"Fadil? Apa maksudnya aura hitam yang kamu bilang!?" Seorang security membalas pernyataan Fadil dengan sedikit amarah.
"Pak, pak tenang, pak." Aku dan seorang security yang terlihat cukup muda berusaha menahan.
"Susah kalo saya jelasin. Intinya, saya orang yang punya kemampuan khusus, dan saya yakin saya bisa bantu." Fadil menjelaskan sedikit tentang dirinya.
Aku dan para security saling menatap, ragu untuk mempersilakan orang asing ini terlibat dengan kekacauan yang menyeramkan ini atau tidak. Salah seorang security membuka suara, ia tidak mengizinkan ada orang luar yang ikut campur karena perintah langsung dari Pak Jefri sebelum penelusuran kami dimulai.
Sementara itu, security yang lain hanya berdiri dan menganggukan kepala mereka tanpa bersuara, seolah setuju oleh perkataan security yang melarang tadi. Aku masih harus berpikir lebih matang, aku mengerti kalau mereka hanya mematuhi perintah dari Pak Jefri, tapi kondisi saat ini adalah, Pak Jefri sudah kehilangan kesadaran di ruangan itu, dan Pak Ustad serta Pak Wawan dan security yang ditugaskan untuk membawa Pak Jefri keluar sedang kesulitan.
"Pak..." Aku akhirnya memberanikan diri untuk bersuara. "Maaf, bukan maksud saya menyuruh bapak semua buat ngelanggar perintah Pak Jefri. Tapi, menurut saya kondisi itu udah berubah."
Security yang melarang tadi melihat ke arahku.
"Apa maksudnya?" Tanyanya bingung.
"Mungkin lebih bagusnya, kita liat dulu lewat monitor, baru nanti Bapak Security bisa nilai sendiri apa kita bisa bolehin orang ini masuk atau nggak." Aku memberikan usul yang menurutku paling tepat di keadaan seperti ini, kamera yang terpasang di dalam ruangan dan tersambung ke monitor di ruang security sangat membantu untuk mempertimbangkan keputusan.
Untuk sesaat, mereka semua saling berpandangan.
"Ya udah, ayo kita cek dulu. Satu orang atau berapa orang, jagain Fadil ini biar gak asal masuk!" Perintah seorang security.
Aku, seorang security senior bernama Mukhlis seperti yang tertera pada baju seragam yang ia kenakan, dan security yang tadi menemaniku memantau melalui monitor masuk ke dalam ruangan security untuk kembali melihat situasi yang sedang terjadi di dalam ruangan menyeramkan.
Terlihat dengan jelas di monitor, kursi kayu yang sebelumnya berada di ruangan tersembunyi di dalam sana sudah dibawa keluar, ada juga sebuah tali yang aku tidak tahu asalnya dari mana, serta Pak Ustad yang terlihat sudah kehabisan tenaga, serta 4 orang security termasuk Pak Wawan yang sudah terduduk dengan kepala menunduk.
Tubuh Pak Jefri terduduk diam di tengah ruangan, punggungnya naik turun seperti sedang menangis, tangannya seperti sedang mengorek debu yang berada di lantai. Keadaan lebih genting kali ini, mereka sudah kelelahan, tapi Pak Jefri masih belum terlihat sadar.
"Bagaimana pak?" Tanyaku.
"Kenapa bisa begini? Tenaga mereka yang paling besar di antara semua security yang lagi jaga, kenapa mereka malah duduk duduk disana?" Balas Pak Mukhlis dengan sedikit nada kesal.
"Kalau begini, gimana kalo kita coba si Fadil itu buat nanganin Pak Jefri. Dari omongannya kayanya jujur dia pak." Balas security yang satunya.
"Sial!" Pak Mukhlis mengepalkan tangannya ke meja dan menunduk. Sepertinya ia sedang dilema antara mematuhi perintah dan mempercayakan semuanya ke orang yang sudah disuruh ke dalam, atau membiarkan orang asing mencoba membantu.
