Di dalam kamar yang penuh penjagaan pihak berwajib, hanya Hinata satu-satunya yang boleh mengunjungi Ino, di mana kondisi gadis itu masih tidak sadarkan diri, di sela-sela masih memperhatikan Ino, seorang wanita berambut gelap pendek mendatanginya, berdiri di samping Hinata dengan wajah sedikit lelah.
"Dia sudah melewati kondisi kritisnya, dokter memperkirakan dia akan cepat pulih," kata wanita berambut pendek itu.
Hinata bisa melihat bahwa selang pernapasan Ino sudah diganti, kemudian gadis itu melirik Shizune, dia adalah detektif wanita yang menangani kasus Ino. "Terima kasih," ucap Hinata secara tulus, dan hanya Shizune-lah yang dapat dipercayai olehnya, di balik itu pun Hinata menyuruh pihak berwajib melarang orangtua Ino bertemu dengan putrinya. Meskipun ada percekcokan sebelum itu, bahwa mereka adalah orangtuanya dan berhak melihat kondisi putri mereka yang malangnya—setelah disiksa sedemikian, apakah kau sebagai seorang teman percaya bahwa orangtua gadis itu sekadar berkunjung?
Hinata merasa tidak yakin, mengingat mereka sama-sekali tidak merasa menyesal—dalam penyelidikan yang dilakukan, Shizune terang-terangan mengakui bahwa mereka lebih senang saling menyalahkan daripada mengakui kebiadaban yang sudah dilakukan pada putri mereka, itu menandakan bahwa mereka benar-benar tidak merenungkan semua kejadian yang menimpa Ino.
Seluruh Jepang sedang mengamati kasus ini, kemungkinan ayahnya yang berpangkat Jenderal tersebut, pasti menunggu surat pendisiplinan yang tak main-main.
"Aku harus kembali ke rumah, aku titip Ino."
Shizune mengantar Hinata keluar dari ruang inap Ino, dan berpisah di tengah lorong. Shizune jelas tidak mau meninggalkan Ino sendiri. Kadang kala mata gadis itu berkedip dan jari-jarinya bergerak, bahkan sekali Shizune menjumpai Ino mengerang kecil karena rasa sakit, juga traumatik yang diderita pasca kecelakaan yang dialaminya.
Di tengah-tengah perjalanannya, Hinata melihat ponselnya, pesan Neji terpampang, "Kau pulang jam berapa?" tanya kakaknya dalam pesan itu. Hinata hanya membalasnya dalam kebohongan yang sudah disusun olehnya, "Agak malam, aku ini bersama Ino sampai beberapa waktu," jelas ini sedikit konyol, dia berbohong demi bermalam dengan teman kakaknya. "Oh Tuhan, akankah berjalan dengan lancar?"
Sejak berada di sekolah dia sudah dilanda cemas yang berkepanjangan, makan siang yang biasanya menjadi momen paling ditunggunya, Hinata tidak dapat menghabiskan makanannya, bahkan tidak begitu fokus untuk pelajarannya. Ia nyaris ditertawakan satu kelas karena termenung di depan papan, tidak dapat menjawab soal yang telah diberikan wali kelasnya.
Setelah menaiki taksi untuk menuju Four Seasons, Hinata dikejutkan oleh kehadiran Naruto tengah duduk pada sofa di bagian ruang tunggu di lobi. Laki-laki itu masih tidak menyadari kehadirannya, rencananya memang ingin mengejutkan pemuda itu, tapi Naru keburu mendongak.
"Hei," sapanya, entah mengapa pemuda itu tersenyum manis, daripada wajah tak berminat seperti biasanya. "Bagaimana keadaan Ino?"
"Sudah agak membaik, jangan khawatir."
Mereka sama-sama canggung untuk sementara waktu. "Kau mau makan malam? Eh, maksudnya, kau sudah makan malam? Kalau belum, kita bisa menikmati sesuatu."
Ini jelas terlalu mendadak, mereka tidak menyangka bahwa hari ini mereka harus bermalam, merencanakan untuk melakukan sesuatu yang intim—mereka bahkan tidak sedekat itu—dua orang yang sebelumnya selalu bersitegang, apa yang bisa diharapkan. Dan ketika ini benar-benar terlalu tiba-tiba, semua kata-kata yang harusnya dikatakan oleh mereka berdua lenyap.
"Bagaimana kalau pergi melihat kamar, sebenarnya aku lelah dan ingin berendam sebentar."
"Aku menyesal, sungguh," kata Naruto tiba-tiba. "Aku tidak memesan suite, hanya kamar dengan kasur besar saja, seharusnya aku memesan bak mandi yang bisa membuatmu nyaman, tapi kalau kau ingin pergi spa, aku akan menunggumu."
"Malam-malam begini?" Hinata melemparkan tawanya. "Tidak mungkin."
"Ibuku biasa melakukannya."
"Oh, iya?" dan kali ini tampak menyesal—mengingat baru saja dia hampir mengumpat serta merasa penasaran, orang bodoh mana yang bakal mengambil jadwal spa malam-malam. "Kukira memang nyaman untuk melakukannya pada malam hari," Hinata tertawa dengan menyugar rambutnya yang panjang. "Tapi aku tidak memerlukannya."
"Kalau begitu ayo pergi ke kamar."
Benar, mereka harus pergi ke kamar, dan tidak peduli bagaimanapun, Hinata merasakan kakinya terasa berat. Ia seharusnya senang mengakhiri sesuatu yang disebut takdir. Ia telah ternodai manusia, Dewa akan membuangnya dan dia bukan lagi seorang pengantin. Namun setiap langkah berat itu sebenarnya adalah rasa takutnya. Bagaimana jika orang-orang Okutama mengetahuinya dan Naruto yang tidak tahu apa-apa terkena imbasnya—bahkan ini soal Neji.
Hinata kemudian berhenti berjalan, ketika dia akan sampai di depan lift. "Sepertinya kita perlu menundanya," langkah Naruto melambat, karena ia terkejut. "Aku sedang memasuki masa menstruasi."
"Eh?"
Dengan wajah memerah, Hinata tersenyum penuh rasa bersalah. "Ini tiba-tiba, saat berada di rumah sakit, aku mengetahuinya."
Selamat Tahun Baru Masehi ღ ♥ წ [̲̅ə̲̅٨̲̅٥̲̅٦̲̅]
Monmaap bila bab ini banyak typo dan kesalahan, karena belum sempat dikoreksi dikarenakan takut melewati pukul 11.00 WIB
(T▽T) lagi ikut tantangan menulis sehari harus setor setidaknya 1000 word