webnovel

Chapter 28: Kau Berbeda

Aku Yurisako Ayame. Aku tinggal di kota pinggiran. Aku tinggal di sebuah apartemen yang cukup kecil bersama kedua orang tuaku dan kakak laki-lakiku. Masa kecilku sepertinya tidak cukup damai. Ayahku pemabuk dab Kakakku bergabung ke geng balap liar. Ya sama saja pemabuk si. Ibuku bekerja sebagai penjahit disebuah usaha swasta. Sedangkan aku hanya berusaha bersekolah dan menjadi anak baik. Aku ingin menghargai kerja keras dan usaha ibuku dalam membiayai aku.

Di sekolah, aku adalah murid pintar, terpintar malah. Di sekolah, aku biasa dimintai jawaban oleh segerombolan laki-laki. Aku menganggapnya sedekah dan sering memberikan jawaban kepada mereka. Aku seperti itu hampir setiap hari.

Pernah suatu hari, aku tidak bisa memberikan mereka jawaban pekerjaan rumah mereka karena aku sendiri tidak tahu jawabannya. Mereka membawaku ke halaman belakang sekolah dan memukuliku di sana. Aku tidak bisa bertarung saat itu. Aku ingin melawan tapi aku tidak bisa. Setelah mereka selesai memukuliku, aku hanya tergeletak di halaman belakang sekolah saat itu. Tidak lama kemudian, ada seorang gadis yang menghampiriku. Dia membawa obat-obatan dan mulai mengobati luka-lukaku.

Aku mulai bertanya, "Siapa kau?"

"Ella," jawab gadis itu. "Aku menemukanmu terbaring penuh luka di sini. Jadi aku pergi mengambil obat-obatan dan merawatmu."

"Siapa namamu?" tanyanya sembari mengobati lukaku.

"Sako," jawabku.

"Terima kasih," ujarku. Ella berbicara dengan nada dingin tapi aku bisa merasakan kalau dia sebenarnya memiliki hati yang hangat

Saat pulang sekolah, aku kembali ke halaman belakang sekolah untuk melihat apakah ada barangku yang jatuh ketika dipukuli anak-anak laki-laki tadi. Ketika aku ke halaman belakang sekolah, aku melihat Ella yang sedang berlatih bela diri di halaman belakang sekolah. Aku menghampirinya dan menyapanya, "Hallo Ella."

"Oh Sako," ujarnya sambil mengusap keringat.

"Kau berlatih bela diri?" tanyaku.

"Iya," jawabnya.

"Kenapa? bukannya kita masih terlalu kecil untuk berlatih hal seperti ini? apa kau ikut turnamen bela diri?" tanyaku.

"Ya tidak salah juga. Di area rumahku rawan begal jadi kalau tidak bisa bela diri ya gawat sudah," jawabnya.

"Begitu ya. Hmm bagaimana kalau kita pulang bareng," ajakku.

"Ayo saja," ujar Ella.

Ella membereskan tas-nya dan mengenakan jaketnya. Ella dan Aku pulang bersama. Aku berbincang-bincang dengannya. Kami sempat berhenti sebentar di sebuah toko klontong. Aku membeli minuman sedangkan Ella membeli permen. Aku meminum minumanku sedangkan Ella mengemut permennya sembari berjalan. Kami berdua sampai di pertigaan.

"Aku akan belok ke kanan. Kau luruskan?" tanya Ella.

"Iya. Tapi aku bisa juga belok ke kanan," jawabku.

"Lebih baik jangan. Kau lurus saja ke depan," ujar Ella.

"Ayolah aku ingin bersama sedikit lebih lama," ujarku.

"Yasudahlah," ujarnya.

Aku dan Ella mulai berjalan belok ke kanan. Jalan itu agak sepi dan sedikit mencekam. Aku sedikit takut dan aku tidak berani sedikit menjauh dari Ella. Aku melihat wajah Ella yang biasa saja. Harusnya wajar karena dia pulang melewati jalan ini. Ketika kami sampai di pertigaan lagi, kami berdua di kelilingi enam orang. tiga di belakang kami dan tiga di depan kami.

"Hey-hey lihat siapa yang ada di sini," ujar salah satu orang itu.

"Hmm kita bekap mereka lalu kita minta bayaran kepada orang tua mereka," ujar salah satu orang yang lain.

