webnovel

MRS 2 - Desire

Aeden Marshwan, salah satu dari 4 mafia muda yang paling ditakuti di dunia. Namanya terkenal hingga ke berbagai belahan dunia. Ia kejam, sama seperti 3 temannya yang lain. Jika Oriel adalah Pangeran Es maka dia adalah Pangeran Api. Siapa saja yang menghalangi jalannya maka akan ia jadikan abu. Dealova Edellyn, hanya gadis biasa yang hidupnya selalu dijadikan bayangan sang kakak. Lova hanya seorang anak haram, itu kata yang selalu keluar dari mulut seorang wanita padanya. Dealova adalah anak dari hasil ketidak sengajaan. Ayahnya mabuk dan menghamili seorang pelayan bar. Pelayan bar itu adalah ibunya yang kemudian meninggal sesaat setelah melahirkannya. Lova tidak pernah mengenal dekat ayahnya. Dia hanya diasuh oleh sebuah keluarga yang diberi uang oleh ayahnya untuk merawatnya. Ketika ayah Lova bermasalah dengan Aeden, ia meminta pengampunan dengan memberikan anaknya pada Aeden. Saat itu Aeden pikir yang akan ia dapatka adalah Lovita Keandirsya, pianis yang terkenal berbakat dan sangat cantik. Tentu saja Aeden menerimanya. Dia menyukai Lovita sejak dia menyaksikan permainan wanita itu di sebuah konser musik. Tapi, yang terjadi adalah Aeden bukan mendapatkan Lovita melainkan Dealova yang merupakan adik beda ibu dengan Lovita. Aeden marah karena penghinaan ini tapi dia tidak menolak pemberian itu. Dia akan membuat perhitungan dengan keluarga Dealova, dan ia pastikan jika dia akan membuat Lovita merangkak ke kakinya. "Kau diberikan oleh ayahmu sebagai penebus dosanya padaku. Jadi, akulah tuanmu." Aeden Marshwan.

yuyunbatalia · perkotaan
Peringkat tidak cukup
29 Chs

part 21

"Aeden, jika kau mengantuk kau pindah ke ranjang saja, astaga, pahaku sakit." Lova mengeluh pada Aeden yang sedang berbaring dengan kepala di atas pahanya.

"Aku tidak mengantuk, Love. Aku ingin menonton bersamamu."

"Aih, terserah kau saja." Lova tahu Aeden keras kepala. Ia melanjutkan aktivitas menontonnya. Beberapa detik kemudian matanya beralih ke bawah, Aeden menutup matanya. Lova menghela nafas, "Aeden, tubuhmu bisa sakit jika tidur seperti ini."

"Aku tidak tidur, Love."

Lova meraih remote, ia mematikan televisi.

"Kenapa dimatikan? Filmnya belum selesai."

"Aku mengantuk, kita pindah ke ranjang saja."

Aeden menatap Lova, ia tahu Lova mematikan televisi karena posisi tidurnya.

"Aku akan pindah ke ranjang, lanjutkan nontonmu." Aeden memilih untuk bangkit dari sofa.

Lova tak melanjutkan nontonnya kembali, ia mengikuti langkah Aeden, "Kita tidur saja. Aku bisa menontonnya kembali besok." Dan Lova tahu kenapa Aeden bersikeras ingin tidur disana, meski Aeden tak mengatakan apapun padanya tapi ia tahu bahwa Aeden ingin menemaninya agar tak merasa sendirian. Ya, beginilah yang terjadi ketika mereka telah resmi bersama. Tak saling mengatakan tapi mereka saling mengerti dan mengalah pada saat yang diperlukan.

Aeden selalu menemani Lova menonton meski ia lelah karena bekerja, itu semua ia lakukan karena ia ingin menebus waktunya saat tak bisa bersama Lova. Sedangkan Lova, ia tahu prianya lelah dan ingin menemaninya namun ia jauh lebih memikirkan kesehatan Aeden, ia tak suka prianya sakit karena ingin menemaninya.

"Baiklah. Besok aku pasti akan menemanimu menonton sampai filmnya habis." Aeden menarik Lova ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, Love. Akhir-akhir ini aku sangat sibuk. Aku jadi kurang memperhatikanmu."

"Apa yang kau katakan, hm? Kita selalu bersama tiap harinya. Aku tidak apa-apa."

"Kau memang sangat pengertian, Love." Aeden mengecup puncak kepala Lova, "Tapi, jika aku sudah benar-benar terlalu sibuk, tolong ingatkan aku. Jika kau merasa kesepian, tolong katakan padaku."

Lova mengangkat wajahnya, mengecup bibir Aeden singkat lalu tersenyum manis, "Aku akan melakukannya tanpa kau minta, Priaku."

Aeden bisa tenang sekarang. Ia selalu merasa bersalah karena sering pulang larut malam. Akhir-akhir ini perusahaannya bermasalah namun ia bisa mengatasinya dengan baik. Belum lagi masalah cartel, beruntung saja Oriel sudah tidak mengenaskan seperti awal kehilangan Beverly. Meski yang mengurus markas adalah Ezel tapi tetap saja Aeden kebagian sibuk karena harus mengcover beberapa pekerjaan yang harusnya dilakukan oleh Oriel ataupun Ezel. Sedangkan Zavier, pria itu sudah sibuk dengan bagiannya sendiri.

