webnovel

Tanda itu

Suara hingar bingar dentuman musik yang cukup keras memekakan telinga bersamaan dengan sorak para pelelang. Wajah gadis yang berbalut dress mini pres mencari sosok itu di antara kerumunan pria, keyakinan dan dorongan untuk keluar dari lingkar jeratan hubungan semakin kuat.

Cahaya lampu yang menyorot menyilaukan mata ia tak pernah senekat ini kalau tak ada topeng penutup wajahnya terlihat sangat seperti orang yang haus

Pernikahan yang di dasarkan tanpa cinta. Setiap hari batinya terluka. Cukup sudah sebentar lagi semuanya akan berakhir permainan sandiwara takpalah jikalau nanti hidup secara materi akan kesusahan, di banding sekarang memang serba ada namun apa gunannya semua itu jika batinnya tak tenang

"Kuharap itu kau," gumam penuh keyakin dipejamkan mata perlahan saat para pria mulai maju ke depan melihat gadisnya. Ah, bukan lebih tepatnya calon wanitanya

Elis yang awalnya hanya berniat untuk mencari Adinata lalu membawanya ke tempat yang diminta Mawar. Namun, ide gila dari model Itu Elis angguki mengikuti pelelangan yang dilakukan tiap setahun sekali berpapasan dengan sialnya tak menemukan keberadaan Adinata di ruang bawah. Elis juga tak akan seberani ini jika bukan embel-embel Mawar akan menjaga jika terjadi sesuatu.

Kesepakatannya bersama Mawar tak bisa lagi ia rubah saat di depan pendaftaran ia dapat mendengarkan permohonan para wanita yang sudah pasrah akan nasib hidupnya dibawa keluar dari lingkaran buruk tak ada yang mau ingin di sini, tetapi, keadaanlah yang menuntut

Tiga wanita bersama Elis tadi menemani sampai pendaftaran. Mereka tak ada yang mau ikut karena ini sama saja seperti mencari jarum di antara tumpukan jerami siapa yang mau memperlakukan mereka seperti ratu, melihat saja sudah jauh lebih kata rongsokan

***

Tak ada pertanda sang penerima akan mengangkat panggilan telpon itu sudah berapa kali ia menekan tetapi tak ada satupun yang menjawab

"Bagaimana sudah bicara dengan Kakakmu?" tanya Retta dengan menekan kata-katanya. Anaknya yang paling bungsu ini begitu keras kepala tak suka diatur sangat sensitif apabila membalas Elis

Reza menatapnya dengan mimik wajah datar, perasaannya bercabang ada banyak pikirannya yang tak dapat ditemukan jalan keluar. Sudah hampir pukul dua belas malam, hatinya gundah gulana memikirkan kakaknya saat tadi tak sengaja melihat Kakaknya—Elis di pinggir jalan.

Reza ingin memanggil namun terlambat seorang pria berbalut baju gelap membawanya pergi mengenakan mobil dan ada satu wanita lagi. Reza ingin mengejar namun ia hanya memakai sepeda tentu kecepatan lajunya sangatlah berbeda

Retta mengikuti anak bungsunya dari belakang. "Mama tanya dijawab, Reza!"

"Nggak diangkat puas! Sekarang Mama puas, kan! Sudah biarkan, Ka Elis, hidup menderita aku bukan lagi anak kecil yang harus menurut, Ma, Ka Elis dijual kan demi membayar hutang!" Emosi Reza tak terbendung lagi seketika menguap begitu saja

Retta tak memberi tanggapan apapun lagi rasa sayangnya terhadap Reza tak membuat Retta ingin mengangkat tangan

"Reza capek." Reza menaiki anak tangga

Retta menatap kepergian anaknya. "Mama juga melakukan ini demi kebaikan mu Reza, demi masa depanmu andai kamu tahu seberapa rasa sayang, Mama. Biarkanlah anak itu berkorban sedikit."

Retta tak membenci anak sambungnya luka lama masih belum dapat disembuhkan. Hampir belas tahun sudah berlalu namun kenangan itu tak dapat ia hapus. Retta juga ingin menyayangi gadis itu namun lukanya teramat dalam setiap saat melihat wajah gadis itu ia seperti terputar akan memori lama di mana ia benar-benar rapuh. Lebih baik tak melihatnya.

