webnovel

Must Be Mine! (BL)

Ranendra Bian Alfanrez, seorang pria mungil dengan kelebihan parasnya yang nyaris sempurna. Siapa yang sanggup menolak untuk tak bertekuk lutut? Sederhana saja, jika ingin di tanggapi beri dia segepok uang. Katakan saja dia sudah mulai tak berminat untuk main hati, jiwa yang terlanjur kosong, bahkan membuatnya tak sedikit pun menjaga diri. Lagipula, apa gunanya? Bukankah tubuhnya sudah rusak sejak awal? Salahkan Sean Nathaniel Rezgaf yang tak bisa membalas cintanya. Pria yang tak lain adalah sahabat semasa SMA nya, yang akhirnya menjauh karena pengakuan cintanya. Sampai menarik mundur jarak keduanya yang begitu jelas, Nathan pergi tanpa pamit. 8 tahun nyaris terhitung, perlukah selama itu Nathan membuangnya? Bahkan rasanya terlampau menyakitkan saat pria itu memperlakukannya seperti orang asing. Belum lagi harus tertampar kenyataan saat Nathan kembali dengan membawa gadis cantik yang memanggil, Daddy? Rindu, canggung, amarah, dan jantungnya yang masih berdebar kencang menunjukkan perasaan Bian yang tetap sama. Ia yang masih cinta. Perlukah Bian menunjukkan cintanya terang-terangan, lagi? Atau hatinya yang lagi-lagi di lukai membuatnya menyerah saat di waktu bersamaan Alex- bocah SMA yang terus menguntit? Lantas bagaimana jika skenario di rancang untuknya bisa menyusup ke dalam kehidupan Nathan? Apakah gairah binalnya masih bisa di tahan saat semakin gencarnya Nathan menyeruakkan kejantanan dihadapannya?

Erina_Yufida · LGBT+
Peringkat tidak cukup
31 Chs

"Cukup, jangan ingat dia lagi... Jangan ingat..."

"Rasakan ini!"

"Bi...! Hentikan! Apa salah ku, eh?!"

"Sialan! Masih tanya lagi! Gara-gara kau, aku terpaksa mengemis makanan. Kau mengambil semua uang ku, bangsat!"

Tio yang kebingungan, di tambah posisi meringkuknya yang semakin terdesak mundur, melindungi kepalanya dari hantaman Bian yang semakin murka.

"Uang? Uang apa, eh?!"

"Tak usah mengelak! Kau mencuri uang ku, kan?!"

Keadaan makin kacau, Tio di buat keringat dingin saat para tetangga mulai datang mengerumun. Tatapan tajam yang seakan ancang-ancang mengepungnya. Tuduhan Bian jelas mempropokasi.

"Mati aku!"

Sampai tragedi naas, Tio yang bermaksud menepis lengan Bian malah makin terdorong. Pintu reot dengan kunci tak berguna.

Gubrak

Pintu ambruk. Tio terjungkal, sesak napas akibat Bian yang menindihnya.

Pertunjukan konyol yang membuat penonton mendesah kecewa. Tersangka dan korban yang malah saling tatap cengo.

"Sekarang bagaimana?"

Bian yang menekuk kaki terduduk di atas ranjang, tak habis melotot mengikuti setiap pergerakan Tio yang sibuk menggeser nakas dan pemberat lainnya untuk mengganjal pintu.

"Jadi bukan kau yang mengambil uang ku?"

Tio yang menepuk kedua tangannya tanda lega setelah menyelesaikan pekerjaannya. Namun ekspresi puas di wajahnya kembali berkerut setelah berbalik menatap Bian, tuduhan sang kawan yang terus-terusan menyasarnya.

"Ckck! Sebutuh-butuhnya aku, tak mungkin juga aku merampas sesuatu dari seseorang yang jauh lebih membutuhkan."

"Yo-"

"Meski pun benar pun, perbuatan ku yang kau curigai harusnya tak jadi masalah, kan? Kau berhutang banyak pada ku. Jujur saja, jika posisi ku di gantikan orang lain, mungkin kau akan terus di teror sampai melunasi hutang."

"Isshh... Kau ingin dengar seberapa beruntungnya aku mengenal mu, kan?"

"Sepertinya kau masih belum bisa menerima kenyataan atas sebegitu tulusnya aku pada mu ya, Bi?"

Bian memutar bola mata, menjatuhkan dirinya dalam posisi berbaring menghadap langit-langit kusamnya.

"Topik selesai. Aku ingin tidur."

Tio berdecih, meski air mukanya malah cengar-cengir mendapati dirinya yang menang atas perdebatan.

"Sepertinya aku juga perlu tidur siang."

Tio yang berniat menggelar tikar, mendadak salah fokus pada salah satu benda yang menjadi ganjalan pintu.

"Kau tak berniat melarikan diri dari ku, kan?"

"Sudah, aku tak ingin berdebat lagi dengan mu."

"Koper ini, apa maksudnya?" Tio menjatuhkan benda itu di samping Bian, membuat yang di ganggu gagal melangkah ke alam mimpi.

"Kalau penasaran, buka saja." Nada Bian menggeram kesal. Lengannya coba menyingkirkan koper yang mempersempit wilayah rebahannya, yang menyebalkan Tio malah mengobrak-abrik seluruh isi koper seperti berniat menguburnya dalam tumpukan barang.

"Sial! Apa ini?"

Tio nampaknya terlalu bersemangat, mata berkantung tebalnya mendadak terlalu berbinar hanya dengan membaca merk ternama yang tercantum di pakaian, aksesoris, atau pun jajanan.

Makin gilanya, saat dengan tanpa semangat Bian membalas, "Oleh-oleh dari Mike."