"Jangan bergerak," bisik Ella kepadaku.

Salah satu dari orang-orang itu mulai berjalan mendekat. Ella tiba-tiba menembakkan stik permennya dari mulutnya ke wajah orang itu. Ella langsung bergerak menendang dagu orang itu. Ella melesat ke belakangku. Ella melompat tinggi dan menendang wajah ketiga orang yang ada di belakangku. Dua orang di depanku mencoba melawan Ella. Ella dengan lincah melewati mereka dari sela-sela kaki mereka. Ella melompat dan menendang kepala kedua orang itu. Keenam orang itu lari terbirit-birit setelah terkena tendangan Ella. Aku kagum karena walau Ella hanya memiliki tinggi anak sekolah dasar, Ella mampu mengalahkan orang dewasa.

"Kau akan belok ke kiri kan," ujar Ella.

"Iya," jawabku.

"Aku akan belok ke kanan. Seharusnya di jalanmu sudah aman. Sampai jumpa besok," ujarnya.

"Sampai jumpa." Kami pun berpisah. Aku sedikit iri dengan kemampuan Ella. Aku mulai berfikir untuk meminta Ella melatihku

***

Beberapa menit aku berjalan dan aku sampai di rumah. Setibanya di rumah, aku seperti biasa ganti baju dan mandi. Aku mulai mengambil sapu dan membersihkan rumah. Aku menyapu sembari mendengar ayah yang teriak-teriak karena mabuk. Tidak lama kemudian, ibu pulang. Aku menyapanya di pintu dan ibu membalasku dengan senyuman. 

Ibu mengganti baju dan segera pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Aku pergi ke kamar untuk belajar. Aku sedikit terganggu dengan teriakan-teriakan ayah dan biasanya aku menutup telingaku dengan bantal. 

Ketika malam hari, Aku pergi ke dapur untuk makan malam. Kakak masih belum pulang karena biasanya dia masih bermain dengan geng motornya. Aku pergi ke dapur dan melihat ayah yang sudah ada di meja makan menunggu Ibu menyajikan masakannya. Ibu menyajikan semangkuk sup untuk Ayah dan Aku. Aku mulai memakan sup itu dan rasanya enak. Tapi saat Ayah mulai memakan sup itu, Ayah langsung melempar mangkuk sup itu ke Ibu.

"Dasar perempuan jalang! Berani-beraninya kau membuatkanku makanan seperti ini!" sentak Ayah. "Kalau jadi istri yang becus sedikit!" sentak Ayah menampar Ibu.

"Ayah!" Aku memegangi tangan Ayah.

Ayah memukul wajahku membuatku tersungkur di lantai.

"Keluarga tidak becus! punya istri sama anak tidak becus semua!" sentak Ayah.

Aku sebenarnya ingin melawan, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Ibu sempat ingin membawaku kabur dari rumah namun Ayah mengancam akan membunuhku jika ibu berani-berani kabur dari rumah. Aku tidak ingin ini terus terjadi, pikirku sebelum Ella terlintas di kepalaku.

"Aku ingin bisa bela diri," gumamku.

***

Keesokan harinya saat pulang sekolah, aku melihat Ella yang berjalan menuju halaman belakang sekolah. Aku mengikutinya diam-diam. Saat berada di belakang sekolah aku melihat Ella yang membuka jaketnya dan menaruh tas-nya. Aku mengintip di balik pagar di dekat sana. Ella meminum air yang ada di botolnya terlebih dahulu sebelum berkata, "aku tahu kau di sana. Keluarlah."

Aku sempat terkejut Ella mengetahui bahwa aku membuntutinya. Aku pun berdiri menghampiri Ella.

"Kenapa kau di sini?" tanyaku.

"Hanya berlatih sedikit. Aku tidak punya tempat bagus di rumah jadi di sini saja," jawabnya.

"Begitu ya," ujarku. Aku ingat dengan kejadian tadi malam. Tekadku bulat, aku ingin hidup tenang dengan ibuku.

"Umm... Ella, apa aku boleh minta bantuanmu?" tanyaku.

"Bicara saja," jawabnya.

"Aku ingin belajar bela diri darimu," ujarku.

"Hmm... boleh saja. Tapi apa kau siap? tidak mudah lo," ujarnya.

"Aku sangat siap."

