Senin pagi pukul 07.50 Bila sampai di kantor, hari ini ia sampai agak terlambat karena motornya masih di bengkel.
Ia berjalan menuju ruangannya, akan tetapi ketika baru saja masuk, ia merasa sangat kaget melihat Edwin telah berada di kursi didekat meja resepsionis, ia menatap sejenak kemudian bertingkah seolah kehadiran Edwin tak berpengaruh padanya.
Edwin yang gemas melihat tingkah sok cool Bila berjalan menghampirinya, ditariknya tangan gadis itu, sehingga mau tidak mau langkah Bilapun terhenti.
Bila menoleh, dan dengan tatapan dinginnya ia bertanya pada Edwin "ada yang bisa saya bantu pak?"
"Bil....kamu kenapa sih?" Edwin mulai gusar.
"Maksutnya?"
"Sejak kita ketemu, sikap kamu ke aku ga ada manis-manisnya, kamu bukan seperti Bila yang dulu"
Pertanyaan Edwin membuat Bila terkejut, ia memang sengaja bersikap ketus pada Edwin karena ia masih belum bisa melupakan kejadian buruk antara Edwin dan Vita, walaupun sesungguhnya ia masih mengharap hubungan mereka akan kembali seperti dulu lagi.
Akan tetapi bayangan Vita masih menjadi penghalang, ada sisi lain yang membuatnya takut untuk segera membuka hati kembali, walaupun sebenarnya perasaannya masih sangat kuat, ia ingin memastikan bahwa mereka berdua tak lagi punya hubungan.
Bila tidak uangin memiliki Edwin lagi, jika kenyataannya ia akan kehilangan pria yang ia sayangi untuk ke dua kali.
"Pak...saya memang bukan Bila yang dulu, waktu sudah berubah, dan saya pastinya juga berubah" Bila mencoba berkilah.
"Bila....apa tidak ada kesempatan untuk kita memulai semua dari awal".
Mata Bila mulai berkaca-kaca melihat ketulusan Edwin, akan tetapi ia tetap bertahan untuk menghilangkan ganjalan di hatinya, sebelum ia memulai kembali hubungan yang pernah kandas.
"Jika memang Allah berkehendak pasti kita bisa bersama lagi, tapi ijinkan saya mengetahui kebenaran dari peristiwa waktu itu, agar tidak jadi duri dalam hubungan kita nantinya". Bila menjelaskan tanpa basa-basi.
"Apa? kamu masih belum percaya, kalau aku dan Vita ga ada hubungan ?".
Ketika Bila hendak memjawab pertanyaan Edwin tiba-tiba pak Hadi masuk melihat ke arah tangan Bila yang masih dipegang Edwin, membuat pak Hadi tersemyum geli.
Bila sadat dengan senyum dan arah tatapan pak Hadi, sehingga dengan segera ia melepaskan genggaman Edwin, kemudian dengan tergesa-gesa ia menuju ruangannya.
Edwin merasa hatinya begitu sesak, ia tidak percaya bahwa Bila masih menyimpan luka dihatinya karena kejadian waktu itu.
Edwin menatap ke arah pak Hadi, dengan tatapan tajam, tatapan dingin yang membuat pak Hadi seolah membeku "sialan, gara-gara kamu, aku jadi tidak bisa menjelaskan yang sebenarnya pada Bila" ia berkata dalam hati.
"Pak Hadi, tolong selesaikan laporan yang belum bapak selesaikan hari ini, saya tunggu jam sembilan" Edwin memerintah pak Hadi dengan tegas, tatapan mata lembut ketika mereka bersama di restoran itu hilang, kini tatapan kejam kembali munghiasi wajah tampan Edwin.
"Ba....baik mas" Pak Hadi menjawab dengan takut, karena pekerjaan itu belum ia selesaikan, malah sama belum disentuhnya, karena ia berpikir bos kecil telah melunak sejak bertemu Bila.
Pak Hadi melirik ke arah Edwin yang berlalu dari hadapannya, dengan wajah kusut ia menuju ruangannya, lalu mendekati Bila yang sudah sibuk dengan laporan-laporan yang harus ia kerjakan.
"Nisa....kamu ngomong apa sama bos kecil?"
"Apa pak?" Bila bertanya dengan heran.
"Kamu tahu ga, bos kecil kembali berubah jadi macan berhati dingin lagi, gara-gara kamu".
"Kok saya sih pak?".
"Kamu baik-baikin bos kecil sana, minta supaya saya diberi waktu sampai sore ini untuk menyelesaikan laporan"
Bila semakin bingung dengan ucapan pak Hadi, lalu pak Hadi bercerita tentang laporan yang harus segera ia selesaikan, Bilmerasa tidak enak, namun ia tidak bisa mbantu apapun, ia tidak mau kalau harus merayu Edwin yang sedang dalam suasana hati buruk.
