"Aku kuliah di UNOH. Universitas Orang Hebat"
"Wah, kau mahasiswa UNOH? Mengapa aku baru tahu? Aku tinggal tak jauh dari UNOH."
Mata Amira membelalak, mendengar Anton tinggal di sekeliling UNOH. ia tersenyum lalu mengangguk. Amira lupa dimana Anton tinggal. Yang ia tahu, Anton selalu mengendarai motor gede saat berangkat dan pulang sekolah ketika mereka sama-sama di SMA.
"Kau memang tinggal di sana sejak dulu?"
"Di sekitar UNOH?"
"Iya."
Anton menggeleng. ia menundukkan wajahnya seolah ada beban berat yang sedang menghimpit dirinya. Amira menggeleng. ia ulurkan tangannya dan menyentuh pundak Anton.
"Tidak usah cerita kalau kau tidak mampu. Aku tidak akan memaksa. Maaf"
"Aku kehilangan rumahku saat mendaftar menjadi polisi, Amira."
"Maksudnya?"
Anton bercerita semua pengalamannya kepada Amira, dari kehilangan rumah yang ditinggalinya karena ayahnya menggadaikan rumahnya dan tidak bisa menebus dalam jangka waktu yang ditentukan. Keluarganya terpaksa mengontrak rumah kecil di daerah dekat dengan UNOH hingga sekarang.
Kehidupannya yang memprihatinkan kini membuat dia menyesal, mengapa harus memaksakan diri menjadi seseorang yang sebenarnya tidak ia inginkan. Polisi. Itu sebenarnya bukan cita-citanya. Ia ingin menjadi sarjana teknik sipil dan mengambil alih proyek besar yang sudah direbut oleh pamannya selama beberapa tahun terakhir. Pamannya yang rakus mengambil paksa proyek real estate milik ayahnya sehingga mereka bangkrut sekarang.
Amira mendengarkan cerita Anton sambil sesekali menarik nafas dalam. ia tidak habis pikir dengan apa yang dialami Anton. Siswa paling populer di sekolahnya kala itu. dalam hati ia menyesalkan keputusan keluarga Anton yang menjual rumah mereka dan menyerah begitu saja pada pamannya.
Anton memandang Amira yang masih menunjukkan wajah prihatin atas peristiwa yang menimpanya tanpa mengingat bahwa dia sedang menilang Andi. Pria yang kini bersembunyi di belakang punggung Amira.
"Dia siapamu, Mir?"
Amira menatap Andi yang tersenyum kepada mereka lalu. Ia ingat, Andi adalah sahabat Mutia saudara sepupunya. Ia yang sudah bersusah payah berjuang untuk membujuk Khalid agar mau mengikuti prosesi pemakaman jenasah saudaranya.
"Ia saudaraku. Maaf kalau sudah membuat kesalahan. Aku yakin dia sedang mengjearku karena ada urusan, iya kan Mas?"
Andi mengangguk begitu saja mengiyakan pertanyaan Amira. Dalam hati ia kagum pada kecerdasan gadis yang dibenci bosnya. Andi mengulurkan tangannya pada Anton dan mengajaknya berjabat tangan. Anton menyambut uluran tangan Andi dan mengenalkan dirinya sebagai sahabat Amira.
"Andi"
"Anton, sahabat Amira."
"Aku saudara sekaligus sahabat Amira," sahut Andi tak mau kalah. Ia tersenyum licik memandang Amira yang masih tersenyum mendengar ucapannya.
"Kalau begitu, ayo kita rayakan pertemuan kita ini dengan makan siang bersama!"
Amira dan Anton saling pandang mendengar usul Andi. Mereka mengangguk, menyetujui permintaan orang yang baru saja mereka kenal. Amira menyetujui permintaan Andi karena ia ingin mengenal lebih jauh asisten Khalid, mantan kekasih Mutia. Ia ingin mengorek lebih banyak informasi tentang mantan saudara sepupu yang semena-mena kepada Mutia.
Sedangkan Anton mengiyakan permintaan Andi karena ia ingin mendekat kepada Amira, gadis yang dikaguminya sejak ia masih di SMA. Sejak dulu ia menginginkan untuk dekat dengan gadis yang merupakan keturunan bangsawan yang menampilkan kesederhanaan di depan siapapun. Itu yang membuat Anton merasa tertarik pada Amira.
"Kita mau makan dimana memangnya?"
Amira memandang Andi yang masih mengerutkan dahinya. Ia memang memiliki rekomendasi tempat yang paling cocok untuk pertemuan mereka namun ia belum mau mengatakan tempat itu pada keduanya.