"Lu, anak muda. Siapa nama lu lagi? Karyawannya Pak Jefri kan lu?" Tanyanya sambil menunjuk ke arahku.
"Nama saya Udin, pak. Iya, saya karyawannya Pak Jefri." Jawabku.
"Menurut lu, disaat begini. Apa yang Pak Jefri lakuin?" Dia kembali bertanya.
"Berdasarkan pengalaman saya kerja dibawah Pak Jefri, yang saya liat, Pak Jefri suka bantu orang lain, jadi mungkin aja dia bakal lakuin segala cara kalau ada yang lagi kesulitan." Balasku sambil mengingat-ingat saat Pak Jefri membantuku mencari tahu misteri tentang ruangan yang ditutup.
"Haaah...," ia menghela napas. "Yaudah, biarin Fadil coba bantu, dan Udin kamu juga harus ke sana."
Aku mengangguk "Siap pak!"
Aku berlari ke luar, dan langsung memberi tahu keputusan yang telah dibuat oleh Pak Mukhlis, meskipun begitu security lain tampak sempat ragu. Namun, setelah aku coba meyakinkan mereka. Akhirnya mereka mau untuk membiarkan Fadil masuk dan coba membantu Pak Jefri, ditemani diriku tentunya.
"Gedung ini semuanya penuh aura hitam. Jadi saya gak tau persis dimana letak masalahnya. Tapi, bawa aja saya ke tempat yang lagi bahaya." Pinta Fadil
"Ruangan itu," ucapku sambil menunjuk ruangan tujuan kami. "Atasan saya kayanya kesurupan di dalem sana. Soal awal mula kejadiannya, nanti aja saya ceritain kalo udah berhasil."
"Kalo gitu, ayo kita cepetan!" Ajak Fadil sambil setengah berlari.
Tepat saat kami sampai di pintu depan ruangan, Pak Jefri sedang menatap tepat ke arah pintu, wajahnya kini terlihat jelas di mataku dan Fadil. Matanya telah berubah menjadi putih total, dengan urat wajah yang tampak tertarik cukup keras sehingga terlihat sangat jelas. Sekitar matanya juga dihiasi dengan sesuatu seperti cairan berwarna hitam, mulutnya setengah terbuka, dan air liur tampak mengalir dari mulut Pak Jefri.
"Oh tidak, ini lebih gawat dari perkiraan saya." Gumam Fadil.
"Tapi, kamu bisa kan?" Tanyaku dengan sedikit ragu.
"Akan saya coba." Fadil menggulung lengan hoodienya sampai siku, dan mulai berjalan mendekati Pak Jefri.
Aku berjalan mendekati Pak Wawan, berniat untuk mengajaknya ke luar ruangan agar lebih aman. Namun, sayangnya Pak Wawan sudah tidak sadarkan diri. Aku melihat ke yang lain, ternyata mereka juga sama.
Orang-orang ini berbadan besar, dan mereka semua pingsan, bagaimana caraku memindahkan mereka ke tempat aman?
"Kamu yang di sana. Siapa nama kamu?" Ucap Fadil tiba-tiba sambil sedikit melihat ke arahku.
"Ah, saya Udin." Jawabku.
"Oke, mulai sekarang gak perlu formal lagi karena kita udah saling kenal. Gua butuh bantuan lu di sini. Cuekin aja orang-orang itu, gak bakal kenapa-napa ko mereka." Katanya
"Ada barang yang diambil dari ruangan ini atau ruangan lain?" Tanya Fadil.
"Ah, ada," aku tiba-tiba teringat. "Ada kalung yang diambil dari laci meja di sana, kalo gak salah Pak Jefri yang kantongin." Jelasku.
"Nice info!" Senyum puas terlihat di wajah Fadil. "Gua bakal coba alihin perhatian dia sementara, dan gua minta lu ambil kalung itu, dan taro lagi ke tempat asal!" Ucapnya sambil berdiri di hadapan Pak Jefri.
