webnovel

Mengejar Cinta Guru Tampan

Amaira adalah seorang gadis yang sangat bandel. Dia seringkali membuat masalah di sekolah hingga dikeluarkan dari sekolah. Kenakalan Amaira memang disengaja, karena dia hanya semata-mata ingin menarik perhatian kedua orangtua. Tapi semua kenakalan yang dilakukan Amaira hanyalah sia-sia. Bukannya mendapat perhatian dari orangtua, tapi dia malah dipindah orangtuanya ke desa. Di desa Amaira sangatlah senang, karena dia berfikir bahwa akan lebih bebas bertindak apapun yang dia inginkan saat jauh dari orangtua. Di desa Amaira bertemu dengan lelaki tampan yang ternyata adalah guru Amaira di sekolah yang baru. Amaira sangat mengagumi sosok guru tampan tersebut. Tapi sayang, guru tampan tersebut mempunyai pribadi yang sangat dingin dan cuek. Akankah Amaira bisa meluluhkan hati guru tampan itu? Atau malah frustasi karena cintanya ditolak? Baca kisah selengkapnya dinovel berjudul "MENGEJAR CINTA GURU TAMPAN"

Halima_Zahro · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
376 Chs

Sekolah baru

Aku mengendarai sepeda dengan diam. Sesekali meririk kearah sepion hanya ingin melihat Arkan. Sengaja Arkan menyuruhku berkendara didepan agar dia bisa mengawasiku dari belakang. Jika aku tak tau arah Arkan akan ngasih arah dari belakang dengan menyalakan lampu sennya.

Setelah sampai rumah kulihat Nenek berdiri didepan pintu sambil berkacak pinggang. Kulirik jam dipergelangan tanganku ternyata sudah jam setengah 12. Berarti aku tadi pergi sudah 2 jam. Jadi Nenek berdiri dan berkacak pinggang selama 2 jam? Nggak capek apa tu kaki dan tangan. Nenekku memang hebat. Nenekku pahlawanku. Hihi

Selesai memasukkan motor kedalam bagasi aku segera berjalan menuju rumah.

"Eh, Nenek? Berdiri disini sejak kapan Nek?" Dua jam yang lalu?" Tanyaku dengan mengedip-ngedipkan mataku agar Nenek tidak terlalu marah.

"Baru dua detik." Jawab Nenek cuek tanpa menyuruhku masuk kedalam rumah.

"Masa sih Nek? Padahal Amaira perginya selama dua jam loh." Ucapku tanpa rasa bersalah, yang seketika mendapat pelototan mata dari Nenek.

"Dari mana saja kamu? Kenapa keluyuran malam-malam?" Tanya Nenek mengintimidasi.

"Habis cari makan Nek. Amaira lapar." Ucapku masih berdiri didepan Nenek. Lama-lama pegel juga ya terus-terusan berdiri seperti ini.

"Terus makanannya mana?" Tanya Nenek sambil melihat kedua tanganku yang kosong.

"Nih, sudah masuk kedalam sini." Ucapku sambil mengelus perutku yang masih terasa sangat kenyang.

"Yaudah masuk sana." Akhirnya disuruh masuk juga. "ingat ya, Nenek memang suka dengan Arkan, Nenek juga bangga sama dia. Tapi Nenek nggak akan izinkan kamu pacaran dengannya." Tegas Nenek sambil menatapku tajam.

Kulihat manik mata Nenek, terlihat serius dengan apa yang dikatakan Nenek lewat sorot matanya. Kenapa Nenek tak mengizinkanku pacaran dengan Arkan? Bukannya Nenek sangat menyukai Arkan? Apa jangan-jangan Nenek juga cinta sama Arkan. Haaiiisss mikir apa sih.

Nenek melangkahkan kaki menuju kamarnya. Meninggalkan aku sendiri yang masih diam mematung di ruang tamu.

Fikiranku masih berkecambuk. Kenapa Nenek jadi berubah gitu saat tau aku habis keluar sama Arkan. Padahal kan sudah aku jelasin kalau tadi aku keluar cuma beli makanan doang. Tadi aja antusias banget pas nyeritain sosok Arkan. Nggak ada niatan menjodohkan Arkan denganku apa?

Segera kulangkahkan kakiku menuju kamar untuk tidur. Capek banget rasanya. Perut juga udah kenyang, pasti nanti tidur bisa sangat nyenyak.

***pagi hari

Aku bersiap-siap untuk masuk sekolah di sekolah baru. Ini hari pertama, aku harus lebih giat belajar dan sekolah agar bisa meluluhkan hati seorang Guru Tampan. Pak Guru Arkan, aku padamu. Hihi

"Ra, gue tunggu didepan ya?" Teriak Dini dari luar kamar.

"Iya, gue bentar lagi siap." Jawabku dari dalam.

Setelah semuanya sudah siap, aku segera melangkahkan kakiku untuk keluar rumah. Baru sampai ruang tamu aku mendengar suara Nenek sedang berbicara dengan seseorang.

"Amaira nanti berangkat bareng Dini, kamu duluan saja."

"Ya udah kalau gitu Arkan berangkat ya Nek?"

"Iya, hati-hati."

Itu suara Arkan yang bicara dengan Nenek, kenapa Nenek jadi berubah pikiran kayak gitu. Kemarin bilangnya aku disuruh berangkat bareng Arkan, kenapa sekarang Nenek menyuruh Arkan berangkat duluan. Ada yang nggak beres dengan Nenek.

