webnovel

Keributan

Malam ini, keributan besar terjadi di kediaman Berenice. Teriakan-teriakan penuh kemurkaan terus menggema di bangunan yang dapat dikatakan besar tersebut. Para dayang pun terlihat takut dan gugup, seakan tengah tertangkap basah mencuri oleh majikan.

"Apa yang kalian lihat?! Cepat panggil gadis tengik itu ke sini!" Ibu tiri dengan wajah murkanya menekan tegas tiap kata-kata yang diucapkan. Ia melemparkan piring berisi daging panggang ke sembarang tempat. Membuat suara logam bersentuhan dengan lantai itu timbul, memekakkan kedua telinga.

Lantas, para dayang dengan cepat menganggukkan kepalanya penuh hormat. Sejak tadi, mereka bahkan tidak berani untuk menatap wajah majikan yang terlihat sangat marah. Bergegas pergi menuju sebuah kamar yang berada di ujung, mereka bahkan berlari karena takut kembali mendapat semburan kemarahan.

Tangisan seorang perempuan yang didekap ibu tiri tersebut semakin keras. "Ibuu ... wajahku," rengeknya penuh kesedihan. Dia benar-benar akan terlihat sangat menyedihkan, hingga ibunya akan memberikan hukuman berat terhadap orang yang kini menjadi musuhnya.

Ibu tiri menggertakkan giginya kuat-kuat, tidak terima melihat anak perempuannya seperti ini. "Tenanglah, Anakku. Aku akan memberikan pelajaran untuk gadis kurang ajar itu!" gertak ibu tiri menahan amarah. Dia mengelus rambut cokelat terurai putrinya, sambil menerawang apa yang harus ia lakukan terhadap orang yang telah berani membuat air mata anaknya jatuh.

Sementara kedua anak perempuan lain hanya berdiri dalam diam. Dalam hati, mereka semua marah. Lihat saja. Apa yang akan ibu mereka lakukan, terhadap seorang gadis tengik tersebut!

"K–kak ... ada apa? Mengapa para dayang terus menyeretku ke sini?" Ilona. Dirinya beruntung mendapatkan wajah yang lembut, bak malaikat tanpa sayap. Bola mata hijau zamrudnya terlihat polos, membuat orang yang melihatnya harus beberapa kali menyangkal bahwa dia adalah perempuan yang telah membuat kakak tirinya sendiri menangis.

"Dasar!" Wanita dengan gaun merah mewah, serta riasan yang terpakai, berusaha untuk memberikan jarak dengan anaknya. Ia berjalan mendekati Ilona dengan tampang bengis, tangan kanan penuh cincinnya siap untuk meluncur dan menampar pipi mulus Ilona. Dia tidak akan membiarkan Ilona lolos kali ini.

"Kurang ajar!" Ibu tiri itu tak percaya saat Ilona justru mencekal tangan kanannya kuat-kuat. Gerakannya terpaksa untuk berhenti, karena perempuan yang terlihat lugu itu benar-benar sangat pemberani dan tak terduga.

"Seharusnya, ibu harus menjelaskan apa yang terjadi terlebih dahulu." Ilona berucap. Ia kemudian menghempaskan kasar tangan ibu tirinya, membuat wanita itu mendelik seketika. Tak terima.

"Mulai berani kamu, ya!" bengis ibu tiri. Kemarahannya tengah berada di puncak, dirinya benar-benar terbakar amarah karena ulah Ilona.

Ilona menggelengkan kepalanya. "Tidak ada maksud apa pun dari saya, Ibu. Saya hanya berkata, sebaiknya ibu mengatakan apa yang terjadi terlebih dahulu, sebelum marah-marah tidak jelas terhadap saya. 'Kan, saya tidak tahu apa yang terjadi."

"Kamu–ugh! Dasar gadis tengik menyebalkan!"

"Ibu, Ilona semakin berani. Buat dia jera, Bu! Karena Ilona, wajah Kak Shilla jadi berbintik merah!" Sherly—anak perempuan terakhir itu mengebu-ngebu.

Jeannie menganggukkan kepalanya setuju. Sedang, Shilla masih menangis meraung-raung, tak terima apabila wajahnya tak dapat kembali normal, seperti sedia kala.

Ibu tiri tersebut melihat ke belakang, hanya untuk mendapati Shilla, anaknya, yang masih menangis. Dengan penuh amarah yang berusaha ia tahan, wanita itu kemudian kembali menatap Ilona nyalang. Anak tiri menyedihkan, yang selalu menuruti apa yang dia perintahkan.

