webnovel

Seperti Apa Kandidat Istrimu, Duke Aslan?

Aslan tidak memiliki pilihan lagi.

Pria itu duduk berjongkok di depan sang putri.

"Ada apa?" tanya Rosie yang bingung mengapa pria itu menawarkan punggungnya.

"Kita harus pulang segera."

"Tanpa kuda?"

"Tanpa kuda," jawab pria itu.

"Berjalan kaki?" tanya Rosie sekali lagi.

"Aku yang berjalan kaki."

Rosie menatap punggung lebar Aslan dengan ragu. Ia bangkit dan memeluk leher pria itu dari belakang. Aslan memegangi kedua kaki Rosie di kedua sisi tubuhnya agar tidak terjatuh.

"Apa … ini baik-baik saja?" tanya Rosie yang merasa tak enak merepotkan pria itu.

"Hm," jawab Aslan singkat.

Aslan pun mulai berjalan. Rosie memang merasa bersalah karena membuat pria itu menggendongnya tetapi sebagian dari dirinya sedang bersorak bahagia sekarang. Ia meletakkan dagunya pada salah satu pundak Aslan.

"Terima kasih," ucapnya dengan tulus.

Aslan hanya mengangguk tanpa bersuara.

Jarak dari desa ke kastil Montgomery terbilang sangat jauh. Setiap sepuluh meter berlalu, Rosie bertanya tentang kondisi Aslan. Ia khawatir pria itu merasa berat karena mengingat ia makan seperti seekor babi tadi.

"Duke Aslan, apakah aku berat?"

"Duke Aslan, apakah kau ingin beristirahat sebentar?"

"Duke Aslan, jika aku berat katakanlah dengan jujur."

"Duke Alsan, apakah tanganmu tidak terasa kebas?"

"Duke Aslan, punggungmu tidak terasa sakit?"

"Duke Aslan, aku boleh meletakkan daguku pada pundakmu?"

Aslan hanya diam sepanjang perjalanan. Ia tidak memperdulikan ocehan Rosie yang memanggilnya dengan Duke Aslan ini-Duke Aslan itu. Aslan berharap ia bisa memiliki kemampuan menuliskan dirinya sendiri. Dan lama-kelamaan, Aslan menjadi sangat muak mendengar namanya sendiri.

"Duke Aslan, jika kau lelah aku bisa berjalan sendiri."

Tiba-tiba Aslan berhenti berjalan. Ia melepaskan tangannya dari kedua kaki Rosie membuat gadis itu bingung.

"Ada apa?" tanyanya. "Mengapa kita berhenti?"

"Anda bilang Anda ingin berjalan sendiri kan?"

Rosie segera menyatukan kembali kedua kakinya pada perut pria itu dan merangkul leher Aslan erat-erat.

"Aduh … perutku sakit," ujar Rosie berpura-pura merintih. Ia tidak ingin turun dari gendongan pria itu dan Aslan hanya bisa mendesah. Ia kembali memegangi kedua kaki sang putri kemudian kembali berjalan.

***

Aslan cukup tahu jika gadis itu hanya sedang berpura-pura. Ia membiarkan Rosie melakukan sesuka hatinya. Ia merasa lebih baik ia berkorban dan menggendong gadis itu daripada membiarkan gadis itu berjalan sendiri tetapi berjalan dengan sangat lama. Itu hanya membuang-buang waktu, pikirnya.

Jalan yang mereka lalui semakin sepi. Semakin jauh mereka meninggalkan desa, semakin gelap jalanan yang keduanya lewati. Tak ada lampu penerang jalan. Hanya cahaya bulan yang temaram membantu Aslan mengenali jalan untuk kembali ke kastil.

Rosie yang tidak nyaman dengan keheningan itu kembali berusaha untuk mencairkan suasana dengan mengajukan beberapa pertanyaan.

"Duke Aslan, apakah kau ada niatan untuk menikah?"

"Tidak ada," jawab pria itu singkat.

"Oh, begitu … atau mungkin kau sudah memiliki seorang wanita yang kau sukai?"

"Tidak ada."

"Nice," komentar Rosie tanpa sadar. "Kalau begitu … adakah kriteria tertentu?"

"Kriteria?"

"Iya, seperti bagaimana wanita ideal yang kau harapkan untuk menjadi istrimu di masa depan."

Aslan berpikir sejenak. Sejauh ini ia sama sekali tidak memiliki kriteria tertentu tentang wanita idealnya. Aslan tidak memiliki banyak kesempatan bertemu wanita. Setelah keluarga Villiers menyelamatkannya setelah kejadian dua puluh tahun lalu, yang dilakukan Aslan hanyalah belajar dan berlatih.

