webnovel

Must Be Mine! (BL)

Ranendra Bian Alfanrez, seorang pria mungil dengan kelebihan parasnya yang nyaris sempurna. Siapa yang sanggup menolak untuk tak bertekuk lutut? Sederhana saja, jika ingin di tanggapi beri dia segepok uang. Katakan saja dia sudah mulai tak berminat untuk main hati, jiwa yang terlanjur kosong, bahkan membuatnya tak sedikit pun menjaga diri. Lagipula, apa gunanya? Bukankah tubuhnya sudah rusak sejak awal? Salahkan Sean Nathaniel Rezgaf yang tak bisa membalas cintanya. Pria yang tak lain adalah sahabat semasa SMA nya, yang akhirnya menjauh karena pengakuan cintanya. Sampai menarik mundur jarak keduanya yang begitu jelas, Nathan pergi tanpa pamit. 8 tahun nyaris terhitung, perlukah selama itu Nathan membuangnya? Bahkan rasanya terlampau menyakitkan saat pria itu memperlakukannya seperti orang asing. Belum lagi harus tertampar kenyataan saat Nathan kembali dengan membawa gadis cantik yang memanggil, Daddy? Rindu, canggung, amarah, dan jantungnya yang masih berdebar kencang menunjukkan perasaan Bian yang tetap sama. Ia yang masih cinta. Perlukah Bian menunjukkan cintanya terang-terangan, lagi? Atau hatinya yang lagi-lagi di lukai membuatnya menyerah saat di waktu bersamaan Alex- bocah SMA yang terus menguntit? Lantas bagaimana jika skenario di rancang untuknya bisa menyusup ke dalam kehidupan Nathan? Apakah gairah binalnya masih bisa di tahan saat semakin gencarnya Nathan menyeruakkan kejantanan dihadapannya?

Erina_Yufida · LGBT+
Peringkat tidak cukup
31 Chs

"Terimakasih sudah meladeni racauan ku."

"Ekhem! Meski kau tak berniat membalas ucapan ku, tak apa. Sungguh, aku hanya ingin berbasi-basi dengan mu. Pertama-tama, perkenalkan nama ku Ranendra Bian Alfanrez. Kau bisa memanggil ku Bian. Ah... Atau sayang juga boleh. Umur ku sudah 25 tahun, tak seperti kebanyakan orang, sedikit pun dalam pikiran ku tak pernah berpikiran untuk membina rumah tangga. Pada dasarnya wanita justru akan membenci ku, mereka menganggap ku musuh. Karena, yah... Aku lebih cantik, dan bisa sangat berbahaya untuk merebut pria straight sekalipun."

... Ya, aku gay. Tapi bukan golongan yang terlalu beruntung seperti seseorang. Aku sebatang kara, hanya satu orang yang menerima segala kekurangan atau bahkan kerusakan ku, ketulusan yang sejujurnya sangat ingin ku dapatkan dari peran masa lalu ku. Seseorang yang ku gilai setengah mati. Seseorang yang telah pergi terlalu lama sampai-sampai aku begitu merindukannya. Seseorang yang masih tak mau menyingkir dari dalam hati dan juga pikiran ku."

"...."

Bian yang tanpa sadar bicara terlalu banyak. Perkenalan yang terlalu berlebihan sampai-sampai seperti tanpa sungkan mengutarakan pencapaian di hidupnya yang nol besar. Mulutnya terus terbuka mengatakan kata demi kata tanpa kesulitan. Terlalu nyaman tanpa di sadari sampai ia terduduk di bangku pinggir jalan seolah begitu terbawa suasana dan ingin waktu lebih lama lagi untuk bicara berbagai hal tentangnya. Meski tak sekali pun ada jawaban.

"Terimakasih sudah meladeni racauan ku. Sungguh, yang ku butuhkan saat ini memang seorang pendengar yang tulus menampung keluh kesah ku. Jujur saja, kawan ku tak cukup baik untuk di ajak berkeluh kesah atau berdiskusi semacam ini, dia terlalu banyak banyak omong tanpa isi dan bakatnya hanya menertawai ku saja. Hahahaha..." Tawanya canggung. Meski setelah itu pengharapan yang di ucapnya di katakan dengan sungguh-sungguh.

... Ku harap, di kemudian hari aku bisa bertemu nyata dengan orang seperti mu."

Tuttt tuttt

Mengakhiri panggilan dengan senyum yang mulai terbit di bibir penuhnya. Benar-benar merasa lega sampai rasanya beban menghimpit di dadanya sedikit terlepas. Ya, meski pun orang asing itu sama sekali tak berniat membalas ucapannya sedikit pun. 

"Coba saja yang di katakan Tio benar, pria kaya tak akan pernah ku lewatkan. Kalau tidak bisa mencabik-cabik mulut lancang Devan, setidaknya aku hanya ingin di posisi sejajar." Kekeh Bian menyadari angannya yang terlalu tak masuk akal.

"Sialan! Aku mencari mu kemana-mana, bocah!"

Sebuah teriakan dari seseoerang yang di kenal membuat Bian reflek menoleh ke sumber suara. Mesin motor di matikan, Tio berjalan begitu cepat dengan langkah menghentak-hentak. Raut wajah menekuk terlalu dalam dengan bibir yang terkunci terlalu rapat. Jarak yang semakin dekat, sampai-sampai Bian mendengar dengan begitu jelas dengusan Tio. Kawannya itu marah?

