webnovel

5 - "Bangsawan"

Ren dan Louise berjalan perlahan-lahan sambil mengangkut tumpukan kayu besar di atas pundak mereka. Matahari mulai terbit di cakrawala, memancarkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh wilayah. Menandakan bahwa fajar telah tiba

Mereka berdua telah bekerja seharian penuh, dan sekarang mereka harus melewati sebuah daerah yang tampaknya sangat dijaga ketat.

Di depan mereka, pagar-pagar tinggi dengan kawat berduri membentang, dan beberapa penjaga berseragam hitam berdiri dengan senjata di tangan. Ren melirik ke arah Louise, tampak sedikit penasaran. "Louise, kenapa tempat ini begitu dijaga ketat? Apa yang ada di balik pagar-pagar itu?"

Louise tersenyum kecil dan menepuk bahu Ren, "Biarkan saja Ren, mungkin inilah projek yang digadang-gadang sebagai projek besar oleh para bangsawan itu."

Ren mengangkat alisnya, masih tampak bingung. "Projek besar? Apa maksudmu?"

Louise mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Projek besar ini adalah proyek yang dibuat oleh para bangsawan untuk mendirikan Distrik Terpusat, juga dikenal sebagai Wilayah Para Bangsawan. Wilayah ini adalah daerah administratif yang khusus dibangun bagi mereka yang setia pada Caelfall."

Ren mengangguk pelan, mencoba mencerna informasi itu. "Jadi, wilayah ini hanya untuk orang-orang yang setia pada Caelfall? Apa yang mereka lakukan di sana?"

Louise menggelengkan kepalanya dengan sedikit ketidakpuasan. "Aku tidak tahu pasti, tapi kudengar mereka membangun sesuatu yang besar dan rahasia. Mungkin fasilitas militer atau pusat penelitian. Yang jelas, tempat ini sangat eksklusif dan hanya mereka yang benar-benar setia pada Caelfall yang diizinkan masuk."

Ren menghela napas dan memandang pagar tinggi itu lagi. "Kenapa kita tidak pernah mendengar tentang ini sebelumnya?"

Louise tersenyum pahit. "Karena kita hanya rakyat biasa, Ren. Informasi seperti ini tidak pernah sampai ke telinga kita. Mereka menjaga semuanya tetap tersembunyi dari pandangan umum."

Ren menatap Louise sejenak, dengan sedikit ragu, "Lalu darimana kau dapat informasi berharga seperti ini?"

Louise sedikit keheranan. "Eh? Kau betulan tak tahu apa-apa?"

"Aku serius, Louise."

"Oh baiklah, jadi sederhananya aku beli informasi dengan para bangsawan yang lain."

"...Kau tau? Mereka para bangsawan hanyalah anjing penurut dan patuh pada atasan mereka, manusia tanpa hati dan kejam, itulah mereka. Ada beberapa bagian mereka yang sungguh bodoh. Haus akan apresiasi..."

"Ada bangsawan lain... selain Soixante?"

"Iyap, akhir-akhir ini Kerajaan Southbrid mengirimkan bantuan dalam rangka kolaborasi? kerja sama? Entahlah apa itu dengan tujuan membangun Desa Caelfall..."

"...Tentu saja, aku mengetahui itu semua hanya omong kosong."

"Oh kau akhirnya sepemikiran denganku."

"Ahahha yah begitulah, itulah mengapa hari ini aku minta tolong kepadamu membawakan tumpukan kayu ini..."

"...Andai saja bangsawan waktu itu bisa kuhajar, maka... Violet tidak akan..."

Louise menundukkan kepalanya sambil menggertakkan giginya.

"..."

"Maksudmu... pagi ini Violet demam itu ulah... mereka?"

"Demam ya... Kurasa kurang tepat, Violet itu gadis yang sok tangguh... padahal dia hanya berniat meluruskan kesalahpahaman antara aku dan seorang bangsawan... justru keparat itu... main tangan dan langsung menghajar..."

Ren hanya terdiam. Kebencian dalam dirinya terhadap para bangsawan kian menguat.

"Lupakan saja... hari ini kita selesaikan secepatnya saja, Ren. Kita harus tetap fokus pada pekerjaan kita. Semoga suatu hari nanti, kita bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik pagar-pagar ini."

Ren kemudian mengangguk dengan tegas.

"Baiklah, Louise."

"Tunggu sebentar... aku merasa, tumpukan kayu yang kubawa lebih ringan?"

