webnovel

MRS 2 - Desire

Aeden Marshwan, salah satu dari 4 mafia muda yang paling ditakuti di dunia. Namanya terkenal hingga ke berbagai belahan dunia. Ia kejam, sama seperti 3 temannya yang lain. Jika Oriel adalah Pangeran Es maka dia adalah Pangeran Api. Siapa saja yang menghalangi jalannya maka akan ia jadikan abu. Dealova Edellyn, hanya gadis biasa yang hidupnya selalu dijadikan bayangan sang kakak. Lova hanya seorang anak haram, itu kata yang selalu keluar dari mulut seorang wanita padanya. Dealova adalah anak dari hasil ketidak sengajaan. Ayahnya mabuk dan menghamili seorang pelayan bar. Pelayan bar itu adalah ibunya yang kemudian meninggal sesaat setelah melahirkannya. Lova tidak pernah mengenal dekat ayahnya. Dia hanya diasuh oleh sebuah keluarga yang diberi uang oleh ayahnya untuk merawatnya. Ketika ayah Lova bermasalah dengan Aeden, ia meminta pengampunan dengan memberikan anaknya pada Aeden. Saat itu Aeden pikir yang akan ia dapatka adalah Lovita Keandirsya, pianis yang terkenal berbakat dan sangat cantik. Tentu saja Aeden menerimanya. Dia menyukai Lovita sejak dia menyaksikan permainan wanita itu di sebuah konser musik. Tapi, yang terjadi adalah Aeden bukan mendapatkan Lovita melainkan Dealova yang merupakan adik beda ibu dengan Lovita. Aeden marah karena penghinaan ini tapi dia tidak menolak pemberian itu. Dia akan membuat perhitungan dengan keluarga Dealova, dan ia pastikan jika dia akan membuat Lovita merangkak ke kakinya. "Kau diberikan oleh ayahmu sebagai penebus dosanya padaku. Jadi, akulah tuanmu." Aeden Marshwan.

yuyunbatalia · perkotaan
Peringkat tidak cukup
29 Chs

Part 10

Alasan Lova menggoda Aeden pagi ini sangat sederhana. Ia ingin melukis di sebuah tempat yang jauh, ia sedang mencoba agar Aeden mengizinkannya untuk pergi seharian dan kembali esoknya. Tapi, yang terjadi adalah Aeden tak melepaskannya barang sejam saja.

Lova bersungut kesal. Sia-sia saja dia merayu Aeden beberapa jam lalu. Oh, Aeden benar-benar menyebalkan.

"Lova, ganti pakaianmu. Kita makan siang di luar."

Lova nampak tak berselera, ia ingin melukis di tempat yang jauh, bukan makan siang. MEski tak berselera ia tetap menyeret tubuhnya ke kamar.

Aeden tahu Lova sedang kesal. Wajah yang biasa tenang itu tampak cemberut. Aeden tertawa geli ketika dia menebak kenapa Lova nakal pagi ini. Jelas ada yang wanita itu inginkan darinya dan dia tepat sasaran. Mana bisa dia membiarkan Lova jauh dari pandangannya. Hilang tanpa kabar satu jam saja ia sudah mencari Lova kemana-mana. Pulang tak menemukan Lova di kamarpun, ia berkeliling mencari Lova. Intinya dia tak mau Lova kemana-mana. Dia hanya mau Lova berada di dekatnya.

Lova selesai mengganti pakaian. Wajah cemberutnya sudah tenang sekarang. Ia yakin akan ada waktunya dia bisa pergi melukis di tempat yang tenang.

"Waw, kau cantik sekali, Lova." Aeden memuji Lova dengan nada berlebihan.

"Kau membuatku mual lagi!"

"Ah, padahal waktunya morning sickness sudah lewat."

"Kau pikir aku mengandung. Melantur!"

"Haha, mengandung juga tidak apa-apa. AKu akan tanggung jawab."

"Cih!" Lova berdecih, "Aku ingat sekali kau tidak ingin memiliki anak dari keturunan pengkhianat Jayden. Jangan plin-plan. Laki-laki dipegang kata-katanya."

"Dan dinikmati kejantanannya." Lanjut Aeden.

Lova menggelengkan kepalanya. Aeden selalu menghubungkan hal normal ke hal mesum.

"Aku tidak plin-plan. Aturan aku yang buat. Aku hanya merubahnya. Aku tidak masalah jika kau hamil."