Lova membelai lembut wajah Aeden, "Tidurlah, kau akhir-akhir ini kurang tidur."

"Hm." Aeden menempelkan dagunya di kening Lova lalu terlelap dengan mudahnya. Ketika ia sulit tidur, hanya Lova yang bisa menjadi obat tidurnya. Perintah tidur dari Lova seperti sihir baginya.

♥♥

Lova mengunjungi perusahaan Aeden, ia sedang tidak ada pekerjaan di galerinya, jadi ia memilih mendatangi prianya. Lova sadar jika sejak beberapa hari lalu ia telah diikuti oleh orang. Namun dia bersikap seolah ia tidak menyadarinya. Lova yakin, orang yang mengikutinya adalah orang bayaran dari orang yang mengirim Weckly untuk menculiknya.

Jika tiba saatnya Lova pastikan ia akan meledakan kepala orang yang telah mengikutinya, namun saat ini ia tidak ingin melakukannya. Ia akan membiarkan orang itu mengikutinya, selagi orang itu tak berniat menculiknya maka ia akan menahan diri.

"Pak Aeden ada di dalam?" Lova bertanya pada sekretaris Aeden.

"Ada, Bu." Semua orang di perusahaan Aeden sudah tahu siapa Lova. Beberapa kali Lova diajak ke perusahaan, dan jelas, orang yang Aeden ajak ke perusahaan bukan wanita sementara yang datang lalu pergi. Karena sejauh ini hanya Lova yang pernah Aeden ajak ke perusahaannya.

"Dia ada tamu?"

"Ada, Bu."

"Sebaiknya aku menunggu diluar saja."

"Ibu masuk saja. Bapak akan memarahi saya jika Ibu menunggu diluar." Apa yang tak lebih mengerikan dari kemarahan seorang Aeden. Bisa-bisa sekretaris itu kehilangan pekerjaannya dan mungkin juga kepalanya.

"Aku akan mengganggu pekerjaannya."

"Tidak, Bu. Bapak tidak akan terganggu jika Ibu yang masuk.

Lova tahu sekretaris itu pasti tetap tak akan mengizinkannya menunggu diluar meski ia bersikeras ingin diluar.

"Baiklah, baiklah." Lova akhirnya memilih masuk.

Cklek,, ia membuka pintu. Pandangan matanya langsung bertemu dengan pandangan mata Aeden.

"Love." Aeden terlihat senang melihat Lova. Ia bangkit dari sofa, meninggalkan pria yang tadi berbincang dengannya. "Aku senang kau datang." Ia memeluk Lova.

Lova tersenyum lembut, "Aku tidak punya kerjaan, jadi aku datang untuk mengganggumu."

"Kau tidak mengganggu sama sekali, Love. Aku akan sangat bersemangat karena kau." Aeden melepaskan pelukannya, "Ayo, duduk." Aeden membalik tubuhnya. Astaga, dia lupa jika ada seseorang di dalam ruangannya.

"Ah, Mr. Bezarto, perkenalkan ini Dealova, kekasihku." Aeden memperkenalkan Lova pada Alfa Bezarto, putra dari pemegang saham yang kini sedang melakukan bisnis bersama dengan Aeden.

Alfa bangkit dari duduknya, ia mengulurkan tangannya, "Alfa Bezarto." Ia tersenyum.

Dealova membalas senyuman itu, "Dealova Edellyn." Setelahnya jabat tangan itu terlepas.

"Love, masih ada yang harus aku bicarakan dengan Mr. Bezarto, kau tidak keberatan duduk di tempatku, kan?" Aeden tetap Aeden, dia tidak suka wanitanya berada dekat dengan pria lain.

"Iya, Sayang." Lova melangkah ke kursi kebesaran Aeden dan duduk disana. Ia membuka laptop Aeden dan mulai menonton dari laptop itu.

Sesekali Lova melihat ke arah Aeden, tapi tatapan matanya bertemu dengan mata Alfa. Lova merasa ada yang salah dengan pria ini, dari senyumannya yang sedikit begetar di sudut bibirnya, ia yakin pria itu menyimpan sesuatu.

Setelah beberapa saat, akhirnya Alfa pergi dari tempat itu. Sebelum pergi, pria itu melihat ke arah Aeden dengan tatapan yang Lova tahu itu artinya kebencian yang dalam, tapi hanya Lova yang bisa melihatnya karena saat itu Aeden sedang melangkah ke arah Lova dan otomatis itu membelakangi Alfa.

"Ada apa, Love?"

Wajah serius Lova berubah ketika Aeden bertanya padanya dan melihat ke arah pintu, "Tidak apa-apa, Sayang." Lova akan menyelidiki Alfa, dia pasti akan melakukan itu. Pria ini benar-benar mencurigakan.