Ia pun berhasil menjadi seorang ksatria tinggi kerajaan. Berkat kemapanannya untuk mengambil kembali wilayah ini, raja memberikannya sebuah mandat baru untuk menjadi seorang Duke meskipun ia tidak memiliki darah kerajaan.

Aslan terlalu sibuk dengan segala urusan di wilayah itu sehingga tidak sekali pun terlintas di pikirannya tentang wanita. Aslan sendiri cukup awas kesan pertamanya saat menguasai wilayah tersebut sangatlah buruk.

Ia tidak segan untuk mengusir para bandit dan pengacau untuk meninggalkan wilayah kekuasaan barunya. Jika ada perlawanan, Aslan tidak segan untuk menghunuskan pedangnya, meninggalkan jejak korban yang bersimbah darah. Ia juga mengubah semua sistem agar berjalan selaras dengan apa yang ia inginkan.

Mungkin sebagian orang di wilayah tersebut akan mengatakan jika Aslan memimpin wilayah tersebut dengan kejam, tetapi seiring berjalannya waktu, ketegasan sang duke membuat angka kriminalitas menurun drastis dari sebelum Aslan memerintah di sana.

Lalu dengan kesan buruk seperti itu, wanita mana yang berani mendekat kepadanya? Bahkan wanita rendahan seperti pelayan di kastilnya saja jika Aslan menajamkan tatapannya mereka akan berlari ketakutan.

Saat pria itu sedang sibuk dengan pemikirannya sendiri, tiba-tiba ia merasakan sebuah jari menusuk pipinya. Ia menoleh ke samping dan mendapati sang putri tengah menyenuh pipinya.

"Jadi, apa yang kau harapkan dari istrimu di masa depan?"

Istri? Aslan tidak benar-benar ingin mencarinya. Ia masih ingin hidup sendiri dengan tenang.

"Aku tidak memiliki kriteria," jawabnya singkat.

"Benarkah? Berarti jika aku menjadi istrimu juga kau akan menerimaku?"

Langkah Aslan terhenti. Pria itu menghirup udara panjang untuk menenangkan jiwanya yang mulai dibuat kesal oleh Rosie.

"Tuan Putri, Anda tidak boleh berbicara seperti itu."

"Berbicara seperti apa? Kau bilang sendiri kau tidak memiliki kriteria tertentu untuk menjadi istrimu. Berarti aku juga bisa menjadi kandidatnya, kan?"

"Saya tidak tahu apakah keluarga Anda telah membicarakan ini atau tidak. Tapi izinkan saya berkata jujur. Anda adalah seorang putri kerajaan dimana posisi Anda seharusnya bisa menjadi pondasi keluarga kerajaan. Maka dari itu, sudah sewajarnya untuk Anda menikah dengan seorang pangeran dari kerajaan lain."

Rosie mengernyitkan keningnya tak suka akan jawaban yang diberikan oleh Aslan.

"Well, tapi aku seorang putri kerajaan kan? Aku bisa menikah dengan siapa pun yang aku mau."

"Tidak. Jika Anda tidak percaya tanyakan pada kakak Anda setelah Howland pulang nanti. Kemungkinan besar keluarga kerajaan telah menentukan siapa suamimu di masa depan. Jadi, jangan ganggu saya lagi dengan ucapan-ucapan seperti tadi."

Rosie mengencangkan pelukannya pada leher Aslan. "Apa kau membenciku, Aslan?"

"Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"

"Tidak apa-apa. Aku hanya merasa jika kau membenciku."

"Saya pernah berjanji di hadapan raja untuk menjadi pedang dan juga perisai bagi keluarga Villiers. Tidak mungkin saya membenci orang yang akan saya lindungi."

"Lalu kenapa kau tidak ingin aku untuk menjadi kandidat istrimu?"

Rosie mencoba mengingat tentang titik lemah Aslan. Namun, di buku yang ia baca, Aslan hanyalah tokoh second lead yang kebetulan dibuat antagonis. Sehingga, Rosie tidak terlalu banyak mengerti sikap dan sifat pria itu selain di pertengahan akhir Aslan akan berubah menjadi kejam.

Tak ada jawaban dari Aslan. Bukannya Aslan tidak memiliki jawaban. Hanya saja pria itu merasa bahwa sang putri sama sekali tidak mengerti perbedaan status di antara mereka berdua.

Tak ada sejarah yang mencatat seorang putri kerajaan menikah dengan ksatria sepertinya. Status Duke yang disandang di depan namanya juga baru ia terima satu tahun ini. Statusnya sangat tidak layak untuk bersanding dengan seorang putri kerajaan.

Selain itu, Rosie adalah adik dari temannya sendiri, Howland. Akan sangat canggung jika di kemudian hari ia menjadi adik ipar pria itu.

Aslan membenci suasana canggung. Ah .. ditambah lagi, gadis ini … mungkin akan selalu memberikannya sakit kepala di pagi hari.