webnovel

Kenapa Kau Membakar Bukuku?

"Kakak? Katanya ingin makan siang?" tanya Rosie yang tidak mengerti ia dibawa ke dalam ruang kerja milik Aslan di saat sang pemilik sedang tidak ada.

"Tentu kita akan makan siang di sini," ujar Howland yang menyusul Rosie dan menggiringnya untuk duudk di atas sofa bersamanya.

"Aku tidak melihat ada makanan di sini," balas Rosie membuat Howland tertawa.

"Tentu saja, makanan akan dibawa sebentar lagi."

Rosie melihat sebuah kunci yang terletak di atas meja kemudian meraihnya.

"Kunci apa ini?" tanyanya pada Howland. Dengan cepat Howland meraihnya kembali kemudian memasukkannya kepada saku jasnya.

"Sesuatu yang penting, kau akan tahu sebentar lagi."

Selagi Rosie dan howland menunggu, pintu dibuka dari luar tanpa diketuk. Aslan tiba dengan pakaian yang lebih santai dari tadi pagi. Ia terdiam di depan pintu melihat rosie yang duduk di sofa ruangannya. Ia melirik Howland yang mengangkat tangannya untuk menyapanya.

"Kemarilah, di belakangmu ada pelayan yang membawakan makan siang untuk Rosie," ujar Howland membuat Aslan menoleh ke belakang.

Ia menggeser tubuhnya memberikan ruang untuk kedua pelayan tersebut mendorong masuk troli berisikan makanan, kudapan, dan satu set teh hangat.

Setelah kedua pelayan itu menyediakan seluruh makanan di meja depan sofa tempat Rosie duduk, Howland berdiri untuk mengajak Aslan masuk lebih dalam dan tidak hanya berdiri seperti patung di tempatnya.

"Kalian bisa berbicara sebentar, aku akan kembali sebentar lagi," ujar Howland yang kemudian keluar dari ruangan tersebut.

Click!

Aslan dan Rosie bersamaan menoleh ke arah pintu saat mendengar suara klik dari pintu. Aslan mendekat dan mencoba membuka pintu ruang kerjanya yang tidak dapat dibuka. Sebuah surat terselip di bawah pintu dan Aslan membukanya dengan cepat.

(Kabarkan aku jika kalian sudah saling memaafkan. Aku akan menunggunya dengan sabar)

Aslan menghela nafas panjang kemudian berjalan pelan ke arah kursi kerjanya.

"Howland mengunci pintunya dari luar?" tanya Rosie dan Aslan hanya mengangguk.

"Kenapa? Apa alasannya? DIa bilang ingin makan siang bersamaku!"

Aslan menyodorkan secarik kertas yang Howland selipkan di bawah pintu. Rosie harus berdiri kemudian berjalan mendekat untuk menerima kertas kecil itu. Ia membacanya dan seketika semua semangatnya untuk hidup menghilang seketika.

"Ini omong kosong," ujar Rosie yang membuang kertas itu kembali ke atas meja. Ia berbalik dan keluar ke arah balkon ruang kerja milik Aslan.

Aslan hampir terjatuh karena tersandung mengejar Rosie yang naik ke atas balkon. Dengan cepat ia meriah tubuh gadis itu dari belakang dan menariknya menjauh dari aats penghalang balkon.

"Apa yang kau lakukan!" tegur Aslan dengan nada tinggi.

"Lepaskan aku! Ku akan lompat dari atas balkon, aku mau keluar dari tempat ini!"

Aslan memeluk tubuh Rosie lebih erat. Ia menggertakan giginya saat Rosie meronta dari pegangannya.

"Kau gila! Ini lantai dua!" ucap Aslan yang tidak bisa lagi menjaga emosinya.

Aslan menggendong Rosie untuk kembali masuk dan mengunci pintu ruangannya yang menyambung pada balkon dan menyimpan kuncinya dalam saku celananya. Rosie masih berusaha meraih kunci tersebut tetapi Aslan memegangi kedua tangannya. Keduanya saling bertatapan sengit.

"Kembalikan," perintah Rosie dengan nada rendah.

Aslan bergeming di tempatnya sama sekali tidak terintimidasi oleh usaha yang Rosie lakukan.

"No."

"Ughhh!!!! Aku tidak bisa seperti ini!"

Rosie melipat kedua tangannya di depan dada. Kedua alisnya berkerut dengan bibir mengerucut tanda ia sedang sangat kesal. Aslan memilih berdiri bersandar di jendela, berjaga-jaga jika sang putri berniat untuk melompat keluar dari jendela.

Bahkan jika bisa, Aslan ingin menutup semua ventilasi yang ada karena gadis itu sama sekali tidak bisa diperkirakan. Bisa saja saat Aslan sedang mengedipkan matanya, Rosie sudah berada di atas tembok mencoba memaksakan diri keluar lewat ventilasi yang ada.

Rosie menuangkan segelas teh yang masih hangat untuk dirinya sendiri untuk menenangkan diri.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanyanya masih dengan menggunakan nada kesal.

Aslan mengangkat bahunya karena sibuk memperhatikan apa pun yang sedang Rosie lakukan. Bahkan hal sekecil dengan gadis itu mengacak rambutnya frustasi pun tak luput dari perhatiannya.

Ia menaikkan salah satu alisnya kala Rosie berjalan cepat ke arahnya dan berhenti tepat di depannya. Ia memperhatikan telunjuk Rosie di depan wajahnya.