Aeden memeluk Lova dari belakang kursi kerjanya, mengecup pipi Lova lalu bergerak ke leher Lova, menghisap pelan lalu menggigitnya.

Cklek..

"Ah, maaf, Tuan." Lagi dan lagi si asisten yang patah hati melihat kemesraan Lova dan Aeden. Semakin miris saja nasibnya.

Aeden menghela nafas, asistennya mengganggu sekali, padahal dia baru mau mulai.

"Harusnya kau mengetuk pintu dulu, astaga."

Si asisten yang tadi langsung membalik tubuhnya kini kembali membalik dan melihat ke Aeden, "Maaf, Tuan. Saya pikir tak ada Nona Lova tadi."

"Ada apa kau kemari?"

"Tuan amnesia sepertinya." Asisten Aeden bersuara pelan, "Tuan tadi menelpon saya untuk membelikan makan siang. Saya membawa makanan itu sekarang."

"Kau makan saja. Sekarang pergi dari sini."

"Baik, Tuan." Dan asisten Aeden keluar. Meski ia punya sekretaris, tapi ia sudah terlalu terbiasa dengan asistennya yang hanya tua 2 tahun darinya. Pria berusia 29 tahun yang masih melajang hingga saat ini.

Pintu tertutup, Aeden kembali melanjutkan kegiatannya. Menikmati leher jenjang Lova. Menyesapnya hingga membuat Lova mengerang kecil.

"A-Aeden, kau tidak ingin mak,, awww!" Seruan Lova terputus ketika Aeden menggigit lehernya.

"Aku sedang makan sekarang, Love. Jangan menggangguku." Tangan Aeden bergerak tak terkendali.

"Aeden, ah,, aw, dengarkan aku, dulu- ah.." Lova bergerak geli.

"Apa?" Aeden berbisik seduktif, masih tak ingin berhenti.

"Aku datang bulan."

Dan Aeden berhenti bergerak.

"Kau bercanda." Aeden sedang berhasrat dan Lova sedang datang bulan, lelucon macam apa ini.

Lova memasang wajah serius kemudian ia tergelak, "Haha, wajahmu, Sayang. Astaga."

Harusnya Aeden tahu ini, Lova sedang mengerjainya.

"Kau benar-benar nakal, Love." Aeden memutar kursinya, membuat Lova menghadap ke arahnya. Tangannya menggelitiki Lova, sedangkan bibirnya bermain di belakang leher Lova, titik sensitif Lova selain dari bagian pahanya.

"Ash, Aeden." Lova mengerang. Jemari cantiknya menarik kasar kemeja Aeden yang dimasukan ke dalam celana, membuka kancing jas dan kemeja tersebut. Bermain-main dengan perut Aeden yang seperti roti sobek lalu berakhir di nipple Aeden.

Pakaian Lova telah terlucuti, begitu juga dengan pakaian Aeden. Meja kerja Aeden menjadi berantakan karena permainan mereka. Lova berbaring dengan kakinya menggantung di udara, Aeden menikmati Lova dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Membuat Lova mendesah tak karuan. Jika saja asisten Aeden masuk disaat ini maka yakinlah pria itu pasti akan menangis.

"Aeden, please." Lova memelas. Ia sudah hampir gila karena menginginkan Aeden masuk ke dalam dirinya.

Aeden tersenyum, ia suka mendengar rengekan Lova. Wanitanya ini tak akan merengek kecuali jika diatas ranjang. Aeden berhasil mengendalikan Lova, dan itu hanya ketika mereka diatas ranjang. Well, Aeden memang pandai dengan permainan ini, ia dewa bercinta sama seperti 3 sahabatnya. Untung saja tak ada slogan memuaskan wanita adalah kehebatannya.

"Assh,, ahh,," Lova mengerang kencang ketika junior Aeden sudah masuk sempurna kemiliknya.

Aeden bergerak, menikmati pemandangan wajah Lova yang sangat sexy. Keringat muncul dari pori-pori kulit Lova.

"Kau - benar - benar- sexy, Love." Aeden memenggal kalimatnya, mengutarakan bahwa Lova benar-benar sexy.

"Ah, sayang. Ehm.. ash.."

Aeden mempercepat gerakannya, semakin membuat Lova mendesah tak karuan. Ruangan itu dipenuhi oleh panasnya percintaan Aeden dan Lova.

"Loveee..." Aeden menegang, cairan dari juniornya menyembur seperti letusan gunung. Menghangatkan milik Lova dan membuat Lova terkulai lemas. Seperti biasa, Aeden selalu lebih dari kata memuaskan.

"Another round, Love?"

Lova hanya diberikan waktu beberapa saat untuk istirahat, sebelum akhirnya mereka melanjutkan kembali kegiatan mereka.

Karena Lova berani melangkah, ia mendapatkan kebahagiaan yang tak semu. Ia bisa benar-benar tertawa tanpa tekanan. Dan siapapun yang mencoba melenyapkan kebahagiaannya, ia pastikan akan ia hancurkan hingga jadi debu. Tak akan ada orang yang bisa merusak kebahagiaannya, entah itu Lovita ataupun si pria misterius.

tbc