Hari demi hari berlalu. Latihannya juga tidak mudah. Dia sering membuatku babak belur, walau ujung-ujungnya aku tetap diobati oleh dia. Beberapa hari berlalu dan suatu hari ketika aku berlatih bertarung dengannya, aku berhasil mengenai satu seranganku. Tapi setelah itu aku terkena tendangannya dan aku terjatuh lagi.

"Kau sudah berkembang sekali. Tidak mudah lo orang bisa mengenaiku," ujarnya mengulurkan tangannya.

"Hehe terima kasih," aku menggenggam tangannya dan berdiri. "Omong-omong kamu minggu lalu menang kejuaraan bela diri ya. Selamat ya."

"Ya terima kasih.," ujarnya.

"Kamu kok tidak bahagia gitu padahal juara satu," tanyaku.

"Ya begitulah," ujarnya.

"Siapa lawanmu di final?" tanyaku.

"Uh siapa namanya ya. Hmm... Jacky? ya sepertinya itu. Ku dengar dia pindah rumah. Tapi ya sudah untuk apa dipikirkan," jawabnya.

"Oh ya aku masih harus memberikan buku pinjamanku ke guru. Sampai jumpa ya," ujarku.

"Ya, sampai jumpa nanti," ujarnya.

Aku memakai tas-ku dan pergi.

***

Aku berjalan menuju ruang guru. Di tengah-tengah perjalanan aku dicegat beberapa anak laki-laki. salah satu anak laki-laki itu meremas kerahku.

"Jadi kau sudah berani menentang kami. Beberapa hari ini kau sudah jarang memberi kami contekan," ujar anak itu.

"Kalau mau pintar ya usaha sendiri," jawabku.

"Berani menjawab kau! Kau itu hanya perempuan lemah! Ibu penjahit, tcih dasar menjijikan!" ujar anak itu.

Aku mendengar beberapa anak laki-laki yang mengitariku mulai berbisik.

"Hehe dia ibu penjahit. Pantesan bekalnya kayak makanan hewan."

"Aku sih ogah kalau punya adik kaya dia."

"Pasti gak bakal ada yang suka sama dia."

Aku mendengar semua kata-kata itu. Jawaban yang aku beri selama ini seakan tidak ada artinya. Aku teringat dengan ayahku yang sering melakukan kekerasan. Aku ingat kakakku yang sering membangkang kepada ibu. Ayah, Kakak, laki-laki, semua hanya menjadi beban bagiku dan ibuku yang seorang perempuan. Apa memang seperti ini menjadi seorang laki-laki? aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri.

Anak laki-laki yang memeras bajuku mulai mendaratkan pukulan. Ya itu lima menit yang lalu sebelum semua anak laki-laki itu terkapar karena seranganku. Aku mulai marah, itu saat pertamaku melampiaskan amarah. Mungkin sekali-kali tidak apa apa ketika sudah keterlaluan.

Di sisi lain aku tidak sadar bahwa Ella menonton dari kejauhan. Ella menonton caraku bertarung dan menjatuhkan anak-anak itu.

"Sepertinya aku tidak sengaja menciptakan monster. Semoga semua ajaranku bisa melindungimu," gumam Ella dengan senyum tipis.

***

Saat pulang sekolah, aku tiba di rumah dan mendengar teriakan ibu dan ayah. Aku melihat ayah yang memukuli ibu. Aku tidak melawan selama ini karena aku tidak ingin ibu kenapa-kenapa dan satu lagi, orang yang kubenci adalah ayahku sendiri.

"Dasar perempuan tidak becus! menuangkan minuman saja tumpah. Kau tidak tahu seberapa keras aku berusaha mendapatkan minuman itu," sentak Ayah.

Aku melihat kakak yang hanya menonton kejadian itu dan berkata, "Dasar ibu tidak berguna. Masakan tidak enak, nuang minuman dikit tumpah."

"Tanganku... terluka saat bekerja. Maaf maaf," ujar Ibu kesakitan karena dipukuli Ayah.

"Tcih alasan kecil. Dasar kau wanita j*lang!" Ayah mengambil satu botol dan memukulkannya ke ibu.

Aku langsung memegang tangan ayah menghentikannya.

"Heh? ini urusan ayah. Kau tidak usah ikut campur," ujar Ayah dengan nada tinggi.

"Ibu, ayo kita pergi dari sini dan memulai hidup lebih indah," ujarku kepada Ibu.