"Iyakah? Biar kulihat... 1, 2, 3, 4... hmm. Hanya 4? Bukannya kau bawa 5? Kemana sisanya?"

"Itu dia. Tunggulah di sini sebentar. Akan kucari, sepertinya terjatuh?"

"Oh iya. Kutunggu di sini, segeralah Ren."

Ren segera pergi meninggalkan Louise. "Yaya!"

Ren menelusuri jalan sebelumnya yang mereka lewati, berharap menemukan potongan kayu yang terjatuh.

Setelah beberapa menit berjalan, ia melihat sesuatu yang familiar di kejauhan. Tumpukan kayu yang hilang tergeletak tepat di depan sebuah pagar pembatas proyek pembangunan. Ren berjalan mendekat, akan tetapi langkahnya terhenti ketika melihat seseorang di dekat pagar pembatasnya.

Setelah dicermati tampaknya itu Amour, seniornya, sedang menyuntikkan cairan aneh pada seseorang yang dipaksa olehnya. Orang itu tampak lemah dan tidak berdaya, matanya terpejam rapat. Ren bersembunyi di balik semak-semak, mengintip dengan penuh rasa ingin tahu sekaligus ketakutan.

"Ooops! Maaf, aku lupa berapa banyak dosisnya saat menyuntiknya padamu!"

"ARRGHHHHH!!"

Saat Ren hendak melihat lebih lanjut, secara tiba-tiba.

"...."

BRAKKKKK!

Ia dikejutkan oleh sosok menyeramkan di balik pagar pembatas. Sosok itu memiliki kulit merah dan mata hitam, menatap langsung ke arah Ren dengan tatapan yang membuat darahnya membeku. Ren merasa kakinya gemetar dan jantungnya berdebar kencang. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk kembali ke Louise secepat mungkin.

Ren berlari dengan kencang, mencoba menghilangkan bayangan mengerikan yang baru saja dilihatnya. Sesampainya di tempat Louise menunggu, napasnya terengah-engah.

"Sepertinya benar-benar hilang," kata Ren, mencoba menyembunyikan kegelisahan dalam suaranya.

Louise melihat Ren dengan alis terangkat, kemudian tertawa kecil. "Oh tidak masalah... terlebih lagi, kau tampak kelelahan seperti habis dikejar sesuatu, ahahha."

Ren memaksakan senyum, meskipun pikirannya masih terguncang oleh apa yang baru saja dilihatnya. "Ya, mungkin aku terlalu banyak berlari," katanya sambil mengangkat tumpukan kayu 

"...."

Sementara itu, di sisi Amour.

Amour menyuntikkan cairan aneh itu ke dalam lengan subjek eksperimennya, mengawasi dengan penuh konsentrasi setiap reaksi yang terjadi. Tiba-tiba, subjek itu meronta, hampir berhasil melarikan diri. Amour dengan cepat meraih subjek itu dan menahannya kembali. Dalam kekacauan singkat itu, ia menyadari bahwa seseorang mengintip dari balik semak-semak.

Setelah memastikan subjek itu kembali tenang, Amour berjalan ke pagar pembatas dan melihat sekeliling dengan mata tajam. Tidak ada yang tampak aneh, kecuali satu hal: sebuah balok kayu yang tergeletak tak jauh dari pagar. Amour mendekat, mengangkat balok kayu itu, dan melihat tanda yang jelas menunjukkan bahwa ini adalah kayu yang dibawa oleh Ren dan Louise sebelumnya.

Amour tersenyum sinis, menggelengkan kepala dengan puas. "Jadi kau... telah mengetahuinya, ya? Ren," katanya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Dengan hati-hati, ia kembali ke dalam pagar, menyusun rencana dalam pikirannya. Jika Ren telah melihat sesuatu, ini bisa menjadi masalah besar. Amour harus memastikan bahwa tidak ada informasi yang bocor keluar.

Hari itu langit di Caelfall cerah dengan sinar matahari yang menyinari alun-alun kota. Rakyat berkumpul, wajah-wajah mereka penuh harap, menunggu pidato dari Soixante Neuf, seorang bangsawan terkemuka yang dikenal dengan upayanya untuk melindungi dan memperjuangkan keberagaman antara bangsawan dan pribumi.

Di tengah alun-alun, berdiri podium megah dihiasi bendera kerajaan yang berkibar anggun.

Soixante Neuf melangkah maju dengan anggun, penampilannya yang elegan dan karismatik menarik perhatian setiap mata.