"Sekoper. Bi, serius kau tak mau memintanya untuk membelikan ku rumah mewah? Serius, setidaknya tinggalkan saja tempat kumuh ini."

"Aku cukup punya malu untuk tak mengemis secara berlebihan."

"Sekarang aku paham maksud ucapan mu. Demi apa pun, dia dermawan sekali." Tio mendamba, memegang kotak hitam yang setelah di buka membuatnya terkagum-kagum tak karuan. Kilauan premium jam tangan yang seketika membuat tapak tangan berkapalnya menjadi sangat berharga.

Bian yang mengibas lautan kerusahan yang menimpanya, bahkan sampai tak sanggup memprotes perbuatan Tio yang merecoki.

"Boleh aku meminjamnya? Aku ingin bergaya, setidaknya dengan barang mewah wanita akan terpikat pada pria miskin seperti ku."

"Ambil saja. Setidaknya kau punya sedikit keuntungan dengan punya sahabat brengsek seperti ku."

"Huh, benarkah?"

"Apa aku pernah bohong? Lagipula, pemberian Mike sebelumnya masih banyak."

Seketika itu Tio bersimpuh, menggenggam erat tangan Bian dan menciumi punggung tangannya dengan penuh semangat.

"Lepas."

"Sungguh, aku akan bertahan di sisi mu sampai ku dapatkan lagi barang mewah yang seperti ini."

... Ah, tidak-tidak. Maksud ku itu... Kau tau kalau aku tulus berteman dengan mu, kan?" Ralat Tio dengan cengiran lebar.

"Jujur saja, aku geli mendengar bualan mu."

"Bi-"

"Apa lagi..."

"Jam tangan ini benar-benar untuk ku, kan?"

"Hmm."

"Tapi sepertinya yang ini sangat istimewa. Ada lipatan kertas di dalamnya."

Bian yang hendak tertidur, seketika saja bangun dengan tersentak. Menyabet kertas dari uluran tangan Tio, berharap sebuah tulisan tangan Mike alih-alih kombinasi angka yang membuatnya menghela napas jengah.

"Nomor apa itu?"

"Dia terus menyisipkan nomor ponsel seseorang yang aku juga tak tau siapa pemiliknya."

"Tak kau coba menghubunginya?"

"Kali ini tak akan ku lakukan. Kalau kau tau, kesabaran ku sangat tipis untuk tak menghardiknya. Aku yang berupaya menuruti keinginannya Mike, sama sekali tak sepadan dengan tanpa suara yang sama sekali tak membalas sapaan santun ku. Kau tau kalau aku sangat benci di abaikan, kan?"

"Jangkauan luar negeri. Oh... Apa kau tak berpikir jika pria kesayangan mu itu hendak menjodohkan mu dengan seorang miliarder kaya raya?"

"Ckck! Omong kosong!"

"Hei, ku pikir tak ada salahnya kau coba. Pria mana pun tak masalah untuk mu, yang penting dia kaya, kan? Sedikit berumur dengan rambut beruban, pada dasarnya yang kau idamkan adalah stamina kejantanannya, kan?"

"Sialan!" Bian kecil, melempar Tio dengan kertas kecil yang rematnya.

"Ayolah... Setidaknya coba saja, lagi pula tak ada ruginya, kan?"

Bolehkan Bian mengatakan satu hal? Di antara banyak suara yang hinggap di telinga, nyatanya milik Tio paling berpengaruh.

Sampai larut malam Bian terus terbayang ucapan Tio. Kepalanya bahkan sampai terasa pening akibat pura-pura lelap di sekitar dengkuran sang kawan yang seakan meledek.

"Aishhh! Masa bodoh!"

Desisnya gamang, mengubur tubuh mungilnya dengan selimut. Tak terjeda, beberapa detik setelah itu Bian malah melongok ke kolong kasur hanya untuk mengutil sampah kertas.

"Ahhh..."

Tio yang alih posisi, membuat Bian yang takut kepergok buru-buru meloncati posisi kawan, memindik-mindik lantas mengunci diri di dalam kamar mandi.

Meremas ponselnya untuk beberapa saat, penuh pertimbangan sampai akhirnya kembali mengetik kombinasi angka yang di hapalnya luar kepala, seakan pemblokiran yang berulang kali di lakukannya tak ada guna.

Jempolnya yang bergetar, seperti terasa sangat sulit hanya untuk menekan tombol memanggil.

Drtt

Seperti biasa, tak memerlukan waktu lama untuk menunggu. Seseorang di sana begitu cepat mengangkat panggilan darinya.

"Halo?"

"...."

Hening.

Namun juga tak ada perubahan sedari awal. Tak ada sedikit pun balasan singkat untuknya.

"Ishhh... Bodohnya aku. Kenapa aku repot-repot bicara pada orang yang tak mengerti ucapan ku?"

Seakan membuat perkara, lagi-lagi Bian menggali lubang sendiri untuk menerjun bebaskan perasaannya. Segera mengakhiri panggilan, memukul-mukul tempurung kepala memberi pelajaran pada otak yang lamban berpikir.

Apa yang pada sebenarnya di harapkan dari nomor itu? Pemberian Mike, apakah dalam lubuk hatinya masih berharap jika pria itu dapat membantunya mengulang pada masa lalunya yang indah?

Seseorang yang masih begitu lekat dengan nadi bahkan detak jantungnya, apakah takdir bisa berubah setelah segalanya hancur tak tersisa?

"Bi... Sungguh, jangan memulainya. Kau sudah terlalu banyak terluka. Cukup, jangan ingat dia lagi... Jangan ingat..."