"Yo, bagaimana kau bisa tau kalau aku di sini- Akhh... Isshhh..."

Lancang, Bian yang mengadu kesakitan langsung menepis Tio yang menjewernya.

Bangkit, lantas menghadap Tio dengan berkacak pinggang.

"Kau pikir apa yang sedang kau lakukan barusan, eh?!"

"Memberi pelajaran untuk seseorang yang membuat ku cemas. Kenapa pergi tanpa mengabari ku, eh?!"

Keduanya yang makin maju, beradu saling meninggikan dagu.

"Eh? Kau membentak ku? Kau pikir kau siapa sampai harus tau segalanya tentang ku?"

"Satu-satunya teman mu?"

"Lalu kau pikir, hanya dengan status mu itu berhak menguntit ku kemana-mana?"

"Kemana tidak? Aku hanya ingin ingin kawan ku tak kesepian. Tak peduli walau di anggap penguntit sekali pun."

"Wah... Apa aku harus merasa tersanjung karena telah memiliki mu di hidup ku?"

"Tak perlu, rasa ku pada mu tak butuh pengakuan balas. Aku benar-benar tulus."

Kata-kata yang berhasil membuat Bian membisu. Pipinya bahkan sampai merona. Kakinya bergerak-gerak, dari balik sepatu, jemarinya mengukir abstrak di tanah. Kepalanya tertunduk, menyembunyikan kedutan di bibirnya.

Di pelukan malam, hawa dingin terasa hangat untuk keduanya. Bintang mendadak muncul dan bersinar begitu terang. Alunan musik yang entah dari mana asalnya seperti terdengar jelas di telinga.

Pengakuan resmi yang membuat situasi mendadak begitu romantis. Hanya tinggal selangkah, seakan-akan mereka akan melaju ke lembaran hidup bersama dengan sumpah mati tak terpisahkan.

Jika saja yang berhadapan dengan Bian bukan Tio.

Plakk

Bukan ciuman mesra sambil berbalas senyum mengikrar sumpah cinta. Lebih akrab di bandingkan itu. Bian memukul brutal kepala Tio berulang kali. "Amit-amit-amit-amit....!!!" Sambil berjingkrak mengusir segala kemungkinan takdir yang bisa saja makin membuat hidupnya sengsara.

"Ouch-ouchh...!"

Memutar tubuh Tio untuk menendang-nendang pantatnya. Tak peduli berapa banyak pria itu memekik seperti keledai yang di cambuk.

"Geli! Siapa yang mengajari mu untuk menggombal ke sembarang orang, eh?!"

"Ampun-ampun, Bi... Lagipula kau bukan orang lain, kau itu sudah menjadi orang terpenting untuk ku, Bi... Akhh!"

"Lah, itu! Kau melakukannya lagi! Terpenting kata mu?! Kata-kata menjijikkan apa yang baru saja keluar dari mulut mu itu, eh?! Dasar cabul tukang gombal!"

Plakk

"Cabul? Kau menyebut orang tulus seperti ku, cabul?"

"Erggh... Pakai segala bilang-bilang tulus, lagi! Kau pikir aku butuh ketulusan mu, eh?!" Bian yang suaranya hampir habis karena terus menjerit. Meski tanpa lelah memukuli si bajingan Tio.

"Hei, apa-apaan kau! Apa yang kau pikirkan? Ini tentang pertemanan kita."

Mulanya Tio yang pasrah, sampai ide jahilnya mulai menyala-nyala untuk menggoda. Mencekal kedua tangan Bian, menatap kawannya itu dengan alis di jungkat-jungkit sambil cengar-cengir.

... Atau jangan-jangan-"

Bian yang mendadak langsung melotot tajam. Mengerti arah tujuan Tio yang mengada-ngada. "Kau lanjutkan ucapan mu, mati kau di tangan ku."

"Kau kejam sekali sih, Bi. Kita lihat, apa kau sanggup membunuh kawan mu paling berharga ini."

"Akhh...! Lepaskan...!!!"

Bian menjerit, tanpa di duga Tio mencengkram belakang lututnya dan dengan mudah memanggulnya di pundak seperti karung beras.

Kepalanya langsung terasa pening, darah menyerbu keseluruhan ke sana. Awalnya ia memberontak habis-habisan dengan tangan dan kaki menyerang layaknya pergerakan kepiting. Sampai di mana pantatnya menyentuh jok motor milik Tio yang terparkir, saat itu juga Bian berubah begitu manis. Memeluk erat tubuh sang kawan dengan menyandarkan diri sepenuhnya.

Melewati perjalanan dengan bagian yang paling menyenangkan. Ya, Bian begitu suka saat kulitnya tersapu angin. Ehmm... Atau bisa di katakan pula jika ia sangat suka di bonceng motor.

Sementara Tio yang mengintip Bian dari balik spion pun merasa tenang. Meski tak secara langsung melihat, ia bisa merasakan lewat punggungnya jika seulas senyum baru saja terbit di bibir sang kawan.

"Hari ini, kau pasti sangat lelah ya?"

"Hem, jadi jangan mencari perkara lagi dengan ku."

Tio tertawa ringan, Bian rupanya masih galak meski nada bicaranya mengikuti pelan.

"Nanti ku panaskan air di kompor. Mandi air hangat, sepertinya bisa sedikit membuat mu rileks."