Ia mengenakan jubah bangsawan yang anggun, berwarna biru tua dengan bordiran emas yang melambangkan kekuatan dan kebijaksanaan.

Dengan senyum tulus, ia menatap kerumunan yang diam dalam antisipasi. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia memulai pidatonya.

"Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,"

"Hari ini, kita berkumpul dalam suasana duka dan kehormatan, mengenang enam pahlawan kita yang telah gugur dalam tugas di Divisi Ekspedisi. Mereka adalah putra-putri terbaik Caelfall, yang dengan gagah berani menghadapi bahaya demi melindungi Caelfall yang kita cintai ini."

"Tidak ada pengorbanan yang lebih mulia daripada mengorbankan diri demi tanah air. Keenam jiwa yang telah pergi, mereka adalah pelita yang menerangi jalan kita, contoh nyata dari keberanian dan keikhlasan dalam menjalankan tugas. Nama mereka akan tercatat dalam sejarah sebagai teladan kebajikan dan kehormatan."

"Marilah kita berikan sejenak waktu kita untuk merenung dan menghormati pengorbanan mereka..."

"...Izinkanlah hati kita berbagi duka dengan keluarga dan orang-orang terdekat dari para pahlawan kita yang telah tiada."

"Semoga mereka diberi kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi kehilangan ini. Mengheningkan cipta dipersilahkan."

Soixante Neuf berhenti sejenak, menundukkan kepala, memberikan kesempatan bagi semua yang hadir untuk berduka cita. Hening cipta itu diisi dengan keheningan yang mendalam, hanya terdengar gemericik angin yang menggerakkan bendera kerajaan.

Di pinggir alun-alun, Ren dan Louise, dua remaja yang tengah mengangkut beberapa batang kayu dalam keadaan buru-buru, melintas di sekitar kerumunan. Keringat bercucuran di dahi mereka, menunjukkan betapa berat beban yang mereka bawa.

"Oh mereka semua tampak sedang bersedih, ada hening cipta? Ren, ayo kita berhenti sejenak," bisik Louise.

"Kita tidak punya waktu, Louise. Bawaan punyaku lebih banyak darimu, boleh saja kalau kau saja yang hening cipta."

"Tapi ini demi mereka yang telah tumbang!" Louise berseteru.

"Terserah padamu saja, dengan menitiskan air mata bukan berarti mereka yang tiada bisa kembali."

"Kau kejam sekali ya. Apa yang terjadi padamu?"

"Tidak ada. Hanya saja aku sudah muak oleh bualan bangsawan sialan."

"Nyalimu boleh juga Ren, dasar kau pendendam. Masih gak terima karena dikalahkan waktu itu?"

Ren hanya menghiraukan perkataan Louise.

Ketika Soixante Neuf selesai mengheningkan cipta, ia kembali berbicara dengan suara yang penuh ketegasan dan empati, menarik perhatian semua orang, termasuk Ren dan Louise.

"Saudara-saudara, pengorbanan enam pahlawan kita harus menjadi pengingat bahwa kita semua memiliki peran dalam menjaga Caelfall. Baik bangsawan maupun rakyat biasa, setiap dari kita memiliki tanggung jawab yang sama untuk berkontribusi demi kebaikan Caelfall."

Di saat itu, beberapa orang di kerumunan memperhatikan Ren dan Louise yang masih berdiri dengan beban kayu mereka. Salah satu dari mereka menunjuk ke arah Ren dan berseru, "Lihat, mereka bahkan tidak berhenti untuk menghormati pahlawan kita!"

"Ren! Bukankah itu Amour?" Louise terkejut dengan Amour yang justru menarik perhatian kerumunan dengan niat memojokkan mereka berdua.

"Sialan kau. Amour." Ren menatap ke arah Amour dengan kebencian, sepenuhnya menghiraukan perkataan Louise.

"Ren!" 

Louise menepuk pundak Ren.

"Tampaknya kita dipojokkan."

"Sialan, bangsawan itu dan sekarang Amour!" Ren menggertakkan giginya.

Ren menarik napas dalam-dalam. 

"Soixante Neuf, ini tidak benar," pikir Ren dalam hati, tetapi dia tahu bahwa berdebat dengan bangsawan di hadapan kerumunan seperti ini akan sia-sia. Akan tetapi, dia tidak bisa mundur.

Soixante Neuf, yang berdiri di podium, menatap Ren dengan pandangan tegas. "Saudara-saudara, lihatlah bagaimana sikap mereka yang tidak menghormati pengorbanan para pahlawan kita. Apakah ini contoh yang ingin kita tunjukkan kepada anak-anak kita?"

