webnovel

Bab 2: Si Pembuat Onar

Seorang siswa berlari menuju ruang Kepala Sekolah dengan tergopoh-gopoh. Kemudian, dia berkata dengan panik.

"Bu ... Bu Ayang ... ada yang berantem di lapangan basket!" lapor siswa itu dengan napas terengah-engah.

"Apa? Berantem? Siapa lawan siapa, hah!" cecar Kepala Sekolah SMK Rawa-Rawa dengan mata mendelik.

"Gengnya si Mira lawan gengnya Chaca, Bu," jawab si pelapor sembari menatap takut-takut ke arah wanita bertubuh subur makmur itu.

Bu Ayang memang Kepala Sekolah yang terkenal killer. Sorot matanya yang tajam mampu membuat nyali semua siswa menciut.

"Pasti geng si Mira yang mulai. Iya, 'kan?" Bu Ayang bertanya sambil menyipitkan mata.

Kepala Sekolah SMK Rawa-Rawa itu tampak gusar. Wanita penyuka es kopi susu itu berjalan mondar-mandir di dalam ruangannya. Sesekali, dia menyesap kopi yang disajikan oleh penjaga kantin sekolah. Bukan tanpa sebab kegusarannya kali ini. Mira dan gengnya yang menjadi penyebab.

'Kalau dibiarkan, mereka bisa bikin sekolah kena tegur, nih. Saya harus segera bertindak!' batin Bu Ayang, mantap.

***

Di lapangan basket ....

Terjadi baku hantam antara geng Mira dengan geng Chaca. Pertikaian bermula karena hal sepele, hanya karena berebut sebungkus cilok yang tersisa di kantin sekolah. Sungguh tidak keren sama sekali.

Kedua geng itu memang sudah menjadi rival sejak lama. Hal sekecil apa pun akan membuat mereka berseteru dan terlibat dalam pertarungan yang seru. Seperti siang itu saat jam istirahat, kedua geng saling menyerang satu sama lain usai ribut berebut cilok sebelumnya.

Geng yang diketuai oleh Mira merupakan geng yang paling ditakuti di lingkungan sekolah dan Kampung Rawa-Rawa. Beranggotakan tiga remaja dengan latar belakang keluarga yang tidak harmonis, anak-anak broken home. Geng tersebut tak pernah gentar menghadapi rivalnya yang beranggotakan lima anak orang kaya yang selalu dimanja.

"Hajar merekaaa!" Chaca, sang ketua geng dari pihak lawan berseru dengan suara lantang, diikuti keempat anggotanya yang serempak maju, menyerbu dengan semangat menggebu-gebu.

"Kalian pikir kami takut, hah? Geng Mirasantika nggak pernah takut!" Suara Mira tak kalah lantang.

Geng Mira menyambut serbuan itu dengan pukulan genderang yang ditabuh oleh siswa yang kebetulan menonton di tepi lapangan, mengiringi teriakan yang membahana, memekakkan telinga siapa saja yang sedang berada di dekat lokasi pertikaian.

Pertarungan tak bisa dielakkan. Kedua geng saling melempar jurus andalan begitu jarak mereka telah cukup dekat.

"Meresahkan!" geram Chaca saat jidatnya terkena jurus sentilan maut dari salah satu anggota geng Mira yang gemulai.

Pertarungan berlangsung sengit. Geng Chaca memang pandai silat, tetapi geng Mira jago berkelit, menangkis, dan menghindar. Apalagi menghindar dari kenyataan.

Serangan demi serangan saling dilayangkan. Jurus andalan masing-masing pihak dikeluarkan demi mendapat kemenangan dalam pertarungan.

Geng Mira yang meski kalah dalam hal jumlah pasukan, namun terkenal handal dalam hal perkelahian. Setiap serangan lawan mampu ditangkis dengan manis. Semanis kenangan mantan.

Begitu melihat tenaga lawan yang semakin melemah, geng Mira yang sedari tadi hanya menghindari serangan yang merupakan siasat bertempur mereka, tak mau melewatkan kesempatan dan langsung membalik posisi menyerang.

Jurus tiga sekawan gabungan dilancarkan sebagai senjata pamungkas, antara lain; jurus sentilan maut, jurus gelitikan quantum, dan jurus toyor tanpa ampun, membuat geng Chaca tak berdaya.

"Ha-ha-ha ... udah, nyerah aja! Kalian main masak-masakan aja sono, nggak usah sok nantangin gue en de geng," ujar Mira, jemawa.

"Gue mau kita tanding ulang! Minggu depan, di lapangan ujung kampung," seru Chaca sembari mengusap-usap bokongnya yang terkena tendangan tanpa bayangan dari salah satu anggota geng Mira yang bertampang paling cool.

Mereka pun mencapai kesepakatan untuk baku hantam jilid dua.

"Oke. Siapa takut?" sinis Mira, penuh percaya diri.

