Aeden kembali dari kediaman Ezell. Hari ini ia pulang larut karena bermain dengan 3 temannya. Ezell bergabung di beberapa menit terakhir. Ia tak menyangka jika sahabatnya itu buas juga. Berjam-jam bermain dengan Qiandra. Entah permainan apa yang dimainkan oleh sahabatnya itu.
"Kau belum tidur?" Aeden mendekat ke Dealova yang tengah menonton film horror.
"Belum ngantuk."
"Kenapa belum?"
"Harus ada alasan?"
Aeden menggelengkan kepalanya, "Atau kau menungguku pulang?"
"Jangan membuatku mual."
"Bukan, ya?" Aeden duduk di sebelah Dealova. Ia meraih bahu Dealova lalu membaringkan Dealova dengan kepala di pahanya.
"Kau sedang apa?"
Aeden mengelus kepala Lova, "Menontonlah." Aeden melihat ke televisi, "Aih, menonton film horror tengah malam begini. Kau memang aneh, Lova."
"Kenapa? Kau takut?" Lova menatap meremehkan.
Aeden tertawa mengejek, "Aku tidak takut apapun, Lova."
"Awas saja jika kau menjerit takut."
"Tidak akan."
Mereka akhirnya menonton bersama. Tangan Aeden merambat, dari di atas perut Lova pindah ke dada Lova. Bermain-main disana.
"Ahhh.." Lova mendesah.
"Kau takut yah?"
Lova memejamkan matanya, "Kau bisa bedakan menjerit takut dengan desahan, tidak?"
"Oh, kau mendesah." Aeden memainkan puting Lova.
Sengatan listrik beraluran kecil menyebar ke seluruh tubuh Lova, "Mau menonton atau ke ranjang?" tanya Aeden.
"Kau bertanya seakan aku punya pilihan saja."
"Ayolah. Berpura-pura saja aku memberimu pilihan."
"Aku benci berpura-pura." Benar, Lova anti berpura-pura kecuali jika dia sedang berada dalam tugas.
"Jujurmu itu kadang-kadang tak menyenangkan, Lova." Aeden mendengus pelan.
Lova tak merubah wajah tenangnya, "Aku tak peduli kau senang atau tidak. Aku hanya mengatakan apa yang ingin aku katakan."
"Nanti kita sambung lagi percakapannya. Celanaku sudah sesak." Aeden melihat ke tonjolan di tengah selangkangannya.
"Aku pikir kau akan mati jika tidak melakukam sex dalam sehari. Otakmu pasti bukan ada di kepala tapi di selangkanganmu!"
"Kau memang ahli dalam berkata pedas. Bibirmu memang salah satu bagian yang aku suka, Lova."
"Ya, nomor satunya selangkanganku."
"Tidak.. Wajahmu."
Lova tersenyum mengejek, "Berhentilah merayu, aku mual karena kata-katamu."
Aeden tertawa geli, "Kau benar-benar membuatku ingin menghujam mulutmu, Lova." Aeden menurunkan kepala Lova di sofa. Ia segera menggendong Lova dan membawanya ke ranjang.
"Bibirmu ini seperti buah cherry. Merah menggoda." Aeden mengelus bibir Lova. Kemudian ia melumat bibir manis itu.
**
"Apa yang kau tahu tentang Lovita?" Usai bercinta Aeden menanyakan perihal Lovita. Topik yang tak disukai oleh Lova.
"Tak ada." Lova menjawab jujur. Ia tak mengetahui apapun tentang Lovita.
Aeden mengerutkan keningnya. Ia membalik tubuhnya, dagu lancipnya seperti menusuk perut tanpa penutup Lova.
"Kalian bersaudara. Tidak mungkin kau tidak tahu tentangnya."
"Selama 23 tahun aku hidup. Hanya 3 kali aku bertemu dengan wanita itu. Saat usiaku 12 tahun. Saat aku dipanggil Jayden untuk menggantikan Lovita dan kemarin."
Aeden menganga, yang benar saja, selama 23 tahun hanya itu pertemuan Lova dan Lovita.
"Kau ingin tahu apa yang membawa Lovita padaku kemarin??"
Aeden diam tanda dia ingin mendengarkan alasan Lovita mengunjungi Lova
"Dia menginginkanmu. Dia memintaku untuk mundur."
"Lantas, apa jawabanmu?"
"Aku akan demgan senang hati pergi. Tapi yang menentukannya adalah kau. Aku bisa pergi jika kau mengatakan aku boleh pergi. Dia berkata akan mendapatkanmu dan aku menunggu waktu itu tiba."
Aeden diam. Rasanya tak mengenekan mendengar jawaban Lova. Segitu tak inginnya Lova bersamanya? Ah, menyesal Aeden ingin tahu jawaban tadi.
"Lovita sudah menginginkanmu. Kapan kau akan menjadikan dia wanitamu?"
"Secepatnya."
"Itu bagus."
