Warteg yang dimaksud Tono adalah sebuah warung tenda kecil yang didirikan di atas selokan yang airnya nyaris penuh, hitam, dan dikerumuni lalat dimana-mana. Jelas itu bukan pemandangan yang bisa membangkitkan nafsu makan. Anehnya, perutku berkeriuk melihat aneka masakan pedas yang dipajang di etalase kaca sederhana itu. Ceker pete lombok ijo, sambel tongkol, ceplok balado, dan terong sambel terasinya seperti melambai-lambaikan tangan minta kupesan.
"Ramesan dua ya, Nek, pedes semua," sahut Tono, bicara pada pemilik warung.
Aku menoleh kaget.
"Ehh. Nggak mas. Aku nggak makan."
"Mukamu sudah pucet gitu. Pasti belum makan siang kan? Nanti kalo pingsan malah aku yang repot."
Melihatku terdiam, Tono lalu melanjutkan, "Jangan kuatir. Murah kok makanan disini. Dan hari ini, aku yang traktir."
"Nggak perlu, Mas. Aku bawa duit kok."
"Sudah. Duitmu simpen aja buat kebutuhan yang lain. Kalo kamu mau cari Bagus sampai ketemu, kayak katamu tadi, kamu bakal lama disini. Karena sudah hampir setahun toh Bagus ilang tanpa jejak? Setahun lagi kamu nyari juga belum tentu ketemu."
"Pasti ketemu, Mas. Aku yakin. Insya Allah."
"Terserahlah. Yang penting sekarang makan dulu. Ya?"
Akhirnya aku mengangguk.
Pemilik warung yang sudah renta itu mengangsurkan piring yang penuh dengan nasi dan lauk pauk padaku dan Tono, tanpa tersenyum, tanpa bicara sepatah katapun. Namun matanya menatapku tajam, seperti penasaran.
"Dia bisu," sahut Toni tanpa berusaha merendahkan suaranya.
Aku melirik si Nenek, kuatir dia tersinggung. Tapi perempuan tua itu sudah sibuk mengambil-ambilkan makanan untuk pengunjung lain. Kayaknya dia nggak denger omongan Tono barusan.
"Gara-gara sempat stroke waktu itu," lanjut Tono sambil makan nasinya dengan lahap. "Sempat lumpuh. Untungnya terus bisa jalan lagi, cuman tetep nggak bisa ngomong. Ya.. untungnya sih masih bisa masak, masih bisa jualan, karena kalo nggak, mau makan apa coba dia?"
Aku mendengarkan saja sambil menyendok sesuap nasi beserta lauk pauknya. Dan lidahku terperanjat. Ini adalah masakan lombok ijo tersedap yang pernah aku makan! Bahkan masakan si Yati yang juara umum lomba masak tujuh belasan selama lima tahun berturut-turut aja kalah. Sayur lainnya juga enak, pedasnya pas, dan bumbunya dimasak sampai merasuk. Rasanya jadi kepingin nambah, tapi nggak enak karena Tono yang bayarin.
"Kabar yang aku denger, katanya kamu cuma bisa makan yang pedes-pedes sekarang?" Tanya Tono.
Aku mengangguk, sambil terus makan.
"Apa Mas Bagus juga sering makan disini?" tanyaku.
"Semua kuli yang tinggal di daerah sini makan disini. Soalnya paling murah. Bisa ngutang lagi kalo pas mepet."
"Berarti si Nenek pemilik warung ini kenal sama Mas Bagus?"
"Kenal baik sih enggak. Ya kayak aku gini lah, cuma tau karena sering makan disini."
Aku menatap Tono.
"Malam itu, pas kamu dan mas Bagus main gaple disini.. itu sama siapa aja? Berdua aja apa ada yang lain?"
"Tadinya sama Rinto dan Joko, tapi terus mereka pulang duluan."
"Jadi mereka juga nggak tau Mas Bagus ngilang kemana?"
"Ya nggak lah. Aku aja nggak tau, apalagi mereka?"
Aku terdiam. Tapi mungkin wajahku terlihat kayak mau nangis, karena kulihat Tono menatapku dengan kasihan lagi.
