webnovel

Bab 18: Bad Situation

Setelah pertemuannya dengan Dirga, Ganendra jadi semakin menghawatirkan Hana. Gadis itu bahkan sama sekali tak mencarinya atau sekadar menghubunginya. Ganendra bahkan sampai membuka blokir pada nomor telepon Hana, bersiap kalau suatu saat Hana akan menghubunginya. Namun, hingga detik ini Hana belum juga menghubunginya dan entah bagaimana kabar gadis itu sekarang. Mungkin ia benar-benar hidup tenang tanpa kehadiran Ganendra. Memikirkannya, membuat Ganendra tersenyum miris.

Malam ini pekerjaan tidak terlalu banyak sebab Ganendra sudah menyelesaikannya sejak beberapa hari yang lalu. Lelah sudah tak lagi ia rasakan, berbeda dengan Ares yang terus-terusan mengeluh dan menuntut cuti. Ganendra tidak tahu di mana Ares sekarang, mungkin ia sedang istirahat di pantry atau tidur di ruang karyawan. Sekilas, Ganendra melirik jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Ini sudah terlalu larut untuknya mendatangi restoran, tapi Ganendra sudah tidak sanggup lagi menahan rasa rindunya pada Hana. Dengan satu gerakan, akhirnya Ganendra bangkit dari kursinya dan meraih jaket hitam yang akhir-akhir ini selalu ia kenakan. Persetan dengan waktu, entah nantinya Ganendra akan bertemu atau tidak dengan Hana, dirinya hanya akan pergi terlebih dulu.

Seperti orang kesetanan, Ganendra berlari sekuat yang ia bisa. Namun, persis seperti dugaannya, restoran sudah tutup dan tak ada seorang pun di sana. Seraya mengatur napas perlahan, Ganendra kembali tersenyum miris. Hanya karena sebuah entitas tak terlihat yang disebut cinta, dirinya benar-benar menjadi orang lain. Ia menyadari hal itu, namun perasaannya selalu menang di atas segalanya. Setelah menatap nanar bangunan-bangunan yang gelap di seberang jalan, Ganendra menghela napas pelan. Ini sudah terlalu larut, sebentar lagi Ares pasti akan menghubunginya dan memintanya kembali ke kantor. Namun, sebuah jemari mungil menahan lengan jaketnya. Disertai suara lirih yang begitu pelan, Ganendra kenal betul siapa pemilik suara ini.

"Tunggu," ucapnya pelan.

Dengan satu gerakan, Ganendra menoleh dan mendapati Hana yang tengah tertunduk sembari masih memegangi lengan jaketnya. Entah apa yang terjadi pada gadis itu, untuk sesaat tubuh Ganendra membeku. Ketika kewarasannya sudah kembali, Ganendra segera melepaskan cengkeraman Hana pada lengan jaketnya dan bergegas pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ganendra hanya tidak ingin, kalau terlalu lama berada di hadapan Hana, ia bisa kehilangan akal sehatnya kembali dan memeluk Hana tanpa mau melepasnya lagi. Namun suara lirih itu kembali terdengar samar.

"Pak Ganendra ... izinkan saya bicara."

Lagi-lagi, tubuh Ganendra seperti disiram air dingin. Dirinya membeku. Hana yang masih berdiri di hadapan Ganendra akhirnya memberanikan diri menatap mata sipit Ganendra. Bola mata hitam yang menatapnya dingin, kini sudah tak ada lagi. Hanya ada sorot sendu, serta kantung hitam di sekitar mata itu. Ganendra terlihat begitu lelah saat ini. Namun kondisi Hana juga tak jauh lebih buruk. Ada lebam di sudut bibirnya, juga mata bengkak dan bekas-bekas air mata yang masih mengalir di pipinya. Jelas kalau ada hal buruk yang terjadi pada gadis itu.

"Kamu kenapa? Siapa yang menyakiti kamu?!"

Sekuat apa pun Ganendra menahan diri, pada akhirnya pertahanannya roboh juga. Melihat tangis Hana merupakan kelemahan terbesar Ganendra. Ia maju satu langkah, mendekat kepada Hana dan menyingkap rambut yang menutupi sebagian wajah Hana. Lebam-lebam itu terlihat semakin jelas, namun Hana belum juga bicara.