"Aku yang masalah."

"Jangan terlalu menghinaku, Lova. Para wanita sangat berharap aku hamili."

"Aku bukan wanita-wanita itu."

"Tcih, tadi saja kau ingin seperti wanita-wanitaku sebelumnya."

"AEDEN, DIAM!!" Teriak Lova kesal. Ia kesal ketika mengingat kegagalannya. Ia yang tak pandai menjadi perayu atau Aeden yang terlalu menyebalkan. Entahlah, intinya Lova benci kegagalan.

Aeden tergelak, "Kau bisa marah juga ternyata. Aku pikir kau dewa yang tidak pernah marah."

"Kau mau pergi atau tidak!"

"Pergi, Love." Goda Aeden dengan mata genitnya.

Lova mulai kehilangan kesabarannya. Ada orang lain selain Collins yang membuat kesabarannya menipis.

Aeden meraih tangan Lova, menggenggamnya dan mulai melangkah.

♥♥

Sampai di restoran, Lova memesan banyak makanan. Kesal membuatnya lapar. Aeden tertawa karena pesanan Lova yang memenuhi meja.

"Kau tahu benar cara menghabiskan uang."

"Aku lapar, diam!"

Aeden masih tersenyum, "Baiklah, Love. Makanlah."

"Berhenti memanggilku seperti itu!"

"Aku suka."

"Aku tidak suka."

"Mau makan atau tidak?"

"Makan." Lova makan sekarang. Ia menghabiskan satu menu pembuka, sekarang bergerak ke salmon bakar, selanjutnya steak, dan bergerak ke makanan lain.

Melihat Lova makan membuat Aeden kenyang, kenyang memperhatikan wajah Lova.

"Kenapa kau tidak makan?" Akhirnya Lova menghiraukan Aeden.

"Suapi."

Lova menghela nafas, "Kau kan bisa makan sendiri."

"Aku ingin makan dari tanganmu, Love."

"Kekanakan."

"Aaa.." Aeden membuka mulutnya.

Lova tak punya pilihan lain selain menyuapi Aeden. Satu suapan disusul suapan lainnya. Lova bahkan lupa makan karena menyuapi Aeden. Suapan itu berhenti ketika makanan di atas meja telah habis.

"Aku ke kamar mandi sebentar." Lova bangkit dari tempat duduknya dan segera pergi. Tadi dia bukan meminta izin tapi memberi tahu.

Saat Lova ke kamar mandi. Aeden menatap heran ke meja makan. Siapa yang telah menghabiskan semua makanan di meja itu? Astaga, nafsu makan Lova benar-benar besar. Baiklah, dia lupa jika dia dan Lova sama rakusnya.

"Aeden." Panggilan dengan nada halus itu membuat Aeden memiringkan wajahnya.

"Lovita." Setelah meeting waktu itu bukan Aeden yang menghubungi Lovita tapi Lovita yang menghubungi Aeden. Aeden menghilangkan kartu nama Lovita jadi dia tidak menghubungi wanita yang ingin ia bandingkan rasanya dengan Lova. Tapi mereka hanya berbicara di telepon, mereka belum sempat menghabiskan waktu bersama meski saat mereka bercakap di telepon mereka telah membicarakan hal yang menjurus ke menghabiskan waktu bersama.

"Kebetulan sekali kita bertemu disini."

"Ya, kebetulan sekali." Aeden tersenyum sumringah. Jiwa casanovanya tak pernah hilang. "Apa yang kau lakukan disini?"

"Meeting dengan rekan bisnis." Jawab Lovita, "Kau sendiri, apa yang kau lakukan disini?"

"Makan." Ujar Aeden, "Bersama Lova." Lanjutnya.

"Ah, bersama dia." Lovita tersenyum, tapi hatinya berkata lain. "Kau sibuk?"

"Tidak." Sibukpun dia akan mengatakan tidak. "Kau ingin mengajakku pergi?"

Lovita tertawa kecil, "Aku tidak suka kencan. Mungkin lebih tepatnya menghabiskan waktu bersama."

Lovita jelas berbeda dengan Lova. Aeden sadar benar ini. Lovita lebih agresif dari Lova.

"Terdengar menarik." Aeden menyambut ajakan Lovita.

Lova kembali. Ia tak ingin mendekat ke Lovita dan Aeden tapi kakinya membawanya ke dua orang itu.