"Kau benar-benar tak suka padaku, ya?"
Lova diam sejenak, "Aku hanya tidak suka pada Jayden dan keluarganya. Selainnya aku suka."
"Ah, sudahlah. Lupakan saja." Aeden tak ingin sakit hati lebih jauh, arti ucapan Lova tadi adalah bahwa Aeden tak spesial sama sekali. Hanya Dealova wanita yang tidak ingin bersamanya.
Aeden merubah posisi berbaringnya. Ia memeluk Lova.
"Tidurlah."
Lova mengerutkan keningnya.
"Kau ingin tidur disini?"
"Hm."
"Aih.. Bukannya kau tak suka tidur dengan orang lain?"
"Diamlah. Disuruh tidur banyak sekali celotehanmu." Aeden memeluk Lova lebih erat.
Lova akhirnya diam. Ia memejamkan matanya. Terlelap dalam dekapan Aeden.
♥♥
Paginya Aeden terjaga sendirian. "Kemana Lova?" Dia mencari ke sekelilingnya. Tak menemukan Lova, ia bangkit dari tidurnya dan mencari ke kamar mandi. Tak menemukan Lova disana, ia mencari ke ruangan lainnya.
"Nona Lova dimana?" Aeden bertanya pada Sarah.
"Sedang olahraga di taman belakang."
Aeden segera melangkah menuju ke taman. Ia lega ketika melihat Lova sedang berolah raga.
Setelah memastikan Lova ada. Aeden masuk kembali ke rumahnya.
"Sarah, antarkan jus untuk nona Lova."
"Baik, Tuan."
Aeden kembali meneruskan langkahnya. Ia masuk ke kamarnya dan segera membersihkan tubuhnya.
Menunggu Lova selesai olahraga memakan waktu yang cukup lama, Aeden akhirnya memilih ke ruang latihan. Pagi ini ia menguji ketepatannya menikam sasaran. Ia bermain dengan pisau, melemparnya pada sasaran.
Pintu terbuka, Aeden mendengar suara itu. Ia segera membalik tubuhnya dan melempar pisau ke arah pintu masuk. Aeden terdiam beberapa saat. Lova, dia bisa menghindari lemparannya dengan cepat. Hanya orang-orang terlatih yang bisa menghindar dari lemparannya. Kini ia berpikir, apakah Lova adalah orang terlatih?
Ah, mungkin hanya kebetulan saja.
"Apa yang membawamu kemari, Lova?"
"Sarapan." Lova mengangkat nampan yang ada di tangannya.
"Ah, kau ingin aku memakan tubuhmu?"
Lova berdecih pelan, ia sangat yakin jika di otak Aeden hanya ada hal-hal mesum.
Aeden mendekat padanya, mengambil sandwich yang ada di piring itu.
"Kau sudah sarapan?" Tanyanya.
Lova menggelengkan kepalanya.
"Buka mulutmu."
Lova menurut. Ia membuka mulutnya. Bukan dari tangan Aeden menyuapi Lova, tapi dari bibirnya.
"Ini baru namanya sarapan bersama." Aeden tersenyum. Lova hanya diam. Aeden menyuapi Lova lagi, masih dengan cara yang sama.
Aeden meraih tangan Lova, melepaskan apa yang ada di tangan Lova hingga suara pecahan gelas terdengar. Aeden memeluk pinggang Lova, memperdalam lumatannya pada bibir Lova.
"I hate how everything you do make me want you more, Lova." Aeden bersuara pelan di depan wajah Lova. Kening mereka beradu dengan mata mereka yang saling menatap. Dari sebuah ciuman, Aeden menginginkan hal lebih. Dari bercinta, Aeden tak ingin berhenti. Ia tak puas, tak pernah puas menjamah tubuh Lova. Lova memang bukan wanita yang berpengalaman dalam memuaskan pria tapi Aeden menyukai bagaimana dia mengajarkan hal-hal tentang memuaskan pada Lova.
"Then, is it my fault?" Lova menatap mata Aeden dalam.
Aeden benar-benar ingin menghujam Lova hingga lemas sekarang, "Semua memang salahmu. Bibirmu yang pedas ini membuatku ingin menciummu hingga kau tak bisa berkata apapun lagi. Wajahmu yang menatapku tenang membuatku terganggu. Tubuhmu yang tak terlatih ini membuatku ingin mengajarimu tanpa batas. Lantas, dari semua hal itu, masihkah ini bukan salahmu?"
"Jika semua itu salahku, adakah hukuman untukku yang telah melakukan kesalahan ini?" Lova tengah merayu Aeden.
Aeden tertawa kecil, "Kau nakal pagi ini, Lova."
"Aku sedang bersikap seperti wanita-wanitamu sebelumnya." Lova mendekatkan wajahnya ke wajah Aeden. Ia melumat bibir Aeden tanpa memberikan kesempatan bagi Aeden untuk membalas kata-katanya.
tbc