"Kalo gua gagal?" Tanyaku.
"Heh, kita gak tau kalo belum coba." Jawabnya penuh keyakinan, namun aku juga melihat bulir-bulir keringat membasahi keningnya.
"Siap-siap, din!" Ucapnya. Sesaat kemudian, Fadil mulai menggumamkan sesuatu tidak jelas sambil memejamkan matanya dan tetap berdiri.
Aku menunggu dengan sabar di dekat tubuh Pak Wawan yang sedang tidak sadarkan diri. Fadil tiba-tiba saja menggerakkan tangannya dengan gerakan yang aneh. Entah kenapa, aku merasa kalau yang sedang bersamaku di sini sekarang bukan lah Fadil lagi.
Meskipun begitu, berkat gerakan aneh Fadil, kini Pak Jefri mulai berdiri, ujung dari kalung di saku celananya terlihat sedikit menyimbul keluar. Aku memutuskan untuk tetap sabar menunggu sampai Pak Jefri atau arwah apapun yang sedang merasuki Pak Jefri lengah berkat Fadil.
"Uuggh.." Pak Ustad tiba-tiba saja kembali bangkit, dia terlihat menahan sakit saat berusaha untuk ke posisi duduk.
Tidak lama kemudian, Pak Ustad melantunkan sesuatu dalam bahasa Arab. Aku mengalihkan pandanganku ke Fadil. Mulutnya tampak tersenyum lebih puas sekarang. Sambil tetap menutup matanya, dan melakukan gerakkan aneh, dia juga tetap menggumamkan hal yang tidak dapat aku mengerti sama sekali.
"Uuaaaahh!!!!" Pak Jefri tiba-tiba saja berlari berniat menerjang Fadil.
"SEKARANG!" Fadil tiba-tiba saja membuka matanya dan memberiku perintah.
Aku segera berlari menuju kantung celana Pak Jefri, dan mengambil kalung dari saku celananya tersebut. Namun, tugas ini tidak lah semudah perkiraan. Hanya beberapa senti jariku bisa mencapai kalung itu, tiba-tiba saja Pak Jefri melihat ke arahku, dan menepis tanganku sekuat tenaga.
Aku jatuh ke lantai dengan wajah yang mendarat lebih dulu.
"Hehe." Fadil tiba-tiba tertawa ringan.
Aku segera berusaha membalikkan tubuhku, dan melihat kejadian berikutnya, aksi kepintaran Fadil dan kekompakannya yang tiba-tiba dengan Pak Ustad membuatku takjub. Posisi tubuh Pak Jefri yang kini membelakangi Fadil langsung dimanfaatkan Fadil untuk mencuri kalung dari kantung celana Pak Jefri.
"Jangan tiduran terus! Tugas lu buat balikin nih kalung!" Ucap Fadil sambil melempar kalung tersebut ke arahku.
Pak Ustad secara tiba-tiba juga berlari menghampiri Pak Jefri dan mulai memegang kepala Pak Jefri. Pergerakan dua orang ini sangat cepat dan mengejutkan.
"Cepetan, din!" Teriak Fadil menyadarkanku dari rasa takjub. Tangan Fadil langsung memegang bagian belakang kepala Pak Jefri. Aku segera memungut kalung yang sudah dilempar ke arahku.
Aku berusaha secepat mungkin berlari menuju meja resepsionis untuk mengembalikan kalung tersebut, sebelum tiba-tiba saja.
"AAAGGGHH!!" Teriakkan terdengar, namun bukan suara dari Pak Jefri yang kerasukan, melainkan suara dari Fadil dan Pak Ustad secara bersamaan.
Jika terdapat kritik & saran, silakan tuliskan di komentar. Jangan lupa tinggalkan power stone dan review juga, dan tambahkan ke library biar author semakin semangat