"Love, kau kembali naik taksi. Aku harus pergi dengan Lovita."

"Baiklah." Lova hanya bisa mengatakan itu.

"Lovita, ayo." Aeden mengulurkan tangannya.

Lovita segera meraih tangan Aeden, senyuman penuh kemenangan terlihat di wajah Lovita. Ia pikir ia sudah mengalahkan Lova dengan membuat Aeden pergi meninggalkannya. Ini baru langkah awal. Lovita akan membuat Aeden benar-benar berlari padanya dan membuang Lova.

Lova merasa sedikit sakit tapi sakit itu dia abaikan. Ia segera pergi ke galerinya. Ini baik, dia bisa pergi karena ia yakin Aeden tak akan kembali malam ini.

♥♥

Aeden menghubungi orang rumahnya, "Nona Lova sudah makan malam atau belum?" Yang ia tanyakan masih tentang Lova. Sudah beberapa jam ia bersama Lovita dan baru sekarang ia ingat lova.

"Nona Lova belum kembali dari siang tadi, Tuan." Jawaban Sarah membuat Aeden emosi seketika.

"Dia belum kembali! Bagaimana bisa!" Berangnya. "Kerahkan orang untuk mencarinya!"

Kemarahan Aeden membuat Lovita yang baru keluar dari kamar mandi mendekat ke arahnya. Lovita memeluk Aeden yang bertelanjang dada.

"Apa yang terjadi?" Tanya Lovita setelah Aeden memutuskan sambungan teleponnya.

"Lova, dia tidak kembali ke rumah."

"Ah, dia." Lovita menyembunyikan kebencian dalam hatinya, Aeden memikirkan Lova ketika bersamanya, itu memuakan. "Tenanglah, dia pasti kembali."

"Dia tak pernah menganggap kediamanku rumah. Dia mungkin tidak akan kembali."

"Kau benar-benar mengkhawatirkannya? Bukankah katamu akulah yang kau inginkan sejak awal?" Lovita menyusuri rahang Aeden.

Lovita memang benar. Yang pertama Aeden inginkan memang Lovita bukan Lova. Tapi, tapi dia tidak bisa membiarkan Lova keluar dari hidupnya. Mungkin kata-katannya di rumah Ezell tentang ingin memiliki Lovita dan Lova sekaligus benar-benar akan terjadi. Aeden tak bisa melepaskan Lova tapi dia juga menginginkan Lovita. Sosok Lovita mirip dengan sosok ibunya, wanita cantik yang pandai bermain piano. Bukan hanya itu, Lovita juga memiliki mata yang sama seperti ibunya. Alasan kenapa Aeden tak pernah menjadikan Lovita wanitanya karena dia tak ingin menyakiti wanita yang ia lihat mendekati sosok ibunya.

Tapi, saat Jayden ingin menyerahkan Lovita padanya, Aeden berpikir jika ia akan berhenti bermain wanita. Ia bisa menjadikan Lovita istrinya. Ketika yang datang Lova, ia marah dan berniat membuat Lovita merangkak ke arahnya dan wanita itu memang datang padanya. Niatnya ia ingin mencampakan Lovita, tapi setelah bersama Lovita beberapa jam, ia makin merasa sosok ibunya berada di diri Lovita. Semua yang Lova sukai adalah hal-hal yang ibunya sukai. Bahkan aroma tubuh Lovita sama dengan aroma tubuh ibunya. Membuatnya suka mendekap wanita itu.

"Aku tidak bisa melepasnya pergi." Aeden tak bisa berbohong. Dia memang tak bisa melepaskan Lova pergi. "Aku harus pergi, aku akan menghubungimu nanti." Aeden melepaskan pelukan Lovita. Ia meraih kaos dan jaketnya. Ia pergi dengan wajahnya yang khawatir.

Lovita memang mampu membuat Aeden pergi dari Lova tapi Lova mampu membuat Aeden meninggalkan Lovita ketika Aeden kehilangan Lova.

♥♥

Jam 10 pagi lewat beberapa menit, Lova kembali ke kediaman Aeden. Ia sudah menyelesaikan satu lukisan. Tadinya ia ingin ke tempat yang tenang, tapi ia berakhir di tengah keramaian. Melukis orang-orang yang berada di sebuah karnaval.

