webnovel

Howland, Adikmu Adalah Seorang Devil

Rosie telah berganti pakaian yang lebih longgar. Tunik putih adalah gaun tidurnya. Sarah membantunya berganti pakaian. Dan setelah itu seorang dokter memeriksa luka di lututnya.

Rosie hampir tidak menyangka bahwa lukanya cukup dalam. Ia kira hanya goresan semata tetapi saat diberi obat oleh dokter, barulah lututnya terasa perih.

Sarah masih menangis di pinggir kasurnya. Menggigit sapu tangan untuk tidak merasakan nyeri saat dokter memberikan obat pada luka sang putri. Wanita itu telah menangis seharian penuh. Saat ia membantunya membersihkan tubuh dan mengenakan pakaian, Sarah masih terus menangis.

"Lihatlah, Sarah. Aku baik-baik saja. Luka seperti ini tidak akan membunuhku."

"Huwaa … tapi Anda adalah putri kerajaan, bagaimana bisa aku begitu ceroboh hingga membuat Anda terluka seperti ini?" tanya sambil menangis.

Rosie memutar matanya jengah. Lama-lama tangisan wanita itu membuatnya pusing.

"Ini bukan salahmu, Sarah. Aku terjatuh di luar istana."

"Ini tetap salahku! Aku membiarkan Anda keluar istana tanpa pengawasan!" seru wanita itu dengan air mata yang tak kering-kering.

"Ini bukan salahmu! Ini salah dari Duke Aslan!" ujar Rosie tanpa berpikir panjang.

Sarah berhenti menangis sebentar dan menatap Rosie tak percaya. Sedetik kemudian wanita itu kembali menangis tersedu-sedu.

Rosie melirik dokter yang sudah selesai membalut lututnya dengan perban dan kasa. Pria tua itu hanya tersenyum canggung kemudian berdiri membereskan beberapa peralatan kedokterannya.

"Kondisi Anda cukup stabil, dan lukanya sudah saya beri obat. Besok pagi saya akan datang berkunjung kembali untuk mengganti kasa dan perban yang baru."

"Terima kasih dokter, maaf merepotkan Anda malam-malam seperti ini."

"Tidak apa-apa, Yang Mulia. Kalau begitu saya permisi sebentar."

"Ma-mari saya antar dokter," ujar Sarah sambil menghapus sisa air matanya dengan sapu tangan putih yang sudah sangat basah tersebut.

Sebelum mengantar dokter keluar kamar Rosie, Sarah berbalik sebentar. "Yang Mulia, mungkin saya tidak akan kembali lagi saat ini. Saya mohon beristirahatlah dengan baik. Saya akan mengunjungi Anda lagi besok pagi."

"Oh, kau sudah selesai menangisnya?" tanay Rosie sambil meraih buku yang ia pinjam kemarin malam dari atas nakas di samping tempat tidurnya. Sarah menghirup udara panjang-panjang. Bibirnya bergetar menahan tangis.

"Duke Aslan sedang mengumpulkan semua orang saat ini. Kemungkinan beberapa dari kami akan mendapatkan hukuman." tiba-tiba Sarah kembali menangis. "Aku layak untuk mendapatkan hukuman ini. Aku telah teledor menjaga Anda…."

Belum Rosie meminta Sarah untuk menunggunya, wanita itu berlari sambil menggiring dokter tersebut keluar kamar milik Rosie.

Rosie pun ditinggal seorang diri. Ia baru membuka halaman pertama buku bersampul biru itu. Ia mencoba membaca paragraf pertama tetapi perkataan Rosie terngiang-ngiang di kepalanya.

"Aslan mengumpulkan semua orang dan akan menghukum mereka? Aduh, bagaimana ini …"

Semuanya berawal dari Rosie yang ingin berjalan-jalan sebentar. Menikmati dunia baru yang selama ini hanya ia idam-idamkan. Ia lupa jika semua memiliki konsekuensi.

"Ini bukan salah mereka …"

Rosie teringat wajah sembab Sarah dan beberapa pelayan lain yang menangis saat ia pulang adi. Tentu saja Duke Aslan tidak akan memarahinya karena ia adalah seorang putri kerajaan.

"Tidak-tidak, aku bukan orang yang kabur dari tanggung jawab. Rosie bukanlah pengecut yang membiarkan orang lain menanggung akibat perbuatannya.

Rosie pun menutup kembali buku yang dibacanya. Ia keluar dari kamarnya berlari dengan kaki yang terseok akibat rasa sakit di lututnya. Gaun tidur itu cukup tipis sehingga Rosie bisa merasakan dinginnya udara malam. Ia tidak tahu dimana orang-orang itu dikumpulkan.

