webnovel

Kebisuan

Mobil berhenti di depan Bandara Ghimpo, Sabrina diam, entahlah bagaimana perasaannya, apa berkecambuk, marah, gelisah atau binggung. Sabrina memalingkan wajah hingga tidak mau melihat ke bandara. Azka keluar mengambil kursi roda, lalu membuka pintu tempat Sabrina duduk.

"Sabrina, ayo." Azka membujuknya.

"Kita bukan muhrim!" Bentak Sabrina sama sekali tidak menghadap Azka. Azka bersikeras ingin membopong Sabrina dengan paksa.

"Jika tidak ada sahwat tidak pa-pa kan?" tanya Azka yang masih membujuk Sanrina.

"Bagaimana tidak ada syahwat, kamu membawaku itu karena nafsu syahwatmu!" tegas Sabrina baru menghadap Azka dengan penuh amarah. Azka sudah memasukkan sebagian badan ke tempat duduk Sabrina. Ia hendak membopong Sabrina yang menghindar.

"Maaf, aku harus memaksamu." Azka menarik lengan kiri Sabrina meletakkan ke pundaknya, Sabrina menampik tangan kiri Azka mulai melingkar di kedua kaki Sabrina, Sabrina memukul lengan Azka dengan tangan kanannya. Namun Sabrina tiada daya karena Azka sangat kuat, dia sangat tangguh kalau hanya akan membopong Sabrina.

Tangan kanan Azka melingkar di pundak Sabrina. Keluar dari mobil dengan merunduk, dengan pelan agar tidak terjaduk. Azka dapat membopongnya. Wajah ke duanya saling dekat, Sabrina membuang wajahnya ke lain arah dan sama sekali tidak berpegangan.

"Aku berhasil," ucap ringan Azka terdengar senang, namun beda dengan raut wajah Sabrina.

"Kak kenapa nekat sih!" ucap Sabrina masih menjauhkan wajahnya dan sedikit malas.

"Kau bicara sama siapa?" tanya Azka sengaja. Sabrina yang malas memutuskan untuk tetap diam. Robet membuka kursi rodanya. Azka menurunkan Sabrina ke kursi roda, mereka masuk bandara. Robet berlari.

"Nanti ada yang akan menjemput kamu. Maaf Azka, Hihu kecelakaan." Pamit Robet tiba-tiba setelah membuka ponselnya.

"Alhamdulillah, akhirnya tidak ada yang rempong," Ucap Azka lega.

"Tapi aku akan menyusulmu dengan Hihu," Jelas Robet, Azka hanya tersenyum miring, lanjut mendorong. Lalu mengambil tiket ia mulai Cehk In. Azka terus mendorong ia sangat bersemangat.

"Boleh lari?" pamit Azka.

Sabrina membisu, Azka merayu.

"Dengar aku. I love you," bisik Azka di telinga kanan Sabrina, wajah Sabrina diam tanpa expresi.

"Baiklah." Mereka masuk ruang tunggu.

Azka duduk di depan Sabrina sembari menunggu panggilan.

"Hemmmm. Sampai kapan kau akan membisu?" Azka membuka suara, Sabrina diam tanpa bergeming.

"Kau tahu, ketika aku berusaha menyembuhkan hati ku, di pencara suci, desiran sahdu suara di pagi hari, ayat-ayat suci di baca para santri, ketika embun sudah menguap sekitar jam 6 pagi Kyai dengan kedisiplinannya dengan keiklasanya, membacakan kitab kuning. Aku hanya mendengarkan kalau tidak salah nama kitabnya Ihya'ulummudin, kitab fenomenal ciptaan Imam Al-Gazali. Ternyata menghidupkan agama mudah dan ada susahnya, aku belajar banyak hal di pondok. Menghargai sesama padahal aku sudah tua dan tidak bisa apa-apa. Namun Kiai sanjang(berkata) tidak ada kata terlambat untuk mencari ilmu. Sekarang aku membawamu, aku hanya ingin tahu perasaanmu kepada ku. Jika kau diam aku akan setia menunggu jawabanmu. Aku terbiasa menunggu, aku mencintaimu lahir batinku, kau maskapai yang selalu terbang mengitari fikiran dan hatiku, jujur Sabrina aku memang pengecut karena tidak menyatakan perasaanku dari awal, Sabrina ... aku sangat mencintaimu." kata Azka penuh harap menatap Sabrina. Sabrina tetap memalingkan wajahnya. Bulir bening menetes dari kelopak mata Azka.

Sabrina tak bergeming, panggilan pesawat akan segera lepas landas Azka mendorong Sabrina. untuk masuk pesawat.

"Kau spesial, terindah, jangan sia-siakan aku. Aku tidak akan berhenti, sampai kapanpun aku akan tetap mencintai kamu, walau kamu terus menolakku," bisik Azka. Mereka masuk ke awak kabin pesawat.

"Aku sudah menolakmu." Jawaban kasar Sabrina.

"Aku tahu tapi bilang aja, cinta jangan pura-pura benci," sahut Azka. " Maaf." Azka menggendong mendudukkan Sabrina di kursi penumpang. Lalu memakaikan sabuk pengaman. Sabrina membisu. Azka duduk di samping Sabrina, Sabrina menghadap ke luar kaca. Azka menatapnya.

"Jika kau tetap masih menolakku dan tetap hidup dengan Andre, apa kau tidak berfikiran jika kau sebagai pengganggu hubungannya nanti?" tanya Azka ingin tahu. Pesawat mulai naik perjalanan yang di tempuh satu jam lebih lima menit dari Seoul ke Jeju.

