webnovel

Meminta Izin

"Tadi kamu dianterin siapa, Shi?" tanya Mama Shika.

Shika sampai di rumah tepat saat adzan maghrib berkumandang. Dengan lasan itu pula, Shika lantas meminta Raka untuk cepat-cepat pulang. Takut jika Mamanya melihat Shika diantar oleh laki-laki. Namun kenyataanya, Mamanya itu tetep mengetahui itu.

Shika berdehem. Guna mengontrol diri bahwa semua akan baik-baik saja. Meski tidak bisa dipungkiri, jantungnya berdetak kencang karena pertanyaan Mamanya ini.

"Dianter sama temen, Ma," sahut Shika pelan.

Karena dirasa kurang puas, perempuan berdaster selutut motif bunga-bunga itu duduk di sofa coklat samping kanan Shika. "Kamu gak bohong, kan sama Mama?" tanyanya memastikan.

Shika yang awalnya duduk bersandar, kini merubah posisinya menjadi duduk tegak. Sekarang bukan waktunya untuk bersantai menghadapi pertanyaan dari Mamanya ini.

"Aku gak bohong, kok, Ma," sahut Shika, "dia emang temen aku." Shika tidak bohong, kan? Raka memang temannya, beda lagi kalau Fahri yang mengantar. Dia jelas pacar Shika.

Tika menghela napas. "Yaudah Mama percaya." Tika mengangguk. "Kamu inget, kan, pesan Mama?" Dengan mantap Shika mengangguk. Jelas dia mengingatnya. Ya meski kenyataannya dilanggar juga.

"Ouh iya, Ma." Shika mengingat sesuatu. "Lima hari lagi aku mau lomba. Lomba PMR antar sekolah." Shika memberitahu. "Boleh, kan, Ma?" tanyanya. Sembari menampilkan puppy eyes pada Mamanya.

Tika beringsut mundur. Geli melihat tingkah anaknya ini. "Ngapain itu mata? Kelilipan?"

Shika menegakkan tubuh. Bibirnya mengerucut lucu. "Mama, ih. Ini tuh aku lagi menampilkan wajah imut. Supaya Mama ngizinin aku buat ikut lomba," sahut Shika.

"Bukan imut," bantah Tika, "tapi jadi geli liatnya," sambing Tika sembari menggidik geli.

Bibir Shika kian maju. "Tapi dizinin, kan?" tanyanya.

"Eumm gimana, ya?" Tika memasang wajah serius, seperti orang yang sedang memikirkan sesuatu. Jari telunjuknya, mengetuk-ngetuk pelan dagu. Menambah kesan lucu di mata Shika.

Shika tergelak. "Mama apaan, coba kek gitu?" Matanya yang sipit, menjadi semakin sipit ketika tertawa.

"Ya, kan, Mama lagi berpikir," sahut Tika terkekeh.

"Tapi, kok, aku liatnya jadi pengen ketawa," ucap Shika ketika tawanya telah usai. "Mama gak cocok kaya gitu," tambah Shika.

"Iyah deh, iya," ucap Tika. "Kamu, kok, mendadak, sih ngasih taunya?" tanya Tika.

Diberi saat tahu saat kurang dari seminggu lagi lomba, jelas ibu mana yang tidak kaget. Ya terkecuali yang tidak peduli pada anaknya.

"Soalnya awalnya aku ragu, Ma." Dia ingat betul bagaimana Putra melakukan seleksi terhadap anggota bidang PRS. Semuanya diminta satu per satu untuk membawakan satu materi yang akan disampaikan di depan mereka. Dari penampilan mereka, dilihat dari cara penyampaian, serta pemahan tentang materi itu sendiri. Karena sesi tanya-jawab pun diadakan di sana. Untuk menambah nilai plus bagi mereka yang ikut seleksi. Dan tanpa disangka-sangka, dia terpilih. Sehingga masuk ke dalam team 2 yang beranggotakan Raka, Mia dan Shika. Sedangkan team 1 yaitu, Putra, Kiki dan Satya. Campuran dari kelas XI dan XII.

Tika menghela napas. Dia tidak mungkin menyalahkan Shika. Karena tidak sepenuhnya salah dia. Tika yakin, anaknya ini punya alasan akan keraguannya itu. Toh, yang penting putri bungsunya itu bisa ikut dalam  membanggakan sekolah.

Tika tersenyum. "Bolehlah," sahutnya. Dia mengusap lembut rambut sebahu Shika. "Kamu satu team sama siapa?" Tika ingat, bahwa anaknya ini ikut di bidang PRS dan tidak mungkin sendiri.

"Sama Raka dan Kak Mia," sahutnya. Mata sipitnya menatap lekat pada Sang Ibu.

"Raka? Raka siapa?" Dahi Tika mengernyit.

Mendengar itu, secara alami Shika menepuk dahinya. Mana mungkin Mamanya itu kenal dengan Raka.

"Raka itu temen sekelas aku," sahut Shika. Cepat-cepat dia kembali bersuara ketika melihat Mamanya membuka mulut hendak berbicara. "Dia baik, kok, Ma. Malahan tadi dia nganterin aku pulang." Bukan Shika tidak sopan menghentikan Mamanya yang hendak bicara, tetapi dia sudah tahu apa yang akan dipertanyaan oleh Tika. Sebelum Mamanya itu berpikir yang tidak-tidak, maka dengan cepat Shika menjelaskan bahwa Raka adalah orang baik.

