Dalam keadaan setengah sadar dan mabuk, Sherin dapat mengenali suara siapa yang mengajaknya pulang. Pria yang berani membenamkan tubuhnya dalam pelukan agar terbebas dari laki-laki hidung belang.
Sherin melonggarkan pelukan. Menengadahkan kepala pada laki-laki yang lebih tinggi darinya. "Aishhh! Kenapa kamu ke sini lagi?" tanya Sherin kesal.
"Kalau aku tidak ke sini, maka kamu akan jadi santapan malam mereka. Apa itu yang kamu mau?" Ed yang membuang rasa kantuk pun menjadi kesal.
"Benar juga. Tentu saja aku tidak mau tidur dengan mereka."
"Kalau begitu, ayo pulang!" Ed menarik tangan Sherin. Membawa wanita itu pergi meninggalkan tempat yang penuh dengan hingar bingar.
"Tetapi aku tidak mau pulang ke rumah," tolak Sherin saat kakinya mengikuti ke mana Ed pergi.
"Iya. Yang paling penting kamu pulang."
***
Sesuai permintaan Sherin, Edzhar mengantar wanita itu ke kondominium. Lebih baik tidur di sana dari pada berakhir di kamar hotel bersama laki-laki yang entah dari mana asalnya.
"Aku pusing. Rasanya panas sekali," ujar Sherin. Pengaruh alkohol pun mulai terasa. Namun, Sherin bisa merasakan ada yang berbeda dari tubuhnya.
"Menyusahkan sekali! Kalau bukan karena Papa, aku lebih memilih tidur di ranjangku yang empuk," kesal Ed. Sungguh dia merasa jengkel. Lagi-lagi jam istirahatnya harus terkuras karena Sherin.
"Gendong aku saja! Kepalaku pusing. Rasanya sangat berat." Dalam keadaan seperti itu, Sherin tidak akan menolak jika harus digendong. Tetapi saat kesadaran memenuhi otaknya, disentuh sedikit saja tidak akan mau.
Ed keluar dari pintu depan sisi kanan. Mengitari bagian depan mobil untuk membuka pintu bagian kiri. Dia membantu Sherin untuk melepaskan sabuk pengaman. Bau alkohol yang menyengat menusuk hidung. Ed sangat membenci itu.
Tangan Edzhar mulai menangkup tubuh langsing Sherin. Susah payah membawanya masuk ke dalam lift. Bukan hanya itu saja, sesampai di depan pintu dia bingung harus melakukan apa. Sherin sedang mengalungkan kedua tangan di lehernya. Sementara kartu akses ada di dalam tas.
"Kamu turun sebentar!" titah Ed. Tidak ada pilhan lain karena dia kesulitan untuk membuka pintu.
"Kenapa harus turun? Kamu tidak kasihan padaku! kalau sampai papaku tahu kamu membiarkan aku kesakitan, pasti dia akan mengusirmu." Dalam alam bawah sadar, Sherin tahu jika Lynch sangat menyayanginya. Tetapi, perintah menjadi CEO adalah satu hal yang tidak bisa ditoleransi. Apa lagi mereka bersitegang karena kehadiran Ed dalam keluarga mereka.
"Aku tidak takut. Kamu sendiri yang bilang kalau Tuan Lynch adalah papaku. Lalu, kenapa kamu ingin mengadukanku? Tentu saja papa akan membelaku." Edzhar tidak mau kalah dalam perdebatan.
Perasaan jengkel membuat Sherin melepaskan tangan dari leher Ed. Menurunkan kaki agar laki-laki itu bisa membuka pintu.
Ed lebih leluasa untuk mencari kartu akses dalam dompet kecil yang bersembunyi di tas Sherin. Mendapatkan benda itu, dia langsung menempelkannya pada gagang pintu.
"Ayo masuk!" ajak Ed. Dia berencana akan menginap di sana. Sungguh tubuhnya sangat lelah. Rasa kantuk yang sudah hilang kini kembali lagi. Jika dipaksakan mengemudi bisa berbahaya.
Ed memapah tubuh Sherin ke dalam kamar. Mulutnya tidak berhenti menggerutu. Faktor karena lelah dan mengantuk. Biasanya dia juga membantu Sherin tanpa paksaan.
Sherin sudah duduk di ranjang. Kakinya yang masih mengenakan heels masih menempel di lantai. Edzhar tidak keberatan jika harus melepaskan itu.
"Kenapa panas sekali?" mulut Sherin terus bersungut-sungut. Dia membuka baju yang menutupi bagian atas. Terpangpanglah dua benda bulat miliknya. Meski memakai breast holder, tetap saja miliknya menyembul.
Ed yang melihatnya hanya bisa menelan saliva. Dia adalah laki-laki normal. "Kenapa kamu membuka baju? Apa kamu tidak malu?" kesal bercampur senang menghampiri Ed. Pemandangan indah di depan mata tidak bisa dilewatkan begitu saja.