"Ini salah Andre, sudahlah. Memang kau siapa ku. Aku terpaksa karena kau paksa." Ketus Sabrina, sama sekali tidak melihat Azka.

"Aku tidak menyangkau kau sekeras ini Sabrina, jika kau juga mencintaiku, tolong jangan siksa aku," tegur Azka, menatap penuh harap.

"Aku tidak mencintaimu," jelas dan tegas dari Sabrina. Azka memejamkan mata dan membuang nafas berat.

"Lihat hujan pun turun, semakin deras semakin lebat, itulah titik airnya sebanyak itulah cinta ku untuk mu...

Kau pemilik hatiku. Aku hanya ingin setia. Jadi terimalah oh cinta ku, jangan kau patahkan hati ku. Awas nanti jatuh cinta, cinta kepada diriku, jangan-jangan kau jodohku. Harusnya ku yang di sana, dampingimu dan bukan Andre. Kau selalu konyol Azka."

Azka merayu dengan nyanyian dari band Wali sampai Armada dan beberapa judul yang dijadikan satu, yang dia susun sendiri. Sabrina tidak menggubrisnya. Azka diam dalam pejaman matanya.

"Sakit..." Azka merintih dengan suara pelan tapi menyiksa. Sabrina tetap dalam diamnya dia berusaha tidak mempedulikan Azka.

"Ya Allah ...." Entah kepalsuan atau beneran desahan nafas Azka yang terlihat sesak.

"Eh ... huft ... eh ... huft ...." mengambil membuang nafas.

"Bagaimana kau akan merawatku," keluh Sabrina tiba-tiba.

"Aku baru dengar pesawat ngomong lho!" Gurau Azka garing.

"Aku tidak akan mengekangmu, tapi aku akan jadi bayanganmu, itu keputusanku," lanjut Azka, ia kembali memejamkan mata.

"Allah memberi banyak kenikmatan, apa kau mensyukuri tanganmu yang bisa menciptakan lukisan indah dan berharga. Kau lebih berharga dari apa pun merah jambu. Aku punya hati dan itu yang ku yakini, sampai saat ini aku yakin suatu saat aku akan memiliki cintamu. Kau awak kabin di hati ku." Azka tersenyum sambil menoleh ke Sabrina, senyum tampan pemikat hati namun rayuannya tidak membuat Sabrina luluh.

"Ah ... Ya Allah, aku terbiasa bicara sendiri, tabahkanlah hati yang mendengar ucapanku, karena aku sadar aku sangat menyebalkan. Apa kau terlalu dan sangat membenciku?" Azka lanjut bertanya. "Kau diam mematung.

Heh ...." Wajah Azka sangat sedih, berbagai cara ia lakukan untuk gadis yang di cintainya.

"Aku menyerah tapi aku bertindak. Kau tahu apa itu rindu? Tanya, ku jawab sendiri, rindu sesuatu yang menyiksa batin. Bagaimana cara aku meyakinkanmu. Heh aku memang konyol dan bodoh." Azka merunduk ia tersiksa oleh diamnya Sabrina.

Sabrina menghapus air matanya.

"Aku tidak mau menyiksamu dengan keadaanku, tolonglah ... mengerti. Huft ... Aku sakit dengan semua ini. Aku tersiksa, aku harus bagaimana. Aku tidak mau membebani orang yang menyayangiku, Hiks, hiks. Aku juga mencintaimu tapi dulu, setelah terbiasa dengan Andre aku mulai mencintanya." Ungkapan Sabrina yang mencenhangkan hati Azka, Azka masih yakin kalau Sabrina mencintainya. Azka berfikir sejenak.

"Kau mencintai Andre, aku akan mengembalikan kamu, jika Andre juga mencintaimu. Aku hanya ingin kau bahagia Sabrina, setelah liburan ini jika Andre mengakui perasaannya, aku akan melepasmu. Tapi aku tidak janji." Jawaban tegas Azka, sebagai lelaki sejati dan cintanya yang sejati.

Walau tidak memiliki cintanya, asal dia orang yang di cintainya bahagia itu lebih dari cukup untuk Azka.

"Izinkan aku menjadi temanmu selama ada di Jeju. Sebisa ku akan ku buat kau nyaman dan bahagia. Biidnillah (Dengan izin Allah)" jelas Azka lalu tersenyum menghilangkan jejak beban hatinya.

'Hati ku pedih, bukan karena cabe, tapi kaerna pengakuanmu. Aku akan menuruti mu merah jambu. Yang penting kau bahagia,'

"Aku sudah nyaman kau mulai terbuka, terima kasih. Kita sampai Jeju, tersenyumlah! Kalau cemberut duniaku terasa terhenti. Ah ... glodak glodak, au jatuh dari kehaluan. He ... Aku tidak tahu ngomong apa, mungkin aku terlalu membosankan." Senyum Azka lalu bermuka datar. "Dari dulu aku sadar diri." Terusnya, Sabrina membuang muka tapi terbisit sedikit senyum di wajahnya.

"Apa kau tahu?" tanya Azka tiba-tiba.

"Apa?" Sabrina menghadap Azka, Azka melihat ke atas.

"Aku pernah berfikir bagaimana jika barang di atas kita jatuh, aduh bukan cinta tapi ransel yang berat. Huh sakit pasti ya ... bayangkan saja, Ah kenapa aku omong tidak penting, kenapa aku memberi tahu mu, jika kehaluanku mulai menjalar dasar konyol." Azka menghina dirinya.

"Dari dulu!" sahut cepat Sabrina.

Mereka saling senyum.

Pesawat mendarat di Bandara Internasional Jeju Korea selatan.

Bersambung.