Happy reading ❤
Gladys menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah megah yang terlihat sepi itu. Kemarin Pramudya menelponnya dan mengatakan ingin bertemu sebelum berangkat ke Malaysia.
Seorang pelayan wanita setengah baya mengantarkannya ke halaman belakang yang luas. Di sana, di bawah sebuah gazebo mungil dilihatnya Pramudya duduk sambil menikmati segelas minuman hangat.
"Assalaamu'alaykum om Pram."
"Wa'alaykumussalaam," Pram meletakkan buku yang sedang dibaca. Gladys melihat sekilas judul buku itu. Salah satu buku kesukaan papinya yang sepertinya juga kesukaan Pramudya. "Kamu sendiri kesininya, Dis?"
"Iya om. Kebetulan Endah sedang ada pekerjaan di kantor."
"Kamu mau minum apa? Yang dingin atau yang panas? Atau mau minum jamu seperti ini?" tanya Pramudya setelah memanggil wanita setengah baya tadi.
"Yang dingin saja om. Pekerjaan hari ini ditambah persiapan pernikahan membuat kepala ini panas."
"Dis, bagaimana persiapan pernikahanmu?"
"Alhamdulillah lancar, om. Adis kesini sekalian mau menyampaikan undangan untuk om Pram dan om Agus." Pramudya menatap Gladys sehingga membuat Gladys salah tingkah.
"Kamu bahagia, Dis?" tanya Pramudya hati-hati.
"Kok om begitu nanyanya?" Gladys balik bertanya. "Insyaa Allah Adis bahagia."
"Maafkan anak om yang bodoh itu, ya. Om nggak mengerti kenapa dia lebih memilih wanita itu. Padahal jelas-jelas ada kamu yang siap menerima dia apa adanya."
"Nggak pa-pa om. Mungkin kami memang nggak berjodoh. Walau Adis mencintai dia, tapi Adis nggak bisa memaksa dia untuk balik mencintai. Sekarang Adis harus berusaha mencintai Lukas, pria yang jelas-jelas mencintai Adis."
"Seandainya saja kamu bertemu Banyu jauh sebelum dia bertemu wanita itu. Mungkin saat ini rumah ini ramai dengan persiapan pernikahan Banyu dengan kamu." Gladys tersenyum mendengar ucapan Pramudya. Ada yang terasa sakit di sudut hatinya bila mengingat bagaimana Banyu lebih memilih Senja. Namun ia juga tak mau memaksakan perasaannya pada Banyu.
"Om akan segera sembuh. Banyu akan segera kembali kepada wanita yang dicintainya dan rumah ini akan ramai dengan persiapan pernikahan Banyu. Om harus berpikir positif supaya cepat pulih dan kembali memperjuangkan cinta tante Ami."
"Kamu ini sok tahu. Kata siapa om mau kembali pada Ami?" tanya Pramudya sambil terkekeh.
"Om lupa ya kalau waktu itu pernah cerita ke Adis kalau om masih sangat mencintai tante Ami. Om dan Banyu sama saja. Susah move on dari wanita yang pernah dicintai." Pramudya tergelak mendengar ucapan Gladys.
"Walaupun om masih mencintai Ami, tapi om nggak yakin dia mau kembali kepada om."
"Perjuangkan dong, Om! Wanita senang lho kalau diperjuangkan."
"Itukah alasanmu menerima Lukas?" Tiba-tiba Pramudya mengajukan pertanyaan singkat yang mampu membuat perasaan Gladys tertohok. "Karena dia memperjuangkan cintamu."
"Entahlah. Mungkin memang itu yang membuat Adis menerimanya. Yang pasti Adis melihat dia tulus mencintai Adis."
"Om tahu kamu mengorbankan dirimu agar Banyu mau berbaikan dengan om." Ucapan Pramudya membuat Gladys terkejut. Ia tak menyangka Pramudya akan mengetahui hal tersebut.
"Ah, jangan bilang itu pengorbanan om. Memang momennya pas banget buat Adis untuk move on dari anak om yang bodoh itu." Gladys memaksakan dirinya tertawa mengingat hal tersebut. Masih terasa pedihnya bila ia mengingat bagaimana saat ia memutuskan untuk berhenti berharap kepada Banyu.
"Om harap kamu bisa bahagia dengan pria yang mau memperjuangkan cintamu. Walau om juga merasa sedih karena tak bisa menjadikan kamu menantu om."
"Insyaa Allah, om. Doain ya. Adis harap om bisa hadir di pernikahan nanti. Kehadiran om dan keluarga memiliki arti penting untuk Adis."