Ren merasa darahnya mendidih. Ia tahu ini adalah jebakan yang disusun oleh Soixante Neuf dan Amour untuk memojokkannya. Akan tetapi, ia tidak akan menyerah tanpa perlawanan.

Dengan langkah mantap, Ren maju dan berbicara dengan suara yang penuh keyakinan.

"...."

Sorotan mata beralih ke Ren dan Louise. Ren merasa terpojok, ia tidak mundur. Ia melangkah maju dan berbicara dengan suara yang jelas.

"Apa yang kau katakan tidak sepenuhnya benar. Kami bekerja keras setiap hari demi kelangsungan hidup kami. Tidak berarti kami tidak menghormati para pahlawan yang gugur. Kami menghormati mereka dengan cara kami, dengan bekerja keras dan memastikan bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia."

Louise berbisik, "Ren kau berlebihan. Kita tidak seterpuruk itu bukan?"

Lantas Ren menjawab, "Diamlah sebentar Louise."

Soixante Neuf menatap Ren dengan tatapan penuh penilaian. "Anak muda, kerja kerasmu memang penting. Akan tetapi, penghormatan dan pengorbanan bukan hanya tentang bekerja. Ini tentang kesediaan untuk memberikan sesuatu yang lebih dari diri kita sendiri demi orang lain. Bisakah kau membuktikan pada Caelfall bagaimana caramu berkorban?"

Kerumunan mendukung pertanyaan Soixante Neuf dengan sorakan yang semakin menekan Ren.

"...YA BUKTIKAN PADA KAMI!"

"...DIMANA RASA EMPATIMU!?"

"...DASAR ANAK MUDA PENUH OMONG KOSONG!!"

"...APA PRESTASIMU SAMPAI BERANI MENYEPELEKAN MEREKA YANG TELAH TUMBANG!?"

"...SUDAH BERKONTRIBUSI APA SAJA DIRIMU PADA CAELFALL!?!?"

"...ENYAHLAH KAU MAKHLUK TANPA EMPATI1!1!"

Ren menatap balik Soixante Neuf tanpa gentar. "Pengorbanan yang kami lakukan setiap hari mungkin tidak sebesar yang dilakukan para pahlawan, tapi itu tetap pengorbanan. Setiap tetes keringat kami adalah bukti bahwa kami berjuang untuk Caelfall ini. Jika itu belum cukup, lalu apa yang kau ingin kami lakukan?"

Soixante Neuf mengangguk, tersenyum tipis. "Jika kau benar-benar ingin membuktikan dedikasimu, gantikan mereka yang telah gugur dalam misi-misi selanjutnya. Bergabunglah dengan Divisi Ekspedisi, dan tunjukkan bahwa kerja keras dan keberanianmu bisa memberikan dampak yang nyata."

Ren terdiam sejenak, lalu mengangguk dengan tegas. "Baik, aku akan bergabung dengan Divisi Ekspedisi. Aku akan buktikan bahwa kami, rakyat biasa, juga bisa menjadi pahlawan."

Soixante Neuf mengangkat tangan untuk menarik perhatian semua orang. "Lihatlah, saudara-saudara, inilah contoh keberanian sejati! Seorang pemuda dari kalangan rakyat biasa yang siap untuk berkorban demi negeri kita. Keberanian dan keteguhannya patut kita hargai dan kita jadikan teladan."

Kerumunan bertepuk tangan meriah, suara tepuk tangan mereka terdengar di seluruh alun-alun.

Amour, yang telah bersekongkol untuk memojokkan Ren, tersenyum puas dibalik kerumunan.

"Ren, kami semua mengucapkan terima kasih atas keberanianmu," lanjut Soixante Neuf. "Semoga semangatmu menginspirasi yang lain untuk berjuang demi Caelfall. Kami semua berdiri di belakangmu, mendukung setiap langkah yang kau ambil."

Ren merasa sorotan mata dari semua orang tertuju padanya, dan meskipun ia merasa terbebani oleh harapan yang tiba-tiba dipikulnya, ia tidak akan mundur. Louise, yang berdiri di sampingnya, merasakan kebanggaan dan kekhawatiran yang sama.

"Datanglah kembali di alun-alun ini esok hari." Amour lewat dan berbisik pada Ren sekilas lalu menghilang di tengah kerumunan saat Ren bahkan belum sempat meraihnya.