Andi saja sampai di lokasi dimana Khalid dan Amira sedang bersitegang. Ia memandang Khalid yang masih uring-uringan sambil memandang Amira dengan kebencian yang nampak sangat nyata.
"Amira? Ada apa denganmu? Apakah dia menyakitimu?"
Andi mendekati Amira yang masih bersusah payah bangkit. Ia mengulurkan tangannya dan membantu Amira untuk berdiri. Khalid yang melihat tindakan yang dilakukan oleh Andi hanya mendengus kesal. Dalam hati ia mengejek tindakan asistennya yang lebih memihak Amira daripada dirinya.
"Selalu seperti itu." gumam Khalid. Andi yang mendengar gumaman Khalid hanya memandang bosnya sesaat lalu fokus kembali pada Amira. Entah mengapa, Andi merasa ada ancaman dari tatapan mata Khalid untuknya.
"Apa maksudnya, Tuan? Apakah kau cemburu padaku?"
"Cemburu? Aku cemburu padamu karena mempunyai teman seorang wanita lemah seperti dia?"
Khalid menggeleng lalu meninggalkan Amira dan Andi dengan terus menggerutu. Andi hanya bisa tersenyum dan mengantarkan Amira ke motor yang terparkir di bawah pohon.
"Apakah bisa naik motor sendiri? Kalau tidak bisa, biar aku antar kau ke rumah'
Amira mengangguk, lalu melangkah menuju scoopy nya. Ia pandang Andi sesaat lalu kembali fokus pada motor matic yang selalu menemaninya kemanapun ia pergi.
"Insya Allah bisa. Kau pergilah! Aku terima kasih ya karena kau telah menolongku."
Andi mengangguk. ia bahagia melihat binar di mata Amira. Ekspresi yang jarang ia lihat dari gadis ayu yang beberapa bulan ini ia kenal. Ia segera masuk ke mobilnya setelah melihat Amira meninggalkannya sendiri.
"Ya Tuhan, aku kasihan pada Amira. Gadis cantik yang selalu mendapat perlakuan buruk dari bosku. Lindungi dirinya dalam kondisi apapun!'
Andi hendak menyalakan mobilnya ketika tiba-tiba sebuah ketukan di kaca mobil mengejutkan dirinya. Khalid berdiri di luar dan menunggunya keluar. Andi segera membuka pintu mobil dan menatap Khalid yang masih berkacak pinggang.
"Ada apa, Tuan?'
Khalid masih dengan tatapan matanya yang tajam. Belum ada satu kalimat untuk mengkonfirmasi mengapa dia kembali dan menemui Andi.
"Apakah kau sudah menjadi pengkhianat yang memilih membela musuh daripada bosmu sendiri?"
Andi mencerna pertanyaan Khalid. ia tidak seperti apa yang Khalid ucapkan. Kedatangannya untuk menolong Amira, murni karena dia peduli. Bukan ingin membela musuh apalagi berkhianat pada atasannya.
"Aku hanya peduli padanya, Tuan. Bukan ingin mengkhianati kepercayaan Tuan padaku. Suer!"
"Lalu apakah aku harus percaya begitu saja pada ucapan sampahmu? Kau nyata-nyata membantunya dan membebaskannya dari ancamanku. Padahal selama ini kau tahu kalau aku sangat menanti saat ini. aku ingin membuat dia tahu bagaimana rasanya dicemooh."
Andi menghela nafas dalam. ia sama sekali tidak percaya kalau Khalid membenci Amira dengan kebencian yang sangat nyata. Bahkan dia sudah mengabaikan prinsipnya sendiri, bahwa pantang baginya mengganggu wanita. Selama ini Andi paham, Khalid selalu berperan sebagai pembela wanita yang tertindas oleh lawan jenis. Tapi sekarang, Khalid justru melakukan penindasan.
"Apa salah Amira padamu, Tuan? Selain dia mengatakan kalau Tuan manusia paling tidak punya hati karena Tuan pergi ketika kekasih meninggal? Aku kira dia sama sekali tidak memiliki kesalahan lain."
"Aku katakan jangan membelanya di hadapanku! Aku benci kamu dan dia"
Khalid meninggalkan mobil Andi dan melangkah menuju mobilnya. Ia pandang tempat pertemuannya dengan Mawar Jingga dan juga Amira. Tempat yang sama namun dengan perasaan yang berbeda.
Saat ia melihat Mawar Jingga, ia merasakan bahagia tiada tara. Ia berangan-angan seandainya bisa memiliki gadis dengan penutup wajah itu, dia pasti akan sangat bahagia karena menjadi pemuda yang beruntung.