Ia berlari kemana pun kakinya membawanya. Rosie tak menemukan siapa-siapa di kastil.

"Apakah di training ground?" tanyanya panik.

Gadis itu berlari tanpa menggunakan alas kaki. Turun menembus dinginnya udara malam melewati taman hingga ke training ground.

Benar saja, Aslan di sana sedang berdiri tegap memandangi orang-orang yang berdiri membungkuk ke arahnya.

"Dua orang pengawal dan pelayan pribadi Putri Roseanne maju ke depan."

"Tunggu dulu!" teriak Rosie membuat semua orang mendongakkan kepalanya terkejut mendengar teriakan sang putri.

Kekesalan pria itu meningkat tajam. Aslan tak perlu berbalik untuk melihat siapa yang datang berkunjung malam-malam seperti ini. Tanpa diizinkan, Rosie berjalan mendekat untuk berdiri di depan pria itu.

"Ini adalah salahku. Tolong jangan hukum mereka."

"Maaf, Tuan Putri. Tapi mereka telah lalai dalam menjaga Anda."

Mereka tidak lalai! Aku yang kelewatan! Aku seharusnya mendengarkan mereka. Tidak pergi meninggalkan kastil begitu saja."

Aslan menatap Rosie dari atas hingga bawah. Gadis itu mengenakan pakaian yang begitu tipis di malam hari. Ia menatap para ksatria dan pengawalnya yang melihat sang putri.

"Turunkan tatapan kalian," perintah pria iu dengan tajam.

"Duke Aslan, dengarkan aku-"

Tanpa meminta izin, Aslan kembali menggendong Rosie dan membawanya meninggalkan training ground.

"Aku akan berbicara dengan kalian setelah ini."

***

Aslan membawa Rosie masuk ke dalam. Ia tidak tahu apakah perintahnya tadi sudah cukup jelas atau belum. Gadis ini masih berkeliaran keluar kastil tanpa memakai alas kaki dan hanya mengenakan pakaian setipis ini? Rosie melingkarkan kedua tangannya pada leher pria itu.

"Duke Aslan, mari kita berbicara sebentar," ajak Rosie.

"Sudah malam. Anda harus beristirahat lebih banyak."

"Tapi ini mengenai orang-orang yang tidak bersalah itu. Ini semua salahku. Aku yang kabur, seharusnya Anda menghukumku saja! Tidakkah Duke Aslan melihat betapa sedihnya mereka tadi?"

"Mereka harus menanggung akibat kelalaian mereka sendiri."

Rosie menatap pria itu dengan tatapan tajam. Pantas saja orang ini dijadikan tokoh antagonis. Bahkan melihat wajah bawahannya yang sembab saja tak ia pedulikan. Tidak punya belas kasihan!

Keduanya telah sampai di kamar milik Rosie. Aslan akan menurunkan gadis itu dengan lembut seperti tadi tetapi Rosie masih memeluk lehernya begitu kencang.

"Yang Mulia, kita sudah sampai di kamar Anda," ujar Aslan yang berharap Rosie segera melepaskan kaitan tangannya.

"Aku akan melepaskannya jika Anda berjanji untuk tidak menghukum Sarah dan yang lainnya."

Aslan memejamkan matanya mencoba bersabar. "Yang Mulia, sekarang sudah sangat larut. Sudah waktunya Anda tertidur."

"Tidak akan kulepaskan sampai kau menuruti permintaanku." balas Rosie lebih keras kepala.

Aslan pun menaikkan salah satu kakinya dan memposisikan Rosie di tempat tidur dengan baik. Ia juga harus menundukkan tubuhnya agar tubuh gadis itu terlepas dari tangannya. Namun kaitan tangan Rosie begitu erat hingga Aslan terjatuh di atas tubuh Rosie.

Memanfaatkan tubuh Aslan yang terjatuh, Rosie menggunakan gerakan karatenya untuk mengunci lawannya dan membalik posisi mereka. Kini Aslan terbaring di atas kasur dengan Rosie yang menduduki perutnya.

"Aku tidak akan melepaskanmu sampai kau benar-benar berjanji untuk tidak menghukum mereka, Duke Aslan."

Aslan menatap Rosie dengan ekspresi datar. Posisi ini sungguh tidak terduga. Dan sejujurnya Aslan cukup terkejut oleh gerakan dan juga kekuatan sang putri. Mungkin jika ia lebih waspada, hal ini tidak akan terjadi.