Segera aku mengerjap untuk mengusir selapis air mata yang membayang di kelopak mata. Dari tadi aku sudah berusaha nggak nangis, tapi berada disini, di tempat Mas Bagus terakhir kali ada, sehat, dan masih bisa makan malam sambil bercanda sama teman temannya, bikin hatiku rasanya sesak.
Dan meski mulutku selalu bilang yakin bisa menemukan Mas Bagus, tak dapat kupungkiri kalo hatiku sebetulnya ragu.
"Sudah, jangan nangis," kata Tono.
"Sapa yang nangis. Aku cuma kelilipan kok Mas," segera kuseka air mataku.Lalu aku berdiri. "Aku sudah selesai, Mas. Ayo kita ke pengkolan aja sekarang. Tempat kamu pisah sama Mas Bagus."
Toni mengangguk sambil keluarin dompetnya.Lalu kasih selembar dua puluh ribuan ke si Nenek. Ekspresi si Nenek tidak berubah saat menerima uang itu dari Tono. Dia terima uang itu begitu saja, lalu masukin ke kardus kumal yang dia jadikan kotak uang. Tanpa senyum, tanpa apapun. Tapi saat aku dan Tono melangkah meninggalkan warungnya, kulihat dia mengikuti dengan sudut matanya.
***********************************************************************************************
Saat aku dan Tono tiba di pengkolan, Fitri sudah lelap karena kelelahan. Sukurlah, jadi aku bisa mengamati situasi dengan tenang.
Yang dibilang pengkolan oleh Tono ternyata cuma pertigaan kecil, dengan satu cabang mengarah ke jalan raya, sementara cabang yang lain mengarah ke gang lain yang sama kecilnya dengan gang tempatku berdiri sekarang.
"Nah kita misah disini!" Kata Tono sambil menunjuk jalan raya. "Bagus ke arah sana, karena kepingin beli kacang rebus dulu katanya."
"Sedangkan Mas Tono?" tanyaku.
"Ya aku langsung pulang."
"Kenapa nggak lewat jalan arah kita dateng tadi?"
"Kalo malem kan portalnya ditutup. Nggak bisa lewat situ lagi. Harus muter dikit lewat kiri."
Aku manggut-manggut.
"Terus, pas Mas Tono tiba di kontrakan, Mas Bagus belum sampai? Kenapa Mas Tono nggak nyari dia?"
"Weladalah, suamimu itu kan sudah dewasa, Nah. Dan aku juga bukan pengasuhnya toh."
"Tapi harusnya Mas Tono curiga ada yang nggak beres jika sampai berjam-jam setelahnya Mas Bagus nggak pulang juga."
"Aku ketiduran. Jadi paginya aku baru nyadar."
"Terus?"
"Ya terus aku nyari dia. Nelpon dia. Tapi hpnya nggak aktif. Terus ya aku tinggal berangkat kerja. Eh, ternyata dia bolos."
"Mas Tono nggak lapor polisi?"
"Aku mana berani masuk ke kantor polisi, Nah."
"Jadi Mas Bagus dibiarin aja gitu, ilang, tanpa ada yang peduli?"
"Siapa bilang nggak peduli? Aku nyari loh. Sampai kudatangi rumah Rinto dan Joko, tapi mereka juga nggak tau Bagus dimana."
"Cuma itu?"
"Ya terus aku musti gimana lagi?"
Kemarahanku nyaris meledak mendengar jawaban santai Tono. Jadi seperti ini laki laki yang Mas Bagus banggakan sebagai sahabat terbaiknya? Dia nggak peduli sama sekali. Sekarang aku jadi yakin, dia nggak langsung mengabari ke kampung begitu Mas Bagus hilang bukan karena nggak tega ngomong sama aku, tapi karena dia sebetulnya nggak peduli.
Dengan darah yang nyaris mendidik, kuambil Fitri dari gendongannnya. Dan aku bicara dengan nada paling ketus yang pernah keluar dari mulutku.
"Makasih buat traktirannya, Mas. Tapi aku rasa, bantuanmu cukup sampai disini aja."
Kemudian aku melangkah pergi dari sana.
**********************************************************************************************