Pelayan Aeden yang melihat Aeden segera menghubungi Aeden yang masih mencari keberadaan Lova.

Dalam beberapa menit Aeden kembali, "Dimana dia?"

"Di kamar, Tuan."

Aeden meninggalkan Sarah, ia segera melangkah ke kamar Lova.

Brak! Ia membuka kasar pintu kamar Lova. Suara keras itu membuat Lova terkejut, ia segera membalik tubuhnya dan melihat Aeden melangkah ke arahnya.

Plak! Sebuah tamparan pedas ia terima. Darah mengalir dari sudut bibirnya. "KEMANA SAJA KAU, JALANG!!" Teriak Aeden berapi-api.

Lova tersentak, ia benar-benar tak menyangka jika ia akan mendapatkan tamparan dan teriakan dari Aeden.

"JAWAB AKU!"

"Aku pergi untuk melukis."

"Berani sekali kau pergi tanpa izinku! BERANI SEKALI KAU, LOVA!" Aeden mencengkram dagu Lova kasar, "Akan aku hancurkan galerimu. Melukislah lagi maka aku patahkan tanganmu!"

"Apa yang salah denganmu, Sialan!" Lova tak mengerti. "Kau tak berhak melarangku melakukan apapun yang aku suka!"

"Aku berhak, Lova! Kau milikku! Kau mi-lik-ku!" Tekannya. "Coba saja kau keluar dari rumah ini. Coba saja kau melukis. Coba saja jika kau ingin kaki dan tanganmu aku patahkan!" Aeden benar-benar serius sekarang.

"Kau tak berhak melarangku, sialan!"

"Aku berhak. Aku berhak!" Aeden mendorong tubuh Lova ke ranjang, "Kau tidak bisa keluar dari kamar ini tanpa izin dariku!" Aeden memberitahu Lova keras. Ia membalik tubuhnya dan meninggalkan Lova.

Lova segera melangkah ke pintu kamarnya, "Aeden! Aeden!" Ia berteriak ketika Aeden benar-benar mengunci pintu kamarnya. "Apa sebenarnya yang salah darimu, Sialan!" Lova menggeram kesal.

♥♥

Sarah masuk ke kamar Lova, ia harus memberi makan malam untuk Lova. Ini perintah dari Aeden.

Mendengar suara pintu terbuka, Lova segera melihat ke pintu kamar. Ia pikir yang masuk adalah Aeden.

"Nona, makan malam anda." Sarah mendekat ke Lova.

"Kenapa makan disini? Apa aku juga tidak boleh makan di meja makan?"

"Tuan tidak mengizinkan anda keluar dari kamar." Sarah meletakan makanan Lova ke atas meja, "Kemana anda kemarin, Nona?"

"Melukis."

"Kenapa anda tidak memberitahuku? Kenapa ponsel anda tidak aktif? Kenapa anda pergi tanpa meminta izin?"

"Ponselku mati. Aku tidak meminta izin karena Aeden sedang bersama Lovita. Aku pikir dia juga tidak akan pulang jadi aku pergi."

"Tuan memang tidak pulang. Tapi Tuan menghubungi rumah dan menanyakan apakah anda sudah makan siang atau belum. Mengetahui anda pergi membuatnya marah besar. Tuan mencari anda semalaman hingga pagi tadi anda kembali. Tuan mengkhawatirkan anda, dan Tuan berpikir jika anda tidak akan kembali ke rumah."

Lova diam mendengar penjelasan dari Sarah. Jadi alasan kemarahan Aeden adalah karena khawatir padanya.

"Tuan tak pernah seperti ini sebelumnya. Dari yang saya lihat, Tuan takut kehilangan anda."

"Dimana dia sekarang?"

"Tuan pergi. Tidak tahu kemana." Jawab Sarah. "Jika anda menyesal karena membuat Tuan marah maka habiskan makanan ini. Tuan masih memikirkan anda meski dia marah."

Lova melihat ke makanan yang Sarah bawa, "Baiklah." Dan nyatanya dia sedikit menyesal. Tak ada orang yang khawatir tentangnya sebelumnya, kecuali Collins dan Angels. Hanya saja kekhawatiran Aeden membuatnya sedikit menyesal. Entah apa alasannya yang membuat ke khawatiran itu jadi berbeda. Yang jelas Lova merasa wajar jika Aeden meneriakinya setelah mencari berjam-jam.

tbc