webnovel

MIL-4

Rose menatap lamat-lamat pria yang ada di hadapannya itu. Setelan jas yang menyiratkan sebuah petunjuk ingatannya disaat satu-dua hari yang lalu.

"Kenapa?"

Ujar Mr. Auden, menatapnya bingung.

"Ah, salam kenal. Saya Rose, bintang iklan produk anda."

"Oh, ya. Senang bertemu dengan anda, nona Rose," Mr. Auden mengulurkan tangan. "Saya Direktur Eksekutif Tiffanellope, anda bisa memanggil saya Mister Auden."

Bukan tanpa alasan Rose menghampirinya tiba-tiba, hanya sekedar spontanitas saja. Siapa tahu Mister Auden mengenalinya juga bukan? Terlebih ada banyak pria yang pernah ia kencani dan pacaran dengannya, bahkan tidak jarang Rose bercumbuan dengan para pria yang tidak sengaja ditemuinya di Bar, saat mabuk.

"Nona? Apa ada sesuatu yang salah?"

Rose membuyarkan pikirannya dan menyunggingkan senyum saat tahu Mr. Auden mengulurkan tangan untuknya agar berjabat tangan. "Rose,"

Mister Auden terkekeh kecil. "Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, ya?"

Rose kikuk.

"Semoga anda bekerjasama dengan baik sebagai bintang iklan produk kami, ya. Saya harap kita bisa bekerja sama dan membangun relasi bisnis yang kompeten."

Rose berjabat tangan dan bersikap natural serta sopan. "Baik, Mister Auden. Saya harap kita bisa melakukan dengan baik agar bisa mencapai tujuannya masing-masing."

|

Selesai sudah sesi pemotretan Rose sebagai bintang iklan atau bisa disebut juga Brand Ambassador. Cukup senang untuk hari ini, karena diberikan bonus parfum yang ia damba-damba nya—Scarlet Vivid. Edisi terbatas dari merk Tiffany and Co.

Waktu sudah menunjukkan bahwa hari sudah semakin siang, selesai nya Rose berbincang-bincang dengan para tim pekerja, Rose akhirnya pulang sesudahnya makan siang di apartement tempat dirinya bekerja.

"Aurellia Rose,"

Suara yang familiar dan jarang ia dengar itu, Rose menoleh ke belakang dia menemukan seorang Aner tengah berdiri sambil menatap Rose dengan senyuman culasnya. "Pulang bareng sama papa."

Rose memhentikan langkahnya dan menatap Aner. "Mmm... Papa gak sibuk?"

"Papa akan pulang dan seharian di rumah nanti. Papa dengar, kau mengurus seekor kucing, ya?"

Rose menyembunyikan rasa kernyitnya dan memperlihatkan tampilan biasa. "Iya pah. Kalau papa gak suka, papa..."

"Tidak, aku hanya bertanya saja. Itu kan' keinginanmu untuk merawat kucing, dan kau mengambil tanggung jawab untuknya,"

Rose menghela nafas karena tidak terbiasa dengan ke-bakuan kalimat papanya yang satu ini. Memang di saat-saat tertentu Rose ingin dekat dengan papanya, tapi tahu diri karena papa sangat membatasinya.

"Ayo pulang," Aner menyiapkan lengan untuk Rose. Rose bingung, haruskah ia merangkulnya?

"Pa-papa membiarkan Rose mengurus kucing?"

"Papa tidak memaksa kehendak papa. Asal kau menjaganya dengan baik,"

"Papa serius tidak masalah? Papa kan' punya riwayat sesak nafas." Rose benar-benar merangkul lengan Aner, mungkin orang-orang yang melihatnya akan terlihat seperti seorang perempuan yang sedang berjalan dengan kekasihnya, atau mungkin seorang gadis sedang mengincar para penghasil cuan dari pria berhidung belang.

Rose spontan membuang pikirannya jauh-jauh.

"Kau dengar omongan papa tidak?"

"Apa pah?"

"Nah' kan. Soal jawaban papa yang kau tanyakan sebelumnya."

"Maaf pah, bisa ulangi sekali lagi?" Rose meringis, Aner membukakan pintu mobil penumpang bagian depan untuk sang putri bungsu-nya.

"Masuk dulu,"

Rose mangangguk dan masuk ke mobil. Aner mengitari mobil dan masuk ke bagian kursi pengemudi,lalu menyalakan mesinnya agar segera bekerja dengan baik. "Papa persingkat saja, asalkan kucing itu bukan anggora, papa bolehkan."

"Ta-tapi juga Rose bingung kenapa harus merawat dia," Rose menunduk gamang. Apa yang ia bicarakan?

"Maksud kamu apa Rose?"

"Ah, Rose bilang—tidak apa, Rose hanya salah bicara."

Aner melakukan mobilnya dan mulai sibuk memfokuskan diri ke depan jalan.

"Punya sesuatu yang harus kau miliki dan kau jaga itu, harus memiliki tanggung jawab yang besar,"

Rose terbungkam. Ia mencerna kata-kata ayahnya.

Aner melirik putri bungsu yang bagi dirinya adalah satu-satunya itu—mengulas senyum. "Kau harus mampu untuk mengambil resikonya,"

Rose berdengung. Haruskah dirinya mengatakan bahwa kucing itulah yang tidak mau beranjak dari depan halaman mansion-nya itu?

|