webnovel

MENGEJAR CINTA MAS-MAS

Gladys Mariana Pradito "Sudah deh mi... aku tuh bosen dengar itu lagi itu lagi yang mami omongin." "'Makanya biar mami nggak bahas masalah itu melulu, kamu buruan cari jodoh." "Santai ajalah. Aku kan baru 24 tahun. Masih panjang waktuku." "Mami kasih waktu sebulan, kalau kamu nggak bisa bawa calon, mami akan jodohkan kamu dengan anak om Alex." "Si Calvin? Dih ogah, mendingan jadian sama tukang sayur daripada sama playboy model dia." **** Banyu Bumi Nusantara "Bu, Banyu berangkat dulu ya. Takut kesiangan." "Iya. Hati-hati lé. Jangan sampai lengah saat menyeberang jalan. Pilih yang bagus, biar pelangganmu nggak kecewa." "Insya Allah bu. Doain hari ini laku dan penuh keberkahan ya bu." "Insya Allah ibu akan selalu mendoakanmu lé. Jangan lupa shodaqohnya ya. Biar lebih berkah lagi." "Siap, ibuku sayang." **** Tak ada yang tahu bahwa kadang ucapan adalah doa. Demikian pula yang terjadi pada Gladys, gadis cantik berusia 24 tahun. Anak perempuan satu-satunya dari pengusaha batik terkenal. Karena menolak perjodohan yang akan maminya lakukan, dengan perasaan kesal dan asal bicara, ia mengucapkan kalimat yang ternyata dikabulkan oleh Nya.

Moci_phoenix · perkotaan
Peringkat tidak cukup
108 Chs

MCMM 69

"Aku sedang berusaha melupakan perasaanku padanya, walau aku tahu itu pasti nggak mudah."

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading ❤

"Nyu, gue mau ngomong sama elo." Mila mengampiri Banyu yang sedang memeriksa makalah mahasiswa.

"Ada apa sih? Kok muka lo serius banget? Jelek tau!"

"Lo liat ini." Mila memperlihatkan foto di ponselnya.

"Elo hamil?" tanya Banyu. "Selamat ya."

"Dasar bego. Ngapain gue laporan sama elo kalau gue hamil. Laki gue bukan, bapak gue bukan." sungut Mila kesal.

"Terus ini hasil testpack siapa?" Mila tak menjawab. Banyu menatap Mila tak percaya. "Senja?"

"Senja tadi malam kirim ini ke gue." Mila menarik kursi berhadapan dengan Banyu. "Hari ini dia akan ke dokter kandungan."

"Awan sudah tahu?" Mila menggeleng.

"Jam berapa Senja ke dokter?"

"Kalau nggak salah nanti jam 5an dia ada janji temu dengan dokter. Dia minta ditemani sama gue."

"Biar gue yang menemani dia."

"Jangan gila lo, Nyu! Apa pendapat orang kalau lihat elo antar Senja ke dokter kandungan?! Gimana kalau anak buahnya Awan lihat kalian pergi berdua?"

"Gue harus menemani dia, Mil."

"Nyu, dia bukan siapa-siapa lo. Senja cuma mantan. Ingat itu. MANTAN. Nggak lebih."

"Saat ini dia memang cuma mantan gue, tapi dalam waktu dekat gue yakin dia akan menjadi istri gue."

"Oh c'mon Nyu. Jangan naif gitu lah. Dia itu belum cerai dengan Awan. Dan elo juga pasti tahu kalau proses perceraian itu nggak sebentar. Lo yakin mau nunggu sampai prosesnya selesai? Dan apa elo yakin Awan bakal melepas Senja kalau tahu istrinya sedang hamil?" ucap Mila gusar.

"Gue akan menunggu sampai proses perceraian mereka selesai."

"Nyu, bukan cuma Awan yang akan mempertahankan Senja, tapi juga om Gilang. Lo tau kan kalau Awan satu-satunya anak lelaki om Gilang Danudirja? Om Gilang pasti akan mengusahakan segala sesuatunya untuk mempertahankan penerus nama keluarganya."

