakra menggeleng cepat hingga membuat Clara takut nanti kepalanya bisa putus. "Cakra nggak akan lepasin sebelum Clara janji nanti bakal buat surat pernyataan!"

What? Memangnya dia melanggar peraturan sampai harus membuat surat pernyataan? Lagipula inikan mulutnya, terserah dia mau bilang apa.

"Dih, ogah banget!" tolak Clara mentah-mentah. Tidak sudi jika harus membuat surat pernyataan, buang-buang waktu saja.

"Yaudah kalo gitu, kita pelukan kayak gini terus! Toh Cakra juga nggak rugi." Cakra tersenyum lebar sambil menggerakan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri.

Akibatnya, Clara menjadi semakin kesal apalagi ketika kepala Cakra malah bergelung manja di bahunya. Ia paling benci ketika harus skinship dengan cowok ini, soalnya jantungnya langsung berdetak dua kali lebih cepat.

"Fine! Gue bakalan buat surat pernyataan. Sekarang lepasin gue!" Dan selalu seperti biasanya, Clara akan selalu kalah dari Cakra.

Dengan enggan dan juga lambat, Cakra melepaskan pelukannya. Clara spontan menarik diri bersama kursinya sedikit menjauh dari Cakra. Takut diserang lagi!

"Jangan lupa dikasih materai 6 ribu ya, Clara. Jangan yang 3 ribu, nanti nggak Cakra terima." ujar Cakra dengan diiringi ekspresi polosnya yang tidak ditutup-tutupi. "Terus juga boleh kok kalo nama Cakra di surat nanti dikasih embel-embel sayang. Kirimnya pake amplop pink ya, biar kayak surat cinta."

Gigi Clara kontan bergeletuk dengan amarahnya yang mulai memuncak. Sudah menjadi tradisi jika berdekatan dengan Cakra, ia akan sangat mudah tersulut emosi. Sudah sangat rela ia mau membuat surat pernyataan yang sangat konyol itu, ini malah ada tambahan yang cukup menyebalkan.

"Bodo amat, gue mau ke kelas!"

Karena stok kesabaran Clara sudah menipis, cewek itupun akhirnya memilih untuk beranjak pergi. Tapi dia mampir terlebih dahulu untuk membayar minumannya tadi.

"Mbak Dewi." panggil Clara sambil celingukan mencari pejual kantin yang tidak tampak batang hidungnya. Ia berteriak memanggilnya berkali-kali namun masih tidak ada yang menanggapi. Ck, selalu saja seperti ini. Sejak beberapa minggu ini, Mbak Dewi selalu saja tidak ada saat ia mau membayar.

"Mbak Dewi nggak ada, Clara."

Clara spontan menoleh dan mengeluh malas ketika mendapati Cakra sedang berdiri di sampingnya. Ngintil again!

"Lha yang bilang Mbak Dewi ada siapa?" tanya Clara sewot.

"Itu Clara barusan bilang."

Jawaban polos Cakra membuat Clara merengut. Cukup, ia sudah tidak tahan lagi. "Lo tetep disini, nanti kalo Mbak Dewi udah ada, bayar minuman tadi. Lo juga ikut minum kan? Gue mau pergi dulu, bye!"

Clara pun akhirnya melenggang pergi. Meninggalkan Cakra yang kini mengeluarkan dompetnya yang terbuat dari kulit asli. Cakra itu sukanya yang asli-asli, bukan kw atau imitasi.

"Mbak Dewi."

Hanya satu panggilan, namun Mbak Dewi langsung muncul dalam sekejap. Ternyata wanita berusia duapuluh tahunan itu sedari tadi bersembunyi di balik tumpukan kardus.

"Iya, Mas Cakra?" tanya Mbak Dewi yang menghampiri Cakra.

"Total semua jajanan Clara minggu ini berapa, mbak?"

Mbak Dewi mengambil buku catatan dari kantong celemek yang ia pakai. "68 ribu, mas."

"Ini." Cakra mengambil seratus ribuan dari dompet lalu menyerahkan kepada Mbak Dewi. "Sisanya buat kedepannya aja."

"Siap, mas!"

"Pokoknya kalo Clara mau bayar, Mbak Dewi harus sembunyi. Biar nanti Cakra yang bayar."

"Siap, mas!"