Aslan masih berada di pendiriannya. Ia tetap harus menghukum orang-orangnya yang sudah lalai menjalani tugasnya. Ini bukan perkara tentang sang putri yang memulai duluan atau tidak. Tetapi merak yang gagal menjalani tugas yang Aslan berikan.

Aslan tidak suka jika sesuatu berjalan tidak sesuai keinginannya. Sebagai seorang perfeksionis, kejadian hari ini mencoreng egonya. Ia tentu akan menceritakan ini kepada Howland besok, pria itu harus tahu tentang kelakuan adiknya. Aslan sendiri hampir kewalahan untuk menangani gadis itu seorang diri.

"Saya masih dalam prinsip saya. Jika ada yang salah harus segera dihukum. Tapi sebelum itu bisakah Anda menyingkir sebentar?"

"Tapi mereka tidak bersalah, Aslan!" ujar Rosie semakin putus asa.

Aslan mencoba meraih tubuh Rosie untuk diangkat tetapi dengan gerakan yang cepat Rosie justru memiting tangan pria itu di atas kepalanya. "Yang Mulia …"

"Ada apa, Aslan?" tanya Rosie dengan suara yang lebih menggoda.

"Ini tidak benar. Saya mohon untuk lepaskan saya," ujar pria itu masih dengan ekspresi datarnya.

Rosie menggeleng. "Tidak sampai kau berjanji untuk tidak menghukum mereka."

Dengan sisa kesabarannya, Aslan memohon sekali lagi. "Ini permintaan terakhir saya. Mohon turun dari atas tubuh saya, Yang Mulia. Apakah Anda tahu apa yang sedang Anda lakukan saat ini?"

Rosie tersenyum simpul. Ia tahu apa yang dimaksud oleh Aslan. Seorang pria dan wanita di sebuah kamar dalam posisi seperti ini adalah sesuatu yang bisa menjadi skandal. Namun Rosie mengerjapkan bulu matanya beberapa kali dan memasang wajah polos.

"Apa? Apa yang sedang aku lakukan? Aku hanya meminta Anda untuk tidak menghukum mereka."

Aslan menajamkan tatapannya membuat jantung Rosie berdetak dengan cepat. Aslan memiliki kekuatan jauh lebih besar. Ia bisa saja membalikkan posisi mereka saat ini. Namun ia berusaha mengalah demi sang putri.

"Yang Mulia," panggil Aslan di ujung kesabarannya.

Rosie mendekatkan wajahnya dan berisik di telinga pria itu. "Ada apa, Aslan?"

Dengan kekuatannya yang lebih besar Aslan mencengkram kedua tangan Rosie yang memiting tangannya.

"Ah!"

Dan Aslan hanya butuh waktu satu detik untuk membalikkan posisi mereka. Jika Rosie membutuhkan dua tangan untuk memiting tangan Aslan, Aslan hanya butuh satu tangan untuk memiting tangan gadis itu. Tangan satunya yang lain menahan punggung gadis itu agar tidak langsung terjatuh ke atas ranjang.

Pria itu menatap paha Rosie yang sebagian gaunnya mulai tersingkap. Pria itu kemudian memajukan wajahnya. Jarak bibir keduanya sudah sangat dekat. Rosie menelan air liurnya merasa gugup. Entah mengapa tetapi terdapat sebuah dorongan di dalam dirinya untuk menempelkan bibirnya pada bibir pria itu.

Namun sebelum ia bisa mencium Aslan, telunjuk pria itu menahannya.

"Tentu Anda sangat tahu apa yang saya maksud. Seorang pria dan wanita berduaan seperti ini bukanlah sesuatu yang baik."

Aslan mendekatkan bibirnya pada telinga gadis itu dan melakukan yang sama yang seperti Rosie lakukan padanya beberapa saat yang lalu.

"Anda sangat nakal hari ini. Saya sangat ingin menghukum Anda tetapi saya tidak bisa. Jadi, jangan menggoda saya berlebihan, Tuan Putri. Atau Anda akan menyesalinya," bisik Aslan membuat tubuh Rosie bergidik.

Pria itu bangkit. Sebelum berbalik ia melihat Rosie yang terlentang di bawahnya. Sebagian gaun malamnya tersingkat dan ia bisa melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat. Pria itu menarik kembali gaun milik Rosie kemudian meninggalkan kamar tersebut.

Dan sepertinya ini sudah keseratus kali pria itu mengumpat akibat sang putri.

"Howland, adikmu adalah seorang devil," gumamnya.