webnovel

21. Jalangkung

Hingga Caca menyela kehangatan mereka.

"Udah ... nanti dilanjut lagi mesra-mesranya, sekarang kita harus pergi dari sini dan cari air minum dulu."

Membuat Raizel dan Diva kembali menjaga jarak lagi.

Akan tetapi, hati mereka masih terikat oleh kehangatan tadi.

"Gue makasih banget buat kalian semua yang udah susah payah buat nyelametin gue, makasih banget. Termasuk lo, Van" ungkap Raizel

Disentuhnya pundak Vano yang duduk tidak jauh di sampingnya.

"Tentu ... kita nggak akan bisa ngebiarin temen sendiri kenapa-napa" balas Vano.

Ia tersenyum dan semuanya tersenyum bahagia.

Raizel benar-benar beruntung memiliki teman seperti mereka, ia berhutang nyawa pada teman-temannya.

Hidung mereka seperti orang yang sedang flu, ingus mereka keluar mencair karena menangis.

Keringat membasahi semua bagian baju mereka, termasuk tubuh dan rambut.

Raizel tertawa dan bersyukur di dalam hati, ia benar-benar beruntung.

Di gelapnya malam yang gulita. Raizel dan teman-temannya berjalan keluar dari rerumputan untuk menuju jalanan aspal.

Saat mereka sudah sampai. Angin menyapu helaian rambut, mengusap sejuk leher dan kening mereka yang gerah, membuat panas di dalam tubuh menjadi normal kembali.

Ternyata, mereka sudah sampai pada Desa Bagaharuni. Yang di mana itu adalah desa tujuan mereka sebenarnya.

"Pak, ini kita masih jauh nggak?" tanya Egy sembari mengusap-ngusap celana levisnya karena kotor.

"Enggak , Den. Beruntungnya kita udah sampe ... itu lihat." Saleh menujuk ke arah warung dekat lapangan.

Lumayan jauh dari jarak mereka berdiri, namun karena mereka yang ada di posisi gelap, menjadi cukup jelas untuk melihat ke arah yang terang.

Di sana, nampak sekali banyak pemuda-pemuda dan anak-anak tengah bermain bola di lapangan depan warung tersebut.

Tidak kurang juga, ada banyak orang-orang dewasa yang nongkrong di situ untuk sekedar mengopi bersama.

"Itu warung, Pak?" tanya Vano memandang ke arah yang ditunjuk Saleh.

"Iya, Den. Nah, nggak jauh dari warung itu, sekitar tiga rumah lagi, sampe di rumah bapak ...

Aden dan Neng, malam ini menginap dulu di rumah bapak, besok baru bapak anter kerumah Pak Gunawan" usul Saleh.

"Oh, iya makasih sebelumnya, Pak. Ayo kita ke rumah, Bapak" ajak Egy setuju.

"Tunggu! Kita mampir dulu aja ke warung buat istirahat sebentar, beli minum dan beli plester" saran Diva.

"Beli plester buat apa?" tanya Cindy penasaran.

"Buat Raizel" Diva melirik ke arah tangan Raizel. Yang memang ada bekas tusukan kuku di pergelangan tangannya.

Luka itu tidak lain adalah luka dari kuku hantu supir bus tadi.

Mereka mulai setuju untuk mampir ke warung tersebut, dengan berjalan pelan karena kaki sudah sedikit keram dan tidak kuat lagi untuk berjalan.

Efek terus berlari beberapa waktu lalu.

Dengan susah payah mereka melangkah, akhirnya sampai juga. Di sana masih terdapat banyak sekali pemuda yang masih bermain Bola di lapangan, ditambah orang-orang dewasa yang tengah mengopi bersama di depan warung.

Mereka sedikit dikejutkan oleh kedatangan Saleh bersama Raizel dan teman-temanya.

"Saleh ...? Udah pulang?" tanya salah satu orang yang sedang menongkrong menikmati kopi bersama dengan yang lain, Ia bernama Talam.

"Eh! Pak Talam. Apa kabar? ... iya ini saya baru pulang" jawab Saleh menghampiri mereka, Raizel dan teman-temannya hanya ikut tersenyum di belakang Saleh.

"Loh! Ini kamu pulang sama anak siapa? Kayaknya mereka anak kota" ucap Talam, sembari matanya berkeliling memandangi setiap wajah keenam Remaja itu.

"Iya, ini teman saya dari kota, perkenalkan ...." Saleh menoleh ke arah Raizel dan remaja itu mengangguk paham untuk memperkenalkan diri.