Oh, mendapati ibu tirinya yang terlihat sudah kalang kabut, Ilona malah mengangkat kedua ujung bibirnya, membentuk senyuman tipis nan simpul. Perempuan berambut perak, dengan ujung-ujungnya yang bergelombang tersebut kemudian mulai bersedekap dada. Wajah polos dan lugu yang biasa Ilona perlihatkan, kini menjadi seperti lebih ... nakal.

"Hah ...." Ibu tiri membeo pelan. Ilona ... dia–sangat liar. Berbeda jauh dengan yang wanita itu kenal, sangat. Perubahan yang tak pernah dibayangkan. Ibu tiri menggigit bibirnya kesal, begitu mendapati kerlingan mata nakal dari anak tiri yang ia besarkan sebelah mata.

"Kenapa, Ibu? Kenapa wajah Ibu pucat? Ibu sakit?" Ilona setengah memiringkan kepalanya ke kiri, menatap sang ibu tiri dengan penuh kekhawatiran.

Ibu tiri itu lantas menggertakkan giginya kesal. Tidak tahu kenapa, dia tidak suka melihat wajah Ilona yang khawatir terhadapnya.

"Kurang ajar kau, Ilona! Berani-beraninya anak tengil seperti kau–"

"Anak tengil? Bukankah ... aku putri kandung Count Berenice?" Ilona menegakkan kepalanya, tersenyum ramah pada ibu tiri yang sejak tadi, terlihat telah kehabisan kata-kata.

"Kau ...."

"Ibu! Kenapa ibu tak menghajarnya? Cepat buat anak itu menyesal, Bu!" Sherly berseru dari belakang, ia terus tak terima saat beberapa kali Ilona menyudutkan ibunya. Kenapa tidak langsung dihajar saja? Kunci di dalam gudang tanpa memberinya makan, misalnya. Sherly benar-benar ingin agar kakak tirinya tersebut segera dihukum.

Terlihat, wanita glamor yang selalu dipanggil 'ibu' tersebut gelisah. Wajahnya dipenuhi oleh tekukan, sehingga membuatnya sangat menakutkan.

Di dalam hati, Ilona tertawa. Ini bahkan belum seberapa.

"Sherly, sudah kakakmu ini bilang. Bahwa, kakakmu ini putri kandung Count Berenice." Ilona menatap perempuan yang paling kecil itu lekat-lekat. Jika dihitung, jarak antar usia Ilona dan Sherly adalah tiga tahun. Kemudian, Ilona tersenyum. "karena itulah, ibu tidak berani membuatku terluka parah. Bukan begitu, Ibu ...?"

"Hentikan, dasar anak kurang ajar! Kau tidak tahu sopan santun, hah?! Cepat minta maaf pada Shilla! Cepat!" Wanita yang terlanjur dikuasai amarah tersebut menatap Ilona bengis. Tangan kanannya menunjuk ke arah putri kedua, Shilla. Detak jantung ibu tiri tampaknya tak beraturan, terbukti dari dadanya yang terus naik turun. Dia kesulitan bernapas, karena Ilona yang sungguh berani padanya.

Mengangguk, kemudian Ilona berjalan pelan ke arah Shilla, melewati ibu tiri dengan perasaan penuh kemenangan.

"Kak Shilla, saya minta maaf." Ilona menjulurkan tangannya, tetapi langsung ditepis begitu saja oleh Shilla. Dia, sangat marah.

"Berani-beraninya! Aaaaa!" Shilla melepaskan diri dari dekapan Jeannie. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri dengan brutal. Wajahnya penuh dengan bintik-bintik merah, ditambah dengan riasannya yang luntur karena menangis. Shilla ... sangat menyedihkan.

Perempuan itu berjalan mendekat Ilona, lalu menamparnya berkali-kali. Ia tidak akan membiarkan orang yang telah membuatnya hancur, dapat dengan mudah lolos.

Jeannie dan Sherly tersenyum, menarik kedua ujung bibirnya lebar-lebar. Tontonan yang wajib untuk disaksikan.

Menatap ke belakang, ibu tiri itu setengah terkejut. Sedikit ragu, tetapi pada akhirnya ia terkekeh pelan. Sangat kontras, perpaduan antara wajahnya yang telah dipenuhi dengan berbagai tekukan, ditambah dengan kekehannya. Dia bagaikan wanita-wanita jahat yang selalu ada di serial-serial film.

Ilona pasrah. Hah, dua sisi pipinya bengkak, Shilla belum berhenti juga untuk menamparnya. Air mata terus berjatuhan, perempuan yang terlihat tak berdaya tersebut menangis pilu. Tidak. Ilona tidak ingin menangis. Bukan dirinya yang menitikkan air mata terus-menerus. Ini semua karena, tubuh lemah ini. Tubuh rapuh, yang selalu saja menangis hanya karena sebuah masalah kecil.

"Ilona!"