Bu Ayang datang dengan tergopoh-gopoh setelah sebelumnya di kantor dia menghabiskan secangkir es kopi, somay, dan mi ayam, sehingga terlambat menyaksikan pertarungan seru antar geng di lapangan basket. Sungguh truwelu!

"Heh. Sini kalian!" Bu Ayang berteriak nyaring demi melihat geng yang berseteru itu hendak meninggalkan TKP.

Para anggota geng sontak menghentikan langkah dan berbalik badan dengan perlahan.

"Cepet sini!" perintah Bu Ayang dengan mata melotot tajam.

Para tersangka perkelahian berjalan gontai sembari menundukkan kepala, mendekati Kepala Sekolah dengan penuh ketakutan yang luar biasa.

'Aduh! Kena hukuman, deh,' gumam Mira, pasrah.

Di hadapan Bu Ayang, sang Kepala Sekolah, semua siswa menunduk, sementara Bu Ayang menggelengkan kepalanya pelan sembari mengelus dadanya sendiri.

"Kenapa kalian gelud? Ada masalah apa lagi? Apa tak bosan setiap hari ribut?" Bu Aya mencoba menahan emosi yang meletup-letup dengan melembutkan suaranya.

Hening. Semua siswa terdiam seribu bahasa.

"Kenapa tak ada yang jawab? Lihat saya!" bentak Bu Kepala Sekolah, geram.

"Kenapa? Kalian takut sama saya?" lanjutnya. Dia menatap para siswa di hadapannya, bergantian.

"Ng ... anu, Bu. Sa-saya ng ... nganu," jawab Mira, tergagap.

Bu Ayang mencebik, lalu kembali menggeleng pelan menyaksikan wajah-wajah penuh ketakutan itu kembali menunduk dalam-dalam.

"Kalian ini ... kerjaannya berantem terus. Berantem, kok, dijadiin kerjaan!" tukas Bu Ayang.

Lagi-lagi hening. Tak satu pun yang berani membuka suara.

"Coba lihat saya! Apa batako itu lebih menarik dibanding saya?" Kali ini, kesabaran Kepala Sekolah tak dapat dipertahankan sebab semua selalu diam saat ditanya dan lebih memilih terus menundukkan kepala.

Mendengar nada murka dari Kepala Sekolah, semua mendongak secara serempak, menatap wajah Bu Ayang yang menggemaskan dengan pipi yang chubby.

Mata sang Kepala Sekolah menyisir wajah-wajah si pembuat onar. Menatap satu per satu pemuda dan pemudi harapan bangsa itu. Dia menyesalkan tindakan arogan murid-muridnya yang sebenarnya pandai, hanya saja selalu terlibat masalah.

Tatapan tajam Bu Ayang membuat para siswa di hadapannya itu menahan napas, menahan gejolak rasa yang tak menentu, menahan rindu, juga menahan hasrat ingin buang hajat.

"Jadi ...." Bu Ayang menggantung kalimatnya. Sementara semua anggota geng menunggu dengan degup jantung yang tak beraturan.

Sang Kepala Sekolah menatap dengan tatapan sangat serius pada murid-muridnya. Dia lalu menarik napas panjang sesaat sebelum menanyakan hal yang sedari tadi ingin ditanyakan.

"Jadi ... siapa yang menang?" tanya Bu Kepala Sekolah dengan suara setengah berbisik.

Para siswa itu saling pandang. Mereka mengembuskan napas yang ditahan sejak tadi, lega.

Fiuuuh!

"Aaah! Ibu bikin kita-kita kaget aja," ucap salah satu anggota geng Chaca dengan suara manja.

"Geng saya, dong, Bu, yang menang," timpal Mira, sang ketua geng Mirasantika dengan membusungkan dada, jemawa, "jadi, kita nggak dihukum, 'kan, Bu?" tanyanya, melanjutkan.

Bu Kepala Sekolah diam sesaat, lalu tersenyum penuh arti tersembunyi. Ia berpikir, harus segera membuat para siswa nakal itu jera dan berhenti membuat onar. Wanita itu ingin para siswanya mengukir prestasi yang membanggakan, bukan selalu membuat keributan.

"Tentu saja ...." Wanita berhidung kurang mancung itu tak melanjutkan kalimatnya.

"Yeay, nggak dihukuuum!" seru para anggota geng, kompak.

"Kalian dihukuuum! Sore ini kalian semua harus datang ke rumah saya. Se-mu-a!"

Bu Kepala Sekolah sudah bertitah dengan wajah yang memerah karena marah. Semua siswa pembuat onar sontak terdiam seribu bahasa.

Sore hari sepulang sekolah, semua siswa yang terlibat perkelahian hadir di rumah Bu Ayang untuk mendapat hukuman yang setimpal, yaitu mencabuti rumput di belakang rumah Bu Kepala Sekolah yang luasnya satu hektar.

~Setiap perbuatan takkan luput dari balasan. Perbuatan baik akan dibalas baik, perbuatan buruk akan dibalas oleh Bu Ayang dengan hukuman.~

***