"Ikuti saja mobilku. Kita akan bertemu di tempat palng nyaman yang akan kita jadikan tempat makan siang kita. Bagaimana?"
Amira mengangguk. Anton juga sama. Mereka tak punya pilihan tempat yang bagus untuk makan siang karena mereka memang tidak pernah menghabiskan waktu makan di luar rumah.
Andi segera memasuki mobilnya dan menjalankannya menuju restoran terbaik milik Khalid di jalan XX. Sedang Anton dan mengikuti Amira dan Andi di belakang untuk mengantisipasi kemungkinan kalau ada kendaraan yang akan membahayakan Amira. Setengah jam kemudian, mereka sampai di restoran mewah di sebuah mall terbesar di Yogyakarta.
Andi segera memakirkan mobil di tempat khusus, sedang Amira dan Anton memarkirkan motor di tempat parkir biasa. mereka menunggu Andi di bawah pohon palm yang berjajar di sepanjang jaan masuk menuju mall. Andi segera menghampiri mereka dan mengajak mereka masuk ke dalam restoran.
Andi sudah memesan tempat khusus untuk pertemuan pertamanya dengan Amira, kini mulai melangkah menuju ruang yang sudah dipesannya.
"Pesanan atas nama Andi Pratama, Mbak"
"Silakan, Pak. Ruang VIP nomor empat."
Andi melangkah menuju tempat yang disebutkan pelayan dan menyuruh dua orang teman barunya untuk duduk. Seorang pelayan datang membawakan makanan pembuka dan menghidangkannya di meja mereka. Amira dan Anton saling pandang, tidak percaya dengan pelayanan cepat yang dilakukan oleh restoran KH, tersebut.
"Cepat sekali, apakah kau sudah memesannya sebelum datang ke sini?'
Andi mengangguk sambil tersenyum. Amira mengerucutkan bibirnya, mencoba menetralisir perasaan tak senangnya. Ia tahu Andi bukan orang biasa. ia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang biasa seperti dirinya dan Anton, namun melihat kesewenang-wenangan Andi, Amira mulai risih. Ia mencoba menghilangkan rasa sebalnya dengan membuka ponsel dan memberikannya pada Anton yang masih sibuk memegang ponsel.
"Tulis nomormu di sini, Ton. Kalau aku ada masalah, aku bisa menghubungimu dan meminta pertolongan padamu."
Anton memandang Amira lalu menerima ponse Amira lalu mengetikkan nama dan kontaknya di daftar kontak baru. Ia segera menelpon nomornya dan menyimpan nomor Amira dengan bahagia. Awalnya ia canggung dang malu ketika akan meminta nomor Amira, namun Allah berkehendak lain. wanita yang dikaguminya justru meminta nomornya lebih dulu. Andi yang melihat kegiatan mereka segera mengulurkan tangan meminta ponsel Amira untuk meminta nomor Amira. Anton menyerahkan ponsel Amira tanpa seijin pemiliknya, membuat Amira tak mampu mengucapkan penolakan.
"Akhirnya aku mendapatkan nomor kontakmu." Batin Andi sambil menyimpan ponselnya di saku. Anton dan Andi akhirnya saling membagi pengalaman. Mereka berbincang seolah mereka adalah sahabat yang lama tidak bertemu. Saling berbagi dan saling memberi informasi tentang diri mereka masing-masing membuat Amira hanya sebagai pendengar.
"Dia sahabat masa SMA ku"
Kalimat Anton membuat Amira tersadar dari lamunannya. Ia sama sekali tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Angannya terlalu melayang jauh pada perasaan tak sukanya pada Andi yang sangat ingin ikut campur urusannya.
"Kuliah di jurusan apa, Mir?'
"Aku?"
"Iya, siapa lagi? Di sini yang kuliah kan hanya kamu seorang. Aku mana bisa membiayai hidupku sambil kuliah dengan biaya selangit." Ucap Anton merendahkan diri. Ia benar-benar sedih mengingat nasibnya yang menjadi orang miskin secara tiba-tiba sehingga harus memupus harapan yang sudah melambung tinggi sejak masa SMA.
"Aku jurusan Psikologi."
"Wah, hebat dong, calon psikolog"
Amira diam. Ia sama sekali tidak berminat menanggapi ucapan Andi yang mencoba memancing pendapatnya.
"Biasa saja."
"Tidak biasa saja. Aku sejak dulu ingin sekali kuliah di UNOH dan mengambil jurusan Psikologi. Boleh tidak ya kalau aku mendaftar menjadi mahasiswa di sana?"
Amira mendesah. Ia tidak bisa membayangkan kalau dia satu kampus dengan Andi, laki-laki yang menyebalkan yang terpaksa masuk ke dalam daftar temannya.