"Gue yakin Senja nggak menginginkan anak itu, Mil. Elo nggak lupa kan bagaimana Awan telah memperkosa istrinya sendiri?"

"Iya gue tau itu. Sampai saat inipun gue masih nggak terima Awan melakukan hal itu terhadap Senja. Tapi menurut gue, kehadiran lo di samping dia saat ini sama sekali nggak menolong dia. Kehadiran lo saat ini hanya akan memperburuk situasi yang dihadapi Senja."

"Tapi Mil, dia pasti membutuhkan seseorang untuk menghadapi kehamilannya ini."

"Gue ngerti, tapi orang itu bukan elo. Lagipula apa elo tetap mau menerima Senja dan anaknya? Ingat, anak dalam kandungan Senja adalah seorang Danudirja."

"Iya gue tahu itu dan sampai kapanpun gue nggak akan melupakan hal itu. Lagipula ngapain elo ngasih tau gue soal kehamilan Senja kalau pada akhirnya gue nggak bisa bantu apapun? Percuma lo kasih tahu gue kalau akhirnya elo melarang gue."

"Dasar b**o, gue ngasih tahu hal ini biar mata lo terbuka. Biar elo nyadar bahwa kemungkinan elo balik sama Senja itu kecil, Nyu."

"Nggak ada yang nggak mungkin, Mil."

"Tau ah. Lama-lama malas gue temenan sama elo. Terserah elo mau gimana. Yang pasti gue nggak terlalu setuju elo balikan sama Senja. Walaupun gue tahu banget kalian berdua masih saling suka. Tapi dengan adanya bayi di perut Senja, situasi berubah."

"Nggak ada yang berubah. Gue tetap akan menunggu dia. Gue mau kok menerima anak itu sebagai anak gue kelak. Buat gue anak itu adalah anak Senja. Bukan anak Awan."

"Nyu, kenapa elo nggak melanjutkan hubungan lo sama Gladys?"

"Karena gue masih mencintai Senja."

"Apakah elo akan tetap mencintai Senja kalau ternyata dia kembali pada Awan?" Banyu mengangkat bahu tan peduli. "Gue yakin Senja akan memilih kembali sama gue daripada rujuk sama Awan."

"Terserah elo deh. Dari dulu elo tetap keras kepala. Susah dikasih taunya." Mila meninggalkan Banyu yang mendadak pening karena berita yang dibawa Mila.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Keningnya berkerut melihat nama yang muncul. Princess. Ada apa, sudah lama rasanya sejak terakhir Gladys menelponnya. Sejak ia pertama ikut mengunjungi Pramudya, mereka sudah sangat jarang bertukar pesan. Walaupun mereka beberapa kali bersama-sama berkunjung ke rumah Pramudya, itupun Nabila atau Aidan yang mengajak. Biasanya mereka akan bertemu di depan rumah Pramudya.

Sebenarnya hati kecil Banyu merindukan Gladys. Ia merindukan saat-saat mereka berdebat, saat-saat melihat Gladys bertingkah seperti anak kecil. Hal yang kini sangat jarang terjadi. Mereka memang beberapa kali bertemu, namun jelas terasa seolah ada dinding tinggi di antara mereka. Banyu tak bisa menyalahkan Gladys, karena sebenarnya gadis itu menepati janjinya untuk tak lagi mengejarnya. Perlahan gadis itu mulai menjauhi dirinya namun tidak menjauhi keluarganya. Bahkan kedua adiknya sering mengunjungi Pramudya bersama Gladys.

"Assalaamu'alaykum Princess.. eh maaf Dys." Mungkin bila ada alat untuk mengukur kerinduan, maka level kerinduan Banyu kepada Gladys berada di level medium.

"Wa'alaykumussalaam. Mas dimana?" Terdengar nada panik di suara Gladys.

"Aku lagi di kampus. Ada apa Dys? Kok kayaknya kamu panik banget."