Aku segera keluar rumah.

"Nek, Arkan sudah berangkat?" Tanyaku pada Nenek.

"Sudah barusan, katanya tadi sedang buru-buru." Jawab Nenek dengan expresi seperti menyembunyikan sesuatu.

"Nek, Amaira berangkat dulu ya?" Pamitku pada Nenek.

"Dini juga berangkat Nek." Dini mengikuti.

Setelah berpamitan dengan Nenek, aku dan Dini berangkat berboncengan. Aku menyuruh Dini untuk memboncengku. Karena sengaja aku ingin mengobrol dengan Dini.

"Din, tadi Arkan datang kerumah ya?" Tanyaku pada Dini.

"Iya, emang kenapa?" Jawab Dini, setelah itu bertanya balik.

"Lo, ingat nggak kemaren Nenek nyuruh kita berangkat bareng Arkan? Kenapa Nenek jadi berubah pikiran kayak gitu ya?" Lagi-lagi aku bertanya dengan Dini.

"Mana gue tau, itu kan Nenek lo. Lagian Nek Rita tadi juga berbohong. Padahal Arkan tadi mau ngajak bareng, eh disuruh berangkat duluan sama Nek Rita." Jawab Dini.

Kulihat dari jauh Arkan berhenti diperempatan jalan. Kenapa tu orang? Mogok mungkin motornya. Apa memang sengaja menungguku? Benar-benar calon suami idaman yang sedang menunggu calon istrinya. Jiiaahhhh

Tanpa aku suruh Dini segera menghentikan motor.

"Pak Arkan kenapa?" Tanya Dini.

Apa Dini bilang? Pak Arkan?

Oh iya. Arkan kan seorang Guru. Kenapa aku bisa lupa ya. Hihi

"Sengaja nungguin kalian. Takutnya nanti nyasar karena nggak tau jalan." Ucapnya sambil menyalakan mesin motornya.

"Kalau gitu Pak Arkan duluan saja, biar saya mengikuti dari belakang." Ucap Dini.

"Iya." Jawabnya datar sambil mulai menjalankan motornya.

Dini mengikuti Arkan dari belakang hingga sampai gerbang sekolah. Setelah sampai gerbang kami semua turun. Dini dan Arkan mendorong motor masing-masing keparkiran. Aku sengaja menunggu didepan perpustakaan, karena memang perpustakaan itu tempat yang paling dekat dengan parkiran. Tapi ada lagi sih tempat yang paling dekat dengan parkiran yaitu kamar mandi, masa iya aku harus nungguin di kamar mandi. Ogah banget.

Kulihat Arkan dan Dini berjalan menuju kearahku. Setelah sampai didepanku, Arkan masih melanjutkan langkah kakinya tanpa menghiraukan aku. Dini menyeret tanganku untuk mengejar langkah kaki Arkan dengan sedikit berlari, karena jarak kami memang sudah sangat jauh. Arkan berjalan begitu cepat, hingga sampai di ruang Guru.

"Disitu ruang kepala sekolah." Ucap Arkan dingin sambil menunjuk sebuah ruangan.

"Makasih, Pak Arkan." Ucap Dini yang hanya ditanggapi sebuah anggukan oleh Arkan.

"Dasar Es kutub." Lirihku yang langsung dapat tatapan tajam dari Arkan.

Segere aku masuk keruang kepsek untuk menghindari tatapan Arkan, takut juga sebenarnya. Hihi.

"Permisi Pak." Ucap Dini sambil masuk kedalam ruang kepsek, aku mengikuti dari belakang.

"Masuk." Ucap seorang pria yang kutaksir seumuran Papa. Mungkin orang ini kepseknya, soalnya hanya ada dia diruangan ini.

"Kalian Amaira dan Dini kan?" Tanya Pak Kepsek.

"Iya, Pak. saya Dini dan ini teman saya Amaira." Ucap Dini memperkenalkan. Aku hanya mengangguk, seolah membenarkan ucapan Dini.

"Silahkan duduk." Perintah Pak Kepsek. "Dini, Amaira, sebenarnya saya sudah tau masalah kalian di sekolah lama. Jujur, saya terpaksa menerima kalian karena Papa Amaira yang meminta. Saya nggak enak jika menolak, karena Papa Amaira itu adalah teman saya sekolah semasa dulu. Saya berharap kalian bisa berubah, rubah sifat buruk kalian ya." Ucap Pak Kepsek panjang lebar.

Aku dan Dini hanya mengangguk, karena merasa bersalah dimasa lalu. Hanya karena seorang cowok dan demi ingin mendapat perhatian orangtua kita berdua melakukan hal yang membuatku dan Dini dikeluarkan dari sekolah.

Benar-benar masa lalu yang buruk.

Setelah itu kami keluar dari ruang Kepsek diikuti Pak Kepsek dari belakang.

"Pak Arkan, tolong antarkan dua anak ini menuju kelasnya ya." Suruh Pak Kepsek.

"Iya, Pak." Ucap Arkan sambil mengangguk.

"Pak Arkan disini ngajar mata pelajaran apa?" Tanya Dini.

"Saya disini ngajar olahraga." Jawab Arkan sambil tersenyum.

Ck. Sama aku aja nggak pernah mau senyum.