"Siapa yang melakukan ini? Tolong bilang sama saya, Hana!" Ganendra mulai frustrasi.

Tidak menjawab, Hana kemudian menggeleng pelan seraya memaksakan senyumnya. Hal itu sukses membuat hati Ganendra berdenyut nyeri. Melihat orang yang teramat dicintainya terluka, ditambah dirinya yang tidak bisa melindungi wanita itu, membuat Ganendra tidak bisa untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri.

"Pak Ganendra," ucap Hana pelan. "Apa penawaran Bapak waktu itu masih berlaku?"

Ganendra yang sama sekali tidak mengerti dengan ucapan Hana kemudian menggeleng pelan. "Penawaran yang mana maksud kamu?"

"Saya bersedia Bapak sewa selama tiga bulan sebagai tunangan, kalau penawarannya masih berlaku." Hana menarik napas, kemudian mengembuskannya pelan-pelan. Menahan agar tidak ada air mata yang menetes sekarang. "Saya bersedia jadi apa saja, saya akan melakukan apa saja, asal Bapak beri saya uang."

"Apa? Kenapa sekarang–" ucapan Ganendra terhenti, saat sebuah dering ponsel mengacaukan pembicaraan mereka.

"Halo, Dir?" tanya Hana setelah menggeser tombol hijau pada ponselnya. "Iya, Kakak segera ke sana."

Hana kemudian menyimpan ponselnya ke dalam saku, tatapannya kini beralih pada Ganendra yang masih menatapnya heran. "Kita bicara lagi nanti, saya harus segera pergi."

"Hana, kita belum selesai," ucap Ganendra, sebelah tangannya menahan lengan Hana. "Kenapa baru sekarang? Dan apa yang terjadi sama kamu? Kamu mau ke mana? Jangan bikin saya gila, Hana! Tolong beri tahu saya apa yang terjadi, saya akan lakuin apa pun tanpa kesepakatan. Saya mohon, Hana."

"Ibu ... Dirga, keluarga saya, Pak," lirih Hana pelan, tubuhnya hampir limbung kalau-kalau tangan kekar Ganendra tidak segera meraihnya ke dalam pelukan.

"Hana!"

"Pak Ganendra ... saya memang nggak tahu diri, saya sadar saya gadis rendah, Bapak boleh berpikir apa aja tentang saya. Maafkan saya, Pak. Tolong saya ... Ibu di rumah sakit."

Setelah mengatakan hal tersebut, tubuh Hana benar-benar kehilangan keseimbangan pun Hana yang kehilangan kesadaran. Dengan cepat, Ganendra menghubungi Ares dan memintanya mengantar Hana ke rumah sakit. Entah mengapa, segalanya malah menjadi kacau begini. Ganendra tidak pernah menyangka kalau pertemuannya dengan Hana justru di saat yang paling buruk.

***

"Sebenarnya apa yang terjadi, Ndra?" tanya Ares, tepat saat keduanya tiba mengantar Hana ke rumah sakit.

Ares yang tiba-tiba dihubungi Ganendra begitu terkejut saat mendapati Hana yang sedang pingsan dalam dekapan Ganendra. Itu bukan pemandangan yang baru baginya, hanya saja semua lebam dan mata bengkak Hana menjadi pertanyaan besar dalam benak Ares. Apa yang sebenarnya terjadi kepada Hana, juga Ganendra saat ini.

"Saya juga nggak tahu, Res," jawab Ganendra pelan, ia mengusap wajahnya kasar. "Tolong kamu urus administrasinya, biar saya yang cari tahu ruang rawat ibunya."

Ares mengangguk seraya meninggalkan Ganendra dan mengurus segala keperluan Hana. Di tangan Ganendra, ia masih memegang ponsel Hana, bersiap menghubungi Dirga. Namun, belum sempat ia menghubungi Dirga, remaja itu sudah berlarian di hadapannya dengan wajah yang lebih banyak luka dan darah. Bahkan Dirga masih memakai seragam sekolah yang kini kelihatan kusut dan kotor bercampur darah. Melihat Ganendra di hadapannya, Dirga langsung memeluk lelaki itu. Entah apa yang mendorongnya, Dirga hanya merasa dirinya bisa bersandar pada Ganendra.

"Mas ... tolongin aku," lirihnya pelan.

***