"Mas.. om Pram mas.. om Pram collaps di rumah. Om Agus dan tante Nungki lagi antar dek Daffa ke dokter karena dari malam demam. Di sini cuma ada aku dan dek Bila. Aku harus gimana?" Suara Gladys terdengar panik. Banyu terkejut mendengar penjelasan Gladys.

"Tenang Dys.. tenang... apakah kamu diantar pak Dudung?"

"Nggak. Aku bawa mobil sendiri."

"Hmm.. di situ ada security kan? Kamu panggil security, minta tolong angkat ayah ke dalam mobil. Kamu dan dek Bila langsung bawa ayah ke rumah sakit. Aku akan coba telpon om Agus untuk menghubungi dokternya."

"Tapi mas... aku nggak bisa..."

"Bisa! Kamu pasti bisa. Kamu dan dek Bila adalah wanita-wanita hebat. Kalian pasti bisa membawa ayah ke rumah sakit. Nanti kita ketemu di rumah sakit. Karena kalau menungguku datang, pasti akan lebih lama." Terdengar isak Gladys. Ya Allah, apa dia sanggup melaksanakan yang kuperintahkan? tanya Banyu dalam hati. Aku khawatir terjadi sesuatu saat dia menyetir dalam kondisi seperti ini.

"Hiks.. hiks... gimana kalau om Pram nggak tertolong?"

"Ssshh... kamu jangan berpikir seperti itu. Sekarang saatnya bertindak cepat untuk menyelamatkan dia. Aku yakin seyakin-yakinnya kalian, terutama kamu pasti bisa."

"Baiklah."

"Princess... hati-hati di jalan. Kita bertemu di rumah sakit ya."

Setengah jam kemudian Gladys sampai di depan rumah sakit. Untunglah Banyu dan Agus sudah tiba dan tim dari rumah sakit pun sudah siap. Tak sampai lima menit, Pramudya sudah dipindahkan ke brankar dan dibawa ke IGD untuk ditangani oleh dokter.

"Maaas... mas Banyu... ini kak Gladysnya.. " panggil Nabila panik.

Banyu yang tadinya mau mengikuti sang ayah terpaksa membatalkannya karena panggilan itu. Dilihatnya Gladys bersandar lemas sambil bertumpu pada mobil. Wajahnya terlihat pucat. Sementara itu Nabila berdiri di belakang Gladys menjaga supaya gadis itu tak jatuh. Buru-buru Banyu menghampiri Gladys dan langsung menahan tubuh Gladys tepat saat gadis itu mendadak menutup matanya.

"Kak Gladys...."

"Princess...." Itu kata terakhir yang sempat di dengar Gladys sebelum akhirnya ia terkulai lemah dalam pelukan Banyu.

⭐⭐⭐⭐

Ruangan putih bersih, cahaya lampu yang terang. Bau yang khas menerpa hidung Gladys saat ia membuka matanya.

Aah.. kepalaku pusing. Gladys menutup kembali matanya. Wajahnya tampak berkerut menahan sakit. Selama beberapa saat Gladys menutup matanya.

"Princess... kamu baik-baik saja?" terdengar suara seorang pria menyapanya dengan lembut. Saat itulah Gladys baru menyadari tangan kanannya dari tadi digenggam oleh seseorang.

Perlahan Gladys membuka matanya dan yang pertama dilihatnya adalah wajah Banyu yang terlihat cemas. Ah, sepertinya aku mimpi. Nggak mungkin ini kenyataan. Aku lebih baik tertidur agar mimpi ini tak berakhir.

"Princess, are you okay?" Banyu bertanya dengan lembut. Dari tadi perasaannya campur aduk saat melihat Gladys pingsan dalam pelukannya. Banyu mencium punggung tangan Gladys.

Ah, apakah ini mimpi? Nggak mungkin mimpi kalau aku bisa mencium aroma maskulin dia dan bahkan aku bisa merasakan bibirnya mengecup tanganku. Kalau memang ini hanya mimpi, tolong jangan buru-buru membangunkanku. Aku tak ingin mimpi ini berakhir. Hanya dalam mimpi aku merasa dicintai olehnya. Tapi mustahil juga ini kenyataan, karena nggak mungkin dia ada disini bersamaku. Seharusnya dia bersama Senja. Sedangkan aku saat ini sedang menemani Nabila mengunjungi om Pram.