Tapi saat mengingat pertemuannya dengan Amira, emosinya kembali memuncak. Ia tahu tidak ada kesalahan fatal yang sudah dilakukan Amira kepadanya, namun entah mengapa rasa benci belum mau pergi dari dirinya.
Khalid duduk di kap mobil sambil terus mencoba meneliti perasaannya. Kebencian dan kebahagiaan yang silih berganti menghampirinya. Ia mendesah.
"Maafkan aku, Amira. Aku sudah mendholimi kamu hanya karena kamu membela Mutia. Aku tahu aku yang salah. Andi yang benar. Kau juga benar. Aku akan mencoba memperbaiki diriku mulai sekarang"
Setelah yakin dengan keputusan yang akan dia ambil, Khalid merasa sedikit ringan. Beban berat yang menghimpit sedikit demi sedikit menghilang. Perasaannya kembali ringan.
"Apakah Tuan yang memesan soto di sini?'
Seorang ibu menghampirinya dan menyerahkan plastik warna hitam kepadanya. Khalid hanya memandang plastik yang diulurkan kepadanya tanpa berminat mengambilnya.
"Mungkin gadis tadi yang memesan, bukan aku"
Ibu paruh baya di hadapan Khalid menatap Khalid sesaat. Ia mencoba meyakinkan bahwa dirinya tidak keliru karena telah menyerahkan plastik berisi soto yang dipesan pelanggannya.
"Aku tidak salah, Tuan. Aku merasa ada laki-laki yang memesan soto dan memintaku untuk membungkusnya tiga porsi. Kalau kau menolak berarti aku akan kehilangan keuntunganku hari ini"
Khalid mengangguk. ia tidak tega menyaksikan kesedihan di wajah Ibu paruh baya di hadapannya karena penolakan yang ia lakukan. Tangannya segera menerima plastik lalu meletakkannya di dekat badannya. Tangannya segera merogoh saku celananya mengambil dompet lalu menyerahkan selembar uang ratusan ribu kepada ibu paruh baya yang sedang menunggu pembayaran.
"Ambillah kembaliannya."
"Maaf, Tuan. Saya hanya menerima pembayaran pas. Tidak menerima kelebihan kembalian."
Khalid memandang wanita di hadapannya dengan heran. Selama ini yang ia tahu semua pedagang suka apabila diberi kelebihan kembalian, namun tidak dengan penjual soto di hadapannya. Ia menolak pemberiannya dengan berani tanpa ada ragu sama sekali.
"Baiklah, Bu. Saya menunggu uang kembalianku segera karena aku akan pulang."
Penjual soto itu mengangguk lalu merogoh sakunya dan mengambil beberapa lembar uang sepuluh ribuan dan memberikannya pada Khalid. Khalid menerima kembalian dengan senyum. Ada satu pembelajaran yang ia ambil dari sikap penjual Soto yang tidak mudah menerma pemberian orang begitu saja.
Setelah menerima kembalian dari wanita penjual soto, Khalid yang masih terpana menerima bungkusan soto yang tidak ia pesan.
"
Mau kuberikan pada siapa bungkusan ini?" gumam Khalid sambil memandang plastik hitam yang teronggok di kap mobilnya. Ia mengalihkan pandangan ke sekeliling, mencoba mencari seseorang yang akan ia jadikan sebagai penerima sedekahnya hari ini. beberapa menit banyak yang melintas di depannya, namun penampilan mereka yang rata-rata sangat rapi membuat ia tidak mengulurkan sedekahnya.
Beberapa menit kemudian, muncul seorang ibu paruh baya melintas di depannya dengan menggendong anak kecil. Ia memandang khalid yang masih memandang sekeliling.
"Hei, Bu. Apakah aku boleh memberikan sedekah berupa tiga porsi soto ayam untuk keluargamu? Aku baru saja membeli ini dari warung sebelah, tapi aku lupa kalau aku hanya tinggal sendiri di rumah. Aku sudah sangat kenyang makanya aku tidak bisa membawa ini ke rumah."
"So-soto, Tuan? Kau memberikan tiga bungkus soto ayam padaku?'
"Iya. Silakan, ini untukmu. Aku sudah kenyang dan tidak lagi memerlukan ini untuk keluargaku.'
"Terima kasih, Tuan. Terima kasih"
Ibu paruh baya itu mengangguk. wajahnya memandang langit seraya mengucapkan sesuatu yang membuat Khalid merasa sangat trenyuh.