Tiba-tiba, Sherin menatap Ed penuh damba. Entah kenapa, malam ini Ed begitu tampan di matanya.
Sherin menarik tubuh Ed. Tidak mempersiapkan diri membuat laki-laki itu terjatuh. Tepat di atas tubuh Sherin. Dua benda kenyal itu langsung menyentuh dada bidang milik Edzhar.
Entah kerasukan apa, Sherin mengalungkan tangan di leher Ed. Menyambar dengan rakus bibir laki-laki itu. Perlahan dia berubah menjadi lembut. Menggerakkan bibir dan memberikan kehangatan pada Ed. Bahkan, lidah Sherin pun mendesak masuk ke mulut Ed.
Lelaki mana yang tahan. Saat ingin menghindar, tangan Sherin justru semakin erat menahannya.
Ed tidak bisa menolak lagi. Benteng pertahanannya pun runtuh. Bibir dan lidahnya mulai menyambut perbuatan Sherin. Semakin dalam sehingga gelora di dalam jiwa mereka semakin membara.
Ed mulai menurunkan bibir ke cerug leher Sherin. Wanita itu semakin tidak tahan. Saat Sherin mengeluarkan suara-suara indah, hal itu pun membuat Ed semakin bersemangat.
Tibalah Ed pada dua bukit yang menjulang tinggi. Bulatan indah yang sejak tadi sudah menggodanya. Pendakian pun dimulai. Keduanya semakin tidak tahan. Pikiran mereka sudah tidak bisa diajak bekerja sama. Perlahan tetapi pasti tubuh mereka pun menyatu.
Ed merebahkan dirinya tepat di samping Sherin. Wanita itu kelelahan. Dia pun sama. Perlahan mata Sherin terpejam. Alkohol dan pergulatan panas membuatnya mudah terlelap.
Ed melihat tubuh tanpa penghalang milik Sherin. Rasa penyesalan yang besar kini menguasai hatinya.
"Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa aku melakukan hal ini? maafkan aku She. Aku pasti akan bertanggung jawab."
Ed meraih tubuh Sherin yang sudah terlelap. Membawa wanita itu masuk dalam dekapannya. "Aku janji akan bertanggung jawab. Aku tidak mau kamu semakin membenciku, She." Ed membenamkan kecupan di puncak kepala Sherin. Kemudian dia pun ikut memejamkan mata.
***
Pagi-pagi, netra Sherin pun terbuka. Menahan pusing yang masih betah di kepala. Namun, saat membuka mata dia terjingkat. Tubuh polos Ed sedang memeluknya.
"Aaaa!" Sherin berteriak membuat Ed yang masih tidur terbangun tiba-tiba.
"Apa yang terjadi? Kenapa kita berdua tidak berpakaian? Kamu melecehkanku, ya?" Mulut Sherin sudah penuh dengan pertanyaan.
"Kamu tidak ingat dengan apa yang kamu lakukan? Bukan aku yang melecehkan kamu, tetapi kamu sendiri yang menggodaku. Coba pakai otak kamu untuk mengingat apa yang terjadi tadi malam." Tentu saja Ed membela diri. Meski dia bersalah, tetap saja godaan dimulai dari Sherin.
"Aaaa!" Sherin semakin berteriak saat mengingat kejadian yang menimpa mereka. Dia sudah melepaskan apa yang dijaga selama ini pada laki-laki yang diasuh oleh papanya. Sherin sendiri tidak mengerti dengan kondisi tubuhnya tadi malam.
"Jangan berteriak terus! Gendang telingaku bisa pecah." Ed juga meninggikan suara. Percuma jika berbicara lembut pada wanita itu. Beruntung kondominium tersebut kedap suara.
"Hiks…hiks…hiks…" seketika teriakan Sherin berubah menjadi tangisan. "Kenapa aku melakukan itu? kenapa kamu tidak menghindar? Aku sudah melepas kegadisanku. Hiks…hiks…hiks…"
Melihat Sherin yang menangis, Ed pun menghela napas, lalu membuangnya perlahan. Benar kata Sherin. Ini semua salahnya. Seharusnya Ed bisa menghindar. Tetapi, dia juga laki-laki normal. Mana mungkin melewatkan santapan lezat yang dihidangkan di depan mata.
Ed menarik tubuh Sherin. Membawanya ke dalam pelukan. "Maafkan aku, She. Ini semua bukan salah kamu. Benar ini salahku."
"Apa yang harus kita lakukan, Ed? Papa pasti marah besar jika tahu." Sherin bingung harus berbuat apa. Bersitegang dengan papanya sudah menjadi hal biasa. Tetapi perbuatan mereka kali ini pasti akan menyakiti Lynch.
"Aku akan bertanggung jawab. Papa tidak perlu tahu. Kita akan menikah."
Ingin menolak, namun lidah Sherin terasa kelu. Hanya itu jalan satu-satunya agar terlepas dari amukan sang papa.