"Heh? kau tidak tahu apa yang terjadi jika kau berani-berani kabur huh?" ujar Ayah.

"Sepertinya kau harus dikasih sedikit pelajaran," ujar kakak.

Kakak mendekat dan memberikan tendangan dari belakangku yang mengarah ke kepalaku. Aku menahan tendangan itu dengan satu tangan. Kakak tertegun karena kekuatanku. Aku menggenggam kaki kakak dengan kedua tanganku dan membantingnya dengan sangat keras ke depan.

"Huh? heh dasar keluarga bajingan! Aku ini ayahmu. Jangan melawan!" teriak Ayah mengarahkan pukulan kepadaku.

Aku melihat ke arah ayah dan melihat banyak makhluk aneh dan mengerikan mengelilingi ayah. Aku melihat wajah ayah, aku merasa wajah Ayah mirip dengan mereka. Aku mengepalkan tanganku dan tiba tiba aura merah disertai kilatan listrik menyelimuti tanganku.

"Kau, bukan ayahku," aku memukul wajah Ayah dan sedikit menimbulkan kilatan listrik. Ayah terpental menabrak tembok karena pukulanku. Menurutku dia tidak akan mati.

Aku memeluk ibuku sambil berkata, "Ibu, ayo pergi dari sini."

"Iya sayang. Ayo," jawab Ibu.

Setelah kejadian itu, aku dan Ibu meninggalkan rumah. Selama perjalanan, terkadang aku bertemu begal. Aku melawan mereka dan melihat energi merah aneh yang kadang-kadang muncul di tanganku.

Suatu hari saat aku sudah tinggal di Kota Balesta, aku sedang berjalan-jalan setelah pulang sekolah. Tidak lama kemudian ada beberapa orang laki-laki yang mengitariku dan membegalku. Aku seperti biasa menghajar mereka semua dan terkadang seranganku menimbulkan kilatan listrik.

Tidak lama kemudian, seseorang bermantel coklat menghampiriku. Aku melihat tangan kanannya yang diperban.

"Siapa kau? Apa kau bos begal-begal ini?" tanyaku.

"Tentu saja tidak," jawab orang itu.

Aku tidak percaya dan langsung melesat ke orang itu dan mendaratkan serangan. Tendangan, dan pukulan ku lancarkan tapi orang itu bisa menghindari semua serangan itu dengan tangannya yang masuk di kantong mantelnya. Aku melancarkan pukulanku yang dipenuhi energi bewarna merah dan kilatan listrik yang terang. Namun orang itu menahan seranganku hanya dengan satu tangannya. 

"Hehe kau kuat juga ya," ujar orang itu.

"Apa maumu?" tanyaku.

"Kau sebenarnya ingin melindungi orang lain yang dirundung kan. Aku melihatmu sering melindungi perempuan yang sedang dibegal ataupun anak kecil. Kau benar-benar berhati baik ya. Walaupun mungkin kau benci dengan laki-laki, semoga kau bisa melihat sisi lain dari itu. Jika sudah waktunya nanti, aku akan menemuimu lagi. Aku ingin kau bergabung dengan kami penyihir juntoshi," ujar orang itu.

"Siapa namamu?" tanyaku.

"Kuroto Kiriyato. Kau bisa memanggilku pak Kuroto. Kau sendiri?"

"Yurisako Ayame."

***

Mengingat semua kejadian itu, aku sedikit merasa emosi. Tapi mau bagaimana lagi, sekarang aku berada di depan bara api yang menyala-nyala dari junoi ular itu. Sepertinya aku sudah melihat ajalku. Aku mulai menutup mataku sebelum tiba-tiba Aruta membawaku menghindari semburan api junoi itu.

"Hey aku tidak tahu kau kenapa. Aku tahu kau selalu ingin melindungi orang lain. Tapi kau tidak harus sendirian. Ada aku di sini. Ayo melakukan ini bersama sama," ujar Aruta.

Aku mendengar kata-kata Aruta yang terdengar sangat tulus. Mungkin aku membenci laki-laki, tapi aku berada di posisi yang berbeda sekarang. Biasanya setiap aku bertemu laki-laki, mereka selalu berniat merugikanku. Namun sekarang aku mendengar seorang laki-laki dengan niat baiknya yang tulus. Sepertinya aku harus sedikit merubah pandanganku.