"Mama bolehin, tapi kamu musti tahu batasan."

Shika mengangguk. Batasan di sini adalah, jangan pulang terlalu malam dan jangan terlalu dekat dengan laki-laki. Selain pacarnya, Shika juga mendapat wejangan dari Sang Mama akan hal ini.

"Yaudah, Mama mau ke kamar dulu," pamitnya, "kamu jangan tidur terlalu malem!" Setelah menasihati anaknya, Tika berlalu pergi menuju kamarnya.

Sehingga kini Shika kembali sendirian duduk di sofa ruang tengah. Menatap kososong ke arah televisi yang tengah menyangkan sinetron berisi dua jurusan di SMA.

"Kok, aku udah minta izin aja, sih ke Mama?" gumamnya, "padahal, kan, belum tentu Fahri ngijinin aku buat ikut lomba. Kalau dia gak ngijinin gimana coba?" Shika mengerucutkan bibir. Tidak bisa dibayangkan bagaimana reaksi Fahri jika tahu dirinya ikut lomba tanpa meminta izin terlebih dulu padanya.

"Tapi aku kepengen ikutan lomba. Gimana, dong?" monolognya. Ya, ini lomba pertamanya. Seumur-umur, baru kali ini dia mengikuti ekskul di sekolah. Jelas ini akan menjadi pengalaman berharga untuk Shika.

Getaran yang berasal dari ponsel dalam genggaman, membuat Shika dengan cepat mengeceknya. Karena sudah pasti itu pesan dari Fahri.

[Tadi kamu dianterin siapa?]

Belum juga satu menit pesan itu diterima Shika, kini sudah datang lagi pesan dengan pengirim yang sama. Bukan hanya satu, melainkan datang beruntun.

[Kenapa gak bilang kalau kamu latihan?]

[Kenapa gak minta dijemput?]

[Setahuku, yang latihan kaya gitu berarti ikut lomba. Kamu ikutan?]

[Kenapa gak minta izin dulu?]

[Ouh atau jangan-jangan sengaja. Karena takut gak dikasih izin, gitu?]

Shika memejamkan mata. Kepalanya dia lempar ke belakang. Sungguh, rentetan pertanyaan itu membuat kepalanya berdenyut.

"Kenapa aku sampe lupa, sih kalau Fahri punya kenalan di sekolah." Shika memijat pelipisnya. "Ini harus gimana coba? Dia pasti marah sama aku." Shika meringis. Masih teringat jelas bagaimana marahnya Fahri. Jangankan pulang diantar cowok, ngobrol hanya sebatas menanyakan PR saja, Fahri marah berhari-hari pada Shika.

Mata Shika membulat, dengan cepat dia menegakkan tubuh ketika melihat ponselnya menyala, menampilkan ada panggilan masuk dari kontak dengan nama 'My Love♡♡'

Bukannya merasa lega karena panggilan masuk dari Fahri berhenti, Shika malah merasa ketakutan. Sebentar lagi juga, pasti Fahri akan kembali menerornya.

[Angkat!]

Tuh, kan. Jantung Shika berdetak kencang. Keringat dingin membasahi pelipisnya.

"Ini gimana, dong?"

Tidak ada pilihan lain selain mengangkat telpon dari laki-laki itu. Karena dirasa tempat sekarang tidak cukup aman, maka dengan cepat Shika berlari ke kamar.

Bersembunyi dan mengamankan diri di sana.

"Hallo."

Shika tergagap-gagap hanya mengucapkan satu kata itu. Sungguh, semuanya terasa sulit dilakukan.

"Kenapa gak diangkat?" Nada datar namun menusuk, menjadi sambutan yang sungguh mengerikan di telinga Shika.

Sebelum menjawab, Shika terlebih dulu menggatur napas. Siap dengan apa yang akan Shika dengar dari Fahri.

"Tadi lagi sama Mama. Aku gak mungkin ngangkat telpon dari kamu. Nanti Mama pasti marah."

Sukses. Alasan itu sering kali menjadi senjata ampuh ketika menghadapi Fahri yang tengah diselimuti amarah.

"Terus kenapa gak dibales?" Kini suaranya melembut, berbeda dengan tadi.

"Kan ada Mama, Ri. Gak sopan kalau lagi ngobrol sambil mainin hape."

Kembali, Mama menjadi tameng Shika. Maafin anakmu ini, Ma. Batin Shika berbicara.

"Kenapa gak bilang kalau kamu latihan? Kamu ikutan lomba?"

Shika menggigit jari. Dia kebingungan harus menjawab apa. Tidak mungkin jika dia berkata jujur. Tetapi di sisi lain, rasa ingin ikut lomba lebih mendominasi.

"Kenapa diem?"

Shika tersadar. "A-aku gak tau kalau aku dipilih ikut lomba."

Meski ragu, tetapi kalimat itu yang terlintas di kepala perempuan berkaus ungu itu.

"Tapi kamu jadi ikut lomba, kan? Kamu satu team sama siapa?"

Tubuh Shika melemas. Sekarang tidak ada celah untuk Shika menghindari pertanyaan itu lagi.

Dengan jantung berdebar, Shika menjawab.

"Sama Raka ...."

"Raka Pratama?"

Dahi Shika mengkerut.

"Kok, kamu bisa tahu?"

"Dia temen aku pas SMP."

Jadi mereka berdua temenan?