"Semua ini karena kau membakar buku yang sedang kubaca! Itu adalah sebuah kekejaman yang tidak akan pernah aku bisa maafkan," ancam Rosie yang sama sekali tidak bisa membuat Aslan berekspresi.

Seandainya bisa kabur, mungkin Aslan akan melakukannya sedari tadi. Terkunci berdua dengan putri yang tidak bisa diam hanya membuatnya sakit kepala nantinya. Jika Aslan memiliki kunci cadangan, dengan senang hati Aslan akan membukakan pintu sialan itu agar Rosie bisa kembali ke kamarnya.

Atau … mungkin membiarkan Rosie melompat dari lantai dua adalah sesuatu yang baik? Aslan bisa membantunya turun. Ia menoleh ke belakang untuk memperkirakan ketinggian balkon dan tanah di bawahnya.

Saat Aslan sedang sibuk berpikir, tiba-tiba Rosie memegangi kedua pipinya membuat Aslan terkejut. Rosie menarik wajah Aslan untuk menghadapnya. Saat diasa wajah keduanya sangat dekat, Aslan mencengkram pinggiran jendela di kedua sisi tubuhnya lebih erat.

"Katakan alasanmu yang sesungguhnya mengapa kau membakar buku yang sedang aku baca! AKu tidak percaya itu adalah ketidaksengajaan," ujar Rosie

"Buku itu mengandung konten dewasa yang tidak boleh kau bcaa," ujar Aslan dengan jujur.

"Huh? Konten dewasa?"

"Adegan ranjang antara dua karakter,"

"Jangan bilang semua buku yang kau bakar kemarin adalah buku yang-"

Aslan tak perlu menjawab karena anggukkan kepalanya sudah mengkonfirmasi kecurigaan Rosie. Rosie sampai terkesiap kaget karena ia tidak percaya akan hal kecil itu membuat Aslan membenci buku.

"Aku hanya ingin bilang bahwa kau sangat menyedihkan."

Aslan mengerutkan keningnya tak mengerti. Rosie tidak bisa berkata-kata lagi. Ia melepaskan tangannya dari wajah Aslan kemudian merebahkan tubuhnya di atas sofa. Ia memandangi langit-langit ruang kerja milik Aslan sambil berpikir.

Buku yang ia baca bukan sebuah cerita porno tanpa plot. Adegan snu snu yang ada justru digunakan untuk memperkuat kemistri antara kedua tokoh cerita romansa.

Memang ada buku romansa yang tidak memiliki adegan ranjang dan salah satunya adalah kisah Howland dan Savvy, hanya sebuah ciuman singkat. Tetapi itu karena kedua tokoh terlalu polos untuk melakukan adegan snu snu.

Padahal buku yang dibacanya sangat seru. Konflik kutukan dan the chosen one adalah favoritnya tetapi Aslan jutsu menilai buku tersebut dari adegan ranjangnya. Sialan.

"Aku sama sekali tidak menyesal melakukannya," ujar Aslan membuat Rosie mengerang di tempatnya.

Aslan berjalan mendekat dan berdiri di ujung kaki Rosie yang terjuntai di ujung sofa.

"Tapi aku minta maaf jika itu membuatmu kesal."

"Huh?"

"Apa yang terjadi kemarin diawali oleh keegoisanku untuk membakar buku yang sedang Anda baca," ujar Aslan.

"Kau menyesali perbuatanmu?" tanya Rosie.

"Tentang membakar buku-buku yang tidak bermoral itu? Tidak sama sekali dan jika waktu terulang mungkin aku akan melakukannya lagi tetapi tanpa sepengetahuanmu."

Rosie tak bisa berkata-kata. Ia tidak tahu apakah ia harus merasa tersentuh karena Aslan meminta maaf duluan, lucu karena Aslan berbicara dengan ekspresi kosongnya atau sedih karena pria itu tidak menyesali perbuatannya?

Rosie bangun dari rebahannya.

"Apa kau serius?" tanya Rosie sekali lagi.

Aslan mengangguk. Ia meninggalkan Rosie kemudian memilih duduk d kursi kerjanya untuk menjaga arak dari snag putri. Namun sepertinya itu adalah hal yang sia-sia karena Rosie mengikutinya di belakang kemudian menyadarkan tubuhnya pada meja kerja Aslan.

"Mengapa aku menyebut buku-buku itu buku yang tidak bermoral? Itu hanyalah tulisan yang bercerita tentang kehidupan orang lainnya. Kau pikir manusia tidak berhubungan badan untuk memiliki keturunan?" tanya Rosie.

"Manusia tentu perlu melakukannya untuk memiliki keturunan hanya saja hal itu tidak perlu dideskripsikan yang kemudian disebarluaskan sehingga siapa pun bisa membacanya. Seperti dirimu yang masih di bawah umur."

"Wha- Who? Aku? Aku di bawah umur?" tanya Rosie tak percaya. "Aku sudah dua puluh tahun! Dan jika aku ingin melakukannya dengan seseorang pun sudah legal!"

"Tidak!" potong Aslan menyela ucapan Rosie yang terdengar konyol di telinganya. "Seseorang baru bisa dianggap dewasa setelah melewati usia dua puluh satu tahun."

"Huh? Jangan konyol," balas Rosie yang tertawa karena menganggap respons Aslan sangat lucu baginya.