"Om mohon maaf, sepertinya om nggak bisa hadir. Besok om harus berangkat ke Malaysia untuk melanjutkan treatment." Gladys manggut-manggut namun dari wajahnya terlihat dia kecewa.
"Kamu jangan kecewa. Insyaa Allah kalau om sehat, om akan mampir ke rumah pengantin baru." Gladys tersenyum mendengar janji Pramudya.
"Janji ya om."
"Insyaa Allah. Kamu makan malam disini ya?" pinta Pramudya. "Si Iroh hari ini masak ikan bakar dan karedok. Kamu doyan kan? Om malas makan sendirian. Si Agus dan Nungki malam ini menginap di rumah orang tuanya Nungki. Daffa tadi minta menginap di rumah Ami."
"Lho, kalau begitu om malam ini sama siapa?"
"Katanya nanti Banyu mau kesini. Tapi belum tau jam berapa."
"Adis pamit pulang saja deh, om." Gladys buru-buru bangkit dari kursi.
"Kenapa buru-buru pulang? Kamu nggak mau makan malam terakhir sama aku?" Terdengar suara maskulin dari arah belakang Gladys. Tubuh Gladys mematung mendengar suara itu. Suara yang berusaha ia lupakan.
"Lho Nyu, kok sudah sampai? Katanya baru nanti malam kamu kesini," tanya Pramudya. Banyu mendekati Pramudya dan mencium punggung tangannya.
"Kebetulan hari ini nggak ada pekerjaan yah. Tadi pagi sudah ke kios." Banyu menarik kursi dan dengan santai duduk di samping Gladys.
"Om, Adis pamit ya. Sudah ada mas Banyu yang akan menemani om makan malam." Gladys hendak melangkah saat lengannya ditahan oleh Banyu.
"Kamu tega menolak permintaan ayah? Kalau begitu, biar Banyu masuk ke kamar dulu supaya ayah bisa makan malam bersama Gladys." Kali ini Banyu melepaskan lengan Gladys dan melangkah menuju ke dalam rumah.
"Mas....," panggil Gladys ragu-ragu. "Biar aku saja yang pulang. Kalau menunggu kami selesai makan malam, mas akan kelaparan."
"Sudah.. sudah.. kalian nggak usah berdebat lagi. Kalian berdua temani ayah makan malam. Ayah senang kalau banyak yang menemani makan malam. Nak Adis, nggak papa ya makan malam sama Banyu. Lagipula ini pertemuan terakhir kalian sebelum kamu menikah. Om yakin Lukas nggak akan marah kalau tau kamu menemani om makan malam."
"Tapi om, mungkin Banyu akan merasa tidak nyaman dengan kehadiran Adis disini," ucap Gladys pelan sambil menundukkan kepalanya.
"Benar Nyu? Kamu nggak nyaman dengan kehadiran dia?" tanya Pramudya. "Om rasa Banyu nggak akan keberatan. Malah kelihatannya dia senang bisa ketemu kamu. Besok om dan Banyu akan berangkat ke Malaysia. Anggaplah ini makan malam perpisahan."
"Banyu nggak keberatan kok, Yah."
"Tuh, kamu sudah dengar sendiri kan jawaban Banyu. Ayolah calon pengantin, temani om makan malam ya? Apa perlu om mengundang calon suamimu untuk makan malam bersama disini?" tawar Pramudya.
"Nggak usah om. Mas Lukas sedang ada seminar di luar negeri." jawab Gladys cepat. "Baiklah Adis akan makan malam disini."
⭐⭐⭐⭐
"Bagaimana makan malamnya Dis? Semoga masakan Iroh sesuai dengan selera kamu."
"Enak kok om. Masakan bi Iroh nggak mengecewakan."
"Nyu, kamu sudah bilang sama ibumu tentang rencana ayah?"
"Rencana membukakan toko kue untuk ibu? Sudah. Tapi kayaknya ibu belum mau deh, Yah. Ibu bilang nggak mau berhutang budi sama ayah," jawab Banyu setelah menghabiskan minumannya. Dengan refleks Banyu menyorongkan gelasnya ke hadapan Gladys, yang menatapnya heran.
"Itu tandanya Banyu mau kamu mengisi gelasnya," bisik Pramudya yang duduk di sebelah Gladys.
"Ooh.." Gladys mengambil gelas Banyu dan mengisinya kembali. Kebetulan pitcher air terletak di dekatnya. "Bilang dong kalau minta diisiin. Kebiasaan buruk banget nggak minta tolong. Kasihan banget yang nanti jadi istrinya. Harus melayani suami model dia, yang maunya dilayani terus."
"Itu memang tugas istri. Kamu lupa apa yang ibu pernah bilang waktu kita makan di rumah?" ucap Banyu tak mau kalah. "Kasihan Lukas dapat calon istri kayak kamu yang nggak mengerti apa tugas istri."
"Kok kamu malah ngomong begitu? Kata siapa mas Lukas rugi dapat istri kayak aku? Aku cantik, pintar....
"Iya, tapi nggak bisa pekerjaan rumah tangga. Nggak ngerti gimana melayani suami." Potong Banyu sambil.tersenyum meledek. "Oh ya, makasih ya gelasku sudah diisi sama kamu. Kalau kamu jadi istriku pasti aku akan ajarin kamu."
"Idih, siapa juga yang mau jadi istri kamu. Kan kamu nggak cinta sama aku. Sana kamu menikah sama mantan kamu saja!" balas Gladys sengit. Pramudya tergelak melihat perdebatan keduanya.
"Sudah.. sudah.. kalian kayak anjing dan kucing saja. Berantem melulu. Sebenarnya kalian cocok lho kalau menikah. Saling melengkapi."
"Waah... Adis nggak mau deh menikah sama dia yang mintanya dilayani melulu. Makan minum saja nggak bisa ambil sendiri. Maunya diambilin. Memangnya dia cacat?!"
"Aku juga nggak mau menikah sama cewek yang nggak bisa goreng tempe dan nggak bisa mencuci piring."
"Nyu, sudahlah kamu jangan meledek nak Adis terus. Kasian dia. Lihat tuh dia sudah mau menangis," Pramudya berusaha melerai keduanya. Banyu tergelak melihat wajah cemberut Gladys. Wajah yang masih sering membuatnya gemas.
"Maaf ya, princess. Aku cuma bercanda kok. Sudah lama nggak godain kamu. Selamat ya buat kalian. Lukas pria beruntung yang bisa mempersuntingmu," ucap Banyu setelah tawanya mereda. "Kamu nggak usah pikirin kata-kataku tadi, ya."
"Dih ge-er. Siapa juga yang mau mikirin kata-kata kamu," sahut Gladys judes. Sekali lagi Pramudya tergelak melihatnya. "Maaf ya om, anak om yang bodoh ini selalu berhasil membuat Adis mengeluarkan sifat jelek."
Banyu hanya tersenyum sambil menatap wajah Gladys. Mungkin ini terakhir kali aku bisa memandang wajahmu, princess. Aku hanya bisa mendoakan, semoga kamu bahagia bersamanya.
"Om senang kamu mau makan malam disini. Suasana rumah ini menjadi lebih ceria, walaupun hanya diisi oleh suara kalian berdebat. Membuat om teringat pada ibunya Banyu. Dulu dia selalu melayani om dan selalu menurut pada om. Memang om yang kurang bersyukur, akhirnya om harus kehilangan Ami."
"Om nggak usah bersedih. Kan om tetap bisa bertemu dengan ibu walau kalian saat ini tidak bersatu. Tapi siapa tahu kalau om mau berjuang, ibu akan luluh hatinya dan mau kembali sama om Pram. Ingat om, wanita menyukai pria yang mau memperjuangkan cintanya pada wanita yang tepat."
Gladys mengucapkan kata-kata terakhir sambil melirik sinis pada Banyu. Betapa terkejutnya Gladys saat mengetahui bahwa Banyu sedang menatapnya dengan intens. Ia pun buru-buru mengalihkan pandangannya. Pramudya yang melihat hal itu hanya tersenyum simpul. Dasar Banyu bodoh, makinya dalam hati. Sudah tau masih ada rasa, kok malah dilepas.
"Om, terima kasih ya makan malamnya. Adis mau pamitan pulang, biar om bisa istirahat. Besok pesawat jam berapa om?"
"Besok kami berangkat dengan pesawat siang. Ngapain nanya-nanya? Mau antar ke bandara?" tanya Banyu.
"Dih... ngarep banget. Minta antar saja sama calon istri kamu!" sahut Gladys judes. Calon istrimu. Kenapa hatiku masih terasa sakit mengatakan hal itu padanya, batin Gladys.
"Kalau kamu mau antar juga nggak papa. Nggak bakal ada yang marah kok." ucap Banyu santai. "Calon suami kamu juga masih di luar negeri kan?"
"Om, Adis pamit ya. Lama-lama disini tensi Adis bisa naik gara-gara menghadapi manusia absurd ini." Tunjuk Gladys dengan dagunya. Lagi-lagi Pramudya tertawa melihat kelakuan dua anak muda di hadapannya.
"Kamu nggak papa pulang sendiri? Ini sudah hampir jam 9 malam lho."
"Nggak papa Om. Adis sudah biasa kok menyetir malam-malam.
"Biar diantar oleh Banyu ya?"
"Eh, nggak usah om. Biar Adis pulang sendiri."
"Beneran nih nggak mau diantar sama mantan?" goda Banyu. Ia sangat menikmati wajah cemberut Gladys.
"Siapa mantan siapa? Ih, nggak jelas banget sih."
"Oh iya, sebelum kamu pulang aku mau ajak kamu ke kamarku."
"Ngapain ajak-ajak aku ke kamar kamu? Jangan aneh-aneh ya," tanya Gladys curiga.
"Pikiranmu yang kotor princess. Mentang-mentang kamu sudah mau nikah, pikirannya jadi mesum."
"Ih, siapa juga yang mesum. Jangan sembarangan menuduh deh."
"Aku mau kasih lihat sesuatu ke kamu. Aku janji nggak bakal aneh-aneh sama kamu. Beneran." Banyu berusaha meyakinkan Gladys yang masih menatapnya curiga. Gladys menoleh ke arah Pramudya.
"Kalau kamu khawatir biar Si Nia menemani kalian. Om jamin Banyu nggak akan berani aneh-aneh sama kamu."
Tak lama kemudian keduanya sudah berada di dalam kamar Banyu. Nia, sang asisten rumah tangga disuruh menunggu di depan kamar yang pintunya terbuka.
"Princess, coba kamu lihat foto ini." Banyu menunjukkan foto saat mereka berlibur di vila milik Praditho.
"Lho, itu kan foto waktu liburan di vila. Kok mas Banyu bisa punya foto ini?" Gladys menatap tak percaya foto yang ditunjukkan Banyu.
"Coba kamu perhatikan foto itu baik-baik." Gladys memperhatikan dengan seksama foto tersebut. Tak lama ia terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya. Nia yang berada di luar kamar ikutan terawa walau tak mengerti apa yang ditertawakan.
"Itu kan foto aku waktu berebut jagung bakar dengan teman bang Gibran.... wait... wait.... jangan bilang ini kamu.." Gladys menatap Banyu tak percaya. Banyu tersenyum jahil persis seperti foto lama itu. "Astagaaa... ini beneran kamu mas? Jadi dulu itu teman bang Gibran yang sering bikin aku kesal tuh kamu? Pantas saja sampai sekarang kita nggak akur."
"Ternyata dari dulu kita sudah terhubung. Sayang aku saat itu belum menganggap keberadaan kamu. Seandainya saja..."
"Mas, nggak usah dibahas lagi masa lalu itu. Kamu sudah bersama dia dan aku pun sebentar lagi akan menikah dengan Lukas. Biarkan semua itu menjadi kenangan. Aku berjanji pada Lukas akan melupakanmu."
Tiba-tiba Banyu menarik Gladys ke dalam pelukannya. Gladys hendak melepaskan diri namun tubuh Banyu yang besar seolah menenggelamkannya di dalam pelukannya.
"Biarkan aku memelukmu sebentar sebelum kita benar-benar berpisah." Entah mengapa, pelukan Banyu masih memberikan kenyamanan untuk Gladys. Ia pun tak melawan lagi namun ia tak membalas pelukan Banyu.
"Maafkan aku princess karena telah menyakiti hatimu. Kuharap kamu akan bahagia bersamanya. Terima kasih karena sudah hadir dalam hidupku dan membuat hubunganku dan ayah membaik. Bukan hanya aku yang merasa bersyukur dengan kehadiranmu, tapi juga ibu, ayah dan adik-adikku. Walau hati kecilku terus berbisik bahwa ada bagian darinya yang merasa belum siap kehilangan dan menjauh darimu." Banyu mengurai pelukannya dan mengecup kening Gladys yang masih terus diam tak bereaksi.
"Terima kasih untuk kata-katamu tadi, mas. Walau aku yakin kamu mengatakan hal terakhir itu hanya sebagai basa-basi. Kuharap kamu juga bisa berbahagia dengan Senja." Kali ini Gladys benar-benar melepaskan diri dari Banyu. Walau ia merasakan hal yang sama, tapi ia tak ingin merenggut kebahagiaan Banyu dan Senja. Biarlah kujemput kebahagiaanku sendiri, batinnya.
⭐⭐⭐⭐