webnovel

Marriage Contract (Fanfic)

Keluarga Hyuuga memiliki pohon ginkgo di belakang rumah besar mereka. Pohon itu menyimpan cerita mistis hingga sekarang, dipercayai sebagai tempat tinggal Dewa. Pohon ginkgo di rumah keluarga Hyuuga sudah berusia 1500 tahun. Diyakini satu-satunya pohon tertua di dunia. Ginkgo dipagari oleh pagar kayu jati. Rerumputan di sekitar ginkgo ditutupi oleh warna keemasan daunnya yang setiap hari berguguran. Saat berumur sepuluh tahun, Hinata Hyuuga, putri dari Hiashi Hyuuga menjumpai seorang anak laki-laki duduk di atas ranting raksasa pohon itu. Anak laki-laki itu mengenakan hakama berwarna putih, keesokan harinya kadang dia mengenakan hakama berwarna oranye ataupun kuning. Ketika anak itu masih duduk di ranting besar itu, Hinata mencoba meneliti wajahnya yang terselimuti oleh dedaunan ginkgo yang lebat, tetapi pada akhirnya Hinata tidak mendapatkan apa-apa dari itu. Suatu hari tiba-tiba dia mendengar suara anak laki-laki itu berbicara untuk pertama kalinya. Suaranya sangat lembut seperti anak perempuan. "Kalau kau ingin bisa berjalan, kau harus menjadi pengantinku."

BukiNyan · Komik
Peringkat tidak cukup
43 Chs

33

Hinata termenung di halte bus, setelah dia menikmati makan malam bersama Ino Yamanaka, juga mampir ke suatu tempat berbelanja pernak-pernik. Gantungan ponsel yang lucu, anting-anting, jepit rambut, juga jam tangan baru. Mereka menghabiskan waktu untuk berbelanja sepulang sekolah dan menikmati berjenis-jenis penganan yang enak.

Namun di tengah menikmati waktu, Ino seolah memberitahu Hinata, akan kesepiannya dia, dan seolah dunia tidak sekalipun dapat menerimanya. Ino merasa sulit, dan semakin hari terus sulit. Tekanan pada keluarganya, sang ibu yang tak pernah menganggapnya ada, seorang ayah yang keras selalu menampar pada setiap pertemuan yang membuat pria itu tidak nyaman akan pencapaian putrinya.

Bus ke sekian kalinya terlewat, Hinata masih duduk-duduk di kursi halte sendirian, menikmati malam, menikmati dingin yang semakin menusuk wajahnya yang tak tertutupi masker, bahkan syal yang seharusnya melilit dirinya. "Oh Tuhan, ini memasuki bulan Desember, festival musim dingin akan tiba," gadis itu bergumam sembari memandangi langit kosong tak berbintang. "Apa yang harus aku lakukan?" ia meratapi dirinya sendiri, perasaannya tiba-tiba terhubung pada Ino yang merasa sedih dan terpuruk.

Neji mungkin benar, menerima gadis itu tidak menjadi sesuatu yang salah. Ino butuh teman, dan Ino mungkin perempuan yang tepat untuk mengerti dirinya yang aneh, agak angkuh, dan kadang pendiam—tentu sikap pendiam tersebut didorong karena malas untuk menanggapi apa pun yang ada di sekitarnya.

Hinata ingin tetap sendiri dan tidak perlu ada orang yang mengusiknya, karena baginya terlibat ke sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan dirinya sendiri itu bagian yang paling melelahkan. Pertemanan itu benar-benar melelahkan. Ia telah lama mengidap anti sosial, dan secara sengaja betapa bangganya untuk menjadi seperti itu.

"Maaf, apa kau juga menunggu bus?" Hinata mendongak ketika seorang laki-laki muncul di sampingnya, matanya bersinar terang seperti topas, rambutnya putih, alisnya putih, bahkan dengan bulu matanya. Bisa dipastikan dia manusia albino. "Boleh aku duduk di sini?"

"Silakan," Hinata berfokus pada pemuda itu, ia mengenakan syal berwarna hijau, melingkar hangat, juga sarung tangan wol berwarna hitam, jaketnya bomber yang tebal, dengan tudung yang dilengkapi bulu-bulu halus. "Kau akan pergi ke mana?" pemuda itu terlihat kedinginan, bibirnya sedikit menggigil. "Aku akan lihat berapa nomor bus untuk tujuanmu."

"Kawagoe," Hinata terdiam, mengapa dia harus peduli pada laki-laki itu, mengapa pula dia harus mengecek tujuan laki-laki itu, ia tidak pernah peduli dengan orang lain. "Aku akan pergi ke Prefektur Saitama, untuk bertemu nenekku, dia baru sampai di rumah temannya."

"Seharusnya kau bisa menaiki kereta saja," dengan bergerak kembali ke tempat duduknya, Hinata mengurungkan niatnya untuk mengecek jadwal bus. "Kupikir naik kereta akan jauh lebih cepat, kau bisa turun ke ruang bawah tanah," Hinata memejamkan mata, seharusnya dia tidak perlu menjelaskan penduduk Tokyo cara menemukan rute yang tepat untuk bepergian. Mengapa dia harus