"Oh! iya, perkenalkan nama saya Raizel, Pak" ungkapnya, sembari bersalaman dengan Talam dan semua orang yang duduk di depan warung.

Lalu setelahnya, disusul oleh Egy dan yang lain.

"Saya Egy."

"Saya Vano."

"Diva."

"Cindy."

"Caca."

Mereka secara bergantian bersalaman memperkenalkan diri. Setelah itu, seorang Wanita terlihat lebih tua beberapa tahun dari Saleh, keluar dari dalam warung.

Dia adalah pemilik warung tersebut, yang bernama Sri.

"Saleh apa kabar?" serunya lalu berjabat tangan dengan Saleh.

Saleh dan Wanita pemilik warung yang bernama Sri, mereka sedikit mengobrol.

Hingga tanpa orang lain sadari, bekas luka cengkraman kuku hantu supir di tangan Raizel, sedikit mengeluarkan darah.

Raizel tentu merasakan cairan merah mengalir keluar dari dalam kulit tangannya.

Ia mengusap dan menutupinya dengan memasukan tangannya kedalam saku jaket.

Teryata, Diva sedari tadi memperhatikan Raizel. Tentu tahu, jika Raizel mencoba menyembunyikan lukanya.

Diva tau pasti, meskipun pria yang dicintainya berusaha menutupi luka itu, ia tidak bisa memungkuri rasa sakitnya.

"Bu, maaf saya menganggu. Saya mau tanya, Ibu ada betadine, kapas, sama plester nggak? Kalo ada saya mau beli" ujar Diva yang tiba- tiba menyela perbincangan Saleh dan Sri.

"Astaghfirullah, saya sampe lupa. Iya Mba Sri punya nggak?" tanya Saleh yang baru saja teringat, jika Raizel sedang terluka.

"Ada Neng. Bentar ya Ibu ambilkan" pungkasnya masuk kedalam warung.

Tidak butuh waktu lama ia keluar kembali, membawa barang yang diminta Saleh dan Diva

"Ini, Neng" Sri memberikan satu bungkus kapas, satu betadine, dan satu plester roll.

"Makasih, Bu. Ini semua berapa?" Diva menerimanya dan sekalian bertanya totalnya.

"13.500 ribu, Neng" jawab Sri dengan lembut.

Diva merogoh tas mininya untuk mengambil dompet, namun tiba-tiba.

"Ini Mba Sri" kata Saleh memberikan uang pas kepada Sri. Membuat Diva terhenti untuk mengambil dompetnya, dan justru menjadi menatap Saleh.

"Pak, biar saya aja yang bayar" ucap Diva.

"Enggak usah, Neng nggak pa-pa, bapak ada uang pas kok" jawabnya.

"Nanti saya ganti ya, Pak."

"Jangan, Neng. nggak usah."

"Ya udah, makasih banyak ya, Pak."

"Iya, Neng."

Egy dan teman-temannya terdiam memperhatikan Saleh dan Diva.

Sedangkan Raizel diam termenung, tidak memperhatikan keduanya.

Dia tengah memasang pendengarannya dengan baik.

"Jalangkung jalangkung ... di sini ada pesta, pestanya kecil-kecilan ....

Berangkat tak dijemput, pulang tak diantar."

Begitulah sekiranya suara yang membuat Raizel terdiam.

Anak-anak kecil seumuran anak SMP dan SD tengah bermain jalangkung-jalangkungan dengan niat sebuah permainan dan iseng.

Lalu Raizel menoleh kearah mereka.

Terlihat ada beberapa anak laki-laki dan perempuan tengah duduk bersila di sisi lapangan, yang jaraknya hanya beberapa meter, terhitung dekat dengan warung.

'Untuk apa anak-anak udah malam kaya gini, malah main permainan kaya gitu dan ngucap mantra terlarang seenaknya?

Apa mereka nggak tau penyebab seudah mereka baca itu?' batin Raizel.

"Ya udah, Mba Sri, kami pamit pulang dulu. Itu udah jam sembilan malam" pamit Saleh menengok jam yang ada di samping kulkas, di dalam warung Sri yang terlihat dari luar.

"Iya, Pak" Jawab Sri dengan ramah.

Namun tiba-tiba Raizel bertanya.

"Pak ... Bu ... maaf. Itu anak-anak mainan jalangkung kaya gitu. Apa mereka nggak tau, itu nggak boleh buat mainan sembarangan?" tanya Raizel sembari menoleh ke arah anak-anak yang terus saja mengucapkan mantra itu.