Pak Hadi masuk ke ruangan keuangan dengan wajah lesu dan tergekan, seolah baru bertemu dan dikejar harimau, ia duduk lesu.
"Mas Wi...wah saya baru kena semprot anak kemarin sore" pak Hadi berkata sambil tertawa.
"Kok bisa, sepertinya sejak kedatangan Nisa mas Edwin berubah, kok sekarang kembali glah lagi?"
"Ga tahu tuh, ditolak sama Nisa ya Nis?" pak Hadi melibatkan Bila.
"Ga lah pak, saya ga ada hubungannya sama hal tersebut lho"
Ketika merekaembicarakan Edwin bu Anis masuk dengan suasana hati yang kurang baik juga.
"Pak Hadi baru dimarahi sama mas Edwin ya?"
"Iya bu Anis" pak Hadi menjawab.
"Wah....seharian ini mas Edwin tuh marah-marah terus seperti awal pulang dari Jepang, baru juga lega beberapa hari" bu Anis menghela napas panjang "mbak Nisa coba mas Edwinnya dibujuk"
"Ih kok saya Bu Anis"
Trio wek-wek menatap dengan tatapan melas ke arah Bila, membuat Bila tidak bisa berbuat apapun kecuali menurut.
"Terus saya harus bagaimana?"
"Ajak mas Edwin makan siang romantis" pak Wijaya mberi ide.
"Jangan... cukup buatkan minuman saja mbak, sepesial buatan mbk Bila"
"Di rayu aja, dikedipin Nisa pasti mas Edwin langsung luluh" pak Hadi menambahkan.
"Haduh...masa harus ngrayu, saya ga bisa pak, makan siang romantis??? konyol" Bila protes "besok tapi ya bu, sepertinya ide paling masuk akal cuma membuatkan minuman buat pak Edwin deh"
"Jangan besok..." trio wek-wek langsung menyangkal pernyataan Bila.
"Mbk Nisa sih, satu-satunya orang yang tidak terkena imbas kemarahan bos kecil, jadi tidak tahu rasanya" Bu Anis menjelaskan "kami itu baru saja bernapas lega, mas Edwin tiba-tiba bersikap lembut, eh hari ini galaknya kumat".
"Iya Nisa, kasihan kami yang tua-tua ini, masak dimarahi bos kecil" pak Hadi meminta "kamu bisa mbayangkan betapa tertejannya kami"
"Emang kak Edwin benar-benar menyeramkan ya bu" Bila tanpa sadar menyebut Edwin dengan sebutan kak, membuat pak Hadi dan pak Wijaya bengong.
Bila tak mengerti mengapa dua pria itu memandanginya dengan tanda tanya besar.
"Nisa...kamu kenal bos kecil sudah lama ya"? pak Hadi mencoba mengorek informasi.
"Iya, pak Edwin kakak kelas saya pak" Bila menjelaskan agar tidak ditanya mac-macam.
Pak Wi dan pak Hadi manggut-manggut mendengarkan jawaban Bila, lain dengan bu Anis yang sudah tahu cerita sesungguhnya.
Jam satu siang Bila dengan ragu masuk ke ruang Edwin, dengan membawa satu cangkir teh manis.
Sambil menahan rasa malu, ia berjalan dengan senyum termanisnya, sementara Edwin hanya diam saja melihat kehadiran Bila, ia masih kesal karena penolakan Bila yang tanpa basa-basi.
"Kak Edwin, ini tehnya aku taruh di sini ya kak" Bila mencoba berkata manis.
"Ya" Edwin masih bersikap jutek.
"Kak...apa kakak ada waktu"
Edwin melirik Bila, walau ia masih kesal tapi ia tidak bisa menampik mangsa empuk didepannya.
"Bicara saja" Edwin masih pura-pura ketus.
"Aku boleh duduk?"
"Silahkan"
Bila merasakan suasana kaku, ternyata melihat Edwin marah mang sesuatu yg mengerikan, bagaimana dengan orang lain, bersikap pada Bila saja ia bisa seketus itu.
Bila duduk didepan Edwin, setelah merasa siap, ia segera berbicara.
"Kak Edwin marah ya sama aku?" Edwin hanya diam tak menjawab membuat Bila kikuk "maaf kak, tapi setidaknya jangan libatkan orang lain"
"Maksut mu?" Edwin menatap Bila dengan tatapan yang dalam.
"Aku tahu kakak seharian ini marah-marah terus, selain tidak baik untuk kesehatan kakak, apa kak Edwin ga kasihan sama pegawai kakak?" Dengan nada lembut Bila mencoba merayu Edwin.
"