"Ma ...," ucap Harzan lembut

"Eh Pah," jawab Retta, berbalik sebelum menghapus air matanya

"Ada apa kok, Papah, bangunnya tengah malam sih," ujar Retta menatap sang suami

"Oh ini ..." Harzan mengangkat gelasnya. "Tadi, Papah, haus eh Mamah malah di sini seperti ada sesuatu yang Mamah pikirkan."

"Nggak ada kok, Pah."

Harzan membawa sang istri kedalam dekapannya, dikecupnya berulang kali rambut wanitanya. "Katakanlah kalau ada yang menganggu pikiran Mama, kita sudah bersama belasan tahun aku tempatmu berkeluh-kesah."

Retta memejamkan matanya dirasakan sentuhan hangat suaminya."Reza masih tak ingin bicara denganku, Pah."

"Tak apa, anak itu emosinya tak baik usianya juga dalam masa transisi, Mama cobalah maklumi dan nanti Papa akan ajak dia bicara. Biarkan ia tenang." Harzan tahu anak bungsunya sangat sulit melepaskan kepergian kakaknya. Ya, memang sejak kecil Reza lebih dekat dengan Elis.

"Mama tak ingin nasibnya sama denganku, Pah." Kali ini Retta tak dapat menahan tetesan air matanya yang jatuh ucapannya penuh getir ketakutan, takut hal yang sama terulang lagi.

"Hush ... jangan katakan itu lagi tak mungkin, Mah." Harzan melepaskan pelukannya, dipegang bahu sang istri lalu mengusap kedua pipi wanitanya penuh kelembutan

"Jangan memikirkannya lagi, Mah, mereka punya takdirnya masing-masing."

Retta kembali memeluk suaminya penuh kenyamanan dirasakan belaian tangan itu ketakutan terbesarnya

Selina yang baru saja pulang dari acara kampus masuk ke dalam rumah lewat jendela kamarnya. Saat ingin keluar mengambil sebotol air ia mendengarkan percakapan orang tuanya.

"Sebentar lagi hidup, Mamah, tak aka ada bayang ketakutan, kita kan hidup bahagia, Mamah, tak lagi sedih." Selina kembali masuk kedalam kamarnya tak mau menganggu kedua orang tuanya

"Dia memang tak pantas hidup gara-gara dia Mamah hidup menderita selama ini." Kebencian Selina semakin bertambah saat-saat mengetahui kebenaran masalalu akan nasib yang dialami Mamahnya hidup penuh cacian

***

Alis sebelahnya terangkat mengambil mematikan telpon permainan masih berlanjut ia menyesap minumnya

"Gadis bodoh." Mawar sangat menikmati permainan malam ini jauh lebih menantang, mengeluarkan banyak uang tak membuat rugi mendapatkan hasil yang memuaskan perasaannya.

"Jangan berharap kau akan keluar begitu saja tanpa merasakan terlebih dulu rasa sakitku." Mawar kembali menyesap minumnnya sudah hampir satu jam lebih ia ingin mengulur waktu agar setiap menit merasa puas.

koneksinya begitu luas kenalannya juga sekali menyogokan setumpuk kertas semuanya dalam kendali

"Kalian duduklah nikmati pestanya"

"Baik Nona." Kedua pria itu mengambil tempat

***

"Kau benar-benar serius Vin! Mau menguras isi rekeningmu demi sebuah ...." Dewanda geleng-geleng kepala sahabatnya begitu aneh namun tingkahnya nyata membuktikan bahwa ia serius dengan perkataannya

"Bro tidak mau ikut?" Dewanda beralih menatap Adinata yang di dapat hanya tatapan datar.

"Deminya aku akan merogo dompetku lagian juga uang ini tak ku gunakan semua fasilitas sudah ada."

"Ah manis sekali tanda hitam di lehernya ingin sekali aku memiliknya cepat."

"Siapa gadis itu sebenarnya," ucap adinata pelan tatapnya tak beralih pada wanita yang masih di dalam kurungan besi

Waktu yang diberikan agar melihat wajah cantik dari setiap gadis tak cukup Adinata, Gavin, dan Dewanda berada paling belakang sesuai kesepakatan hanya boleh dinikmati beberapa menit saja