Om Pram... OmPram!! Ya ampuun kok aku bisa melupakan beliau, Gladys tersadar. Buru-buru Gladys membuka mata dan hendak duduk. Tapi rupanya kali ini tubuhnya tak mau kompromi. Kepalanya mendadak pusing lagi.

"Kamu mau kemana?" Banyu buru-buru berdiri dan menahan tubuh Gladys untuk tetap rebahan.

"Om Pram.. om Pram bagaimana mas?" tanya Gladys panik. "Om Pram baik-baik saja kan? Aku harus menemani om Pram. Kasihan dek Bila kalau harus sendirian menemani beliau." Banyu menghela nafas kesal. Di saat seperti ini, masih saja dia memikirkan orang lain.

"Princess, tenang. Ayah baik-baik saja. Dia sudah ditangani oleh tim dokter."

"Aku mau menemani dek Bila. Kasihan dia sendirian menjaga om Pram."

"Princess!" Terpaksa Banyu menegur Gladys dengan keras.

"Kenapa sih mas?" tanya Gladys kesal. "Kamu kalau nggak mau menemani om Pram nggak papa. Biar aku dan dek Bila yang mene..... Mmphh..."

Banyu membungkam Gladys dengan bibirnya. Yang awalnya diniatkan untuk sekedar mengecup agar Gladys tak bicara, ternyata berubah menjadi ciuman intens yang manis. Keduanya terkejut namun sepertinya kerinduan mengalahkan akal sehat mereka.

"Emmhh.. maaf." Gladys hanya terdiam tak tahu harus berkata apa. Ia tak bisa memungkiri ia menikmati ciuman tadi.

"Bagaimana kondisi om Pram?"

"Dia sudah ditangani tim dokter. Untuk saat ini kondisinya cukup stabil."

"Mana dek Bila?"

"Dia lagi bersama om Agus menemani ayah."

Keduanya kembali terdiam. Tak tahu harus bicara apa. Suasana mendadak menjadi canggung.

"Princess.."

"Mas.."

Keduanya tertawa canggung karena bicara berbarengan.

"Princess, maafkan aku karena terbawa suasana. Aku tadi hanya bermaksud membuatmu berhenti bicara."

"Modus. Dulu juga begitu. Jangan-jangan memang itu cara kamu mendekati wanita. Setelah jatuh hati, lalu ditinggal."

"Dys, aku nggak bermaksud begitu. Aku hanya melakukannya sama kamu. Nggak ada wanita lain."

"Kecuali Senja. Oh iya aku lupa. Memang hanya Senja satu-satunya wanita di hatimu."

"Princess..."

"Oh ya, gimana aku bisa ada di kamar ini? Apa yang terjadi." Gladys mengalihkan pembicaraan.

"Tadi kamu pingsan setelah ayah dibawa oleh perawat. Wajahmu tiba-tiba pucat dan tubuhmu lemas."

"Oh.... Sekarang aku sudah baik-baik saja. Aku mau pulang. Nggak baik berlama-lama disini." Nggak baik untuk perasaan dan jantungku, batin Gladys.

"Tunggu Dys. Kamu nggak boleh kemana-mana sampai infus ini habis. Ini perintah dokter. Tadi tensi kamu rendah banget. Dek Bila juga bilang kalau hari ini kamu skip makan siang."

"Ah, aku nggak papa kok. Aku baik-baik saja. Kebetulan semalam kurang tidur."

"Apapun alasanmu, tolong jaga dirimu baik-baik. Jangan zholimi tubuhmu. Aku nggak mau melihatmu sakit seperti saat ini."

"Kamu nggak akan melihatku sakit lagi mas. Karena tak lama lagi kita mungkin nggak akan bertemu lagi. Aku yakin nggak lama lagi kamu akan kembali pada Senja."

"Dan kamu akan menikah dengan Lukas." Gladys hanya mengangkat bahu seolah diapun belum tahu akan bagaimana akhir hubungannya dengan Lukas.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan masuklah Lukas dengan terburu-buru menghampiri Gladys. Matanya menatap Banyu curiga. Banyu yang masih duduk di atas tempat tidur langsung berdiri dan menjauh.

"Sweetie, kamu nggak papa?" tanya Lukas panik sambil memeriksa apakah ada sesuatu yang mengkhawatirkan pada Gladys. Banyu memperhatikan dari jauh bagaimana Lukas mengkhawatirkan Gladys.

"Aku nggak papa, mas." Mendengar Gladya bicara dengan lembut kepada Lukas membuat Banyu merasa tak nyaman. Biasanya Gladys yang bicara seperti itu kepadanya.

"Tadi Ge yang mengabariku kalau kamu pingsan. Ge sedang menemui dokter Ruby, salah satu kolegaku disini. Ge melihatmu saat dibawa ke ruangan ini. Kamu ngapain disini?"

"Mas, nanyanya pelan-pelan. Aku nggak papa. Aku baik-baik saja. Kebetulan aku lagi mengantar orang tua temanku yang mendadak collaps di rumahnya tadi."

"Temanmu yang mana? Setahuku orang tua sahabat-sahabatmu nggak ada yang sakit." Lukas memandang tajam Banyu yang balas menatapnya. "Apakah dia temanmu itu?"

Banyu melangkah mendekati tempat tidur dan berdiri berseberangan dengan Lukas. Keduanya saling menatap dengan pandangan tajam dan saling menilai. Suasana saat ini seolah Gladys berada di antara dua ekor macan yang saling menilai kekuatan lawan. Tak ada satupun yang membuka suara.

"Mas," Gladys menyentuh lembut lengan Lukas, yang langsung menggenggam dan mencium punggung tangannya. Banyu memperhatikan itu semua. Tak bisa dipungkiri ia cemburu melihat bagaimana Gladys bersikap lembut pada Lukas. Dan bagaimana Lukas memandang Gladys dengan tatapan penuh cinta. Bahkan tatapan tajam yang dilemparkan Lukas kepadanya berubah menjadi lembut saat menatap Gladys.

"Mas, kenalin ini Banyu. Sahabat bang Gibran pas SMA." Keduanya masih saling menatap tajam sebelum akhirnya Lukas mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Banyu menyambut uluran tangan Lukas. Kali ini suasana kamar benar-benar terasa seperti akan terjadi perang tanding antar dua lelaki di kanan kiri Gladys.

"Banyu."

"Lukas, calon suami Gladys."

"Mas," tegur Gladys tak enak. Banyu hanya tersenyum sekilas mendengar Lukas memperkenalkan diri seperti itu. Ia teringat bagaimana dulu Gladys selalu memperkenalkan diri sebagai calon istrinya kepada teman-teman di kampus.

"Kenapa? Ada yang salah dengan itu? Minggu depan aku dan orang tuaku akan menemui keluargamu untuk melamarmu secara resmi. Kurasa sebulan terakhir ini kebersamaan kita cukup membuatmu bisa mengenalku. Aku nggak mau menunggu lebih lama lagi. Aku ingin sebelum akhir tahun ini kita menikah."

"Mas, kamu kok ambil keputusan sendiri sih? Kata siapa aku sudah mengenalmu?" balas Gladys tak suka.

" Kamu bisa mengenalku lebih jauh saat kita menikah nanti."

Banyu hanya diam memperhatikan percakapan keduanya. Rasa cemburu dan tak rela itu kerap muncul melihat bagaimana Lukas memperlakukan Gladys.

"Prin... Eh Dys, aku pamit dulu ya. Dek Bila dan om Agus pasti nyariin aku."

"Mas Banyu, tunggu..."

"Biarkan dia pergi menemui keluarganya. Ada aku yang menemanimu." potong Lukas. Tanpa banyak kata, Banyu keluar dari kamar itu diiringi tatapan Lukas dan Gladys.

Selamat tinggal Dys. Dia pria yang tepat untukmu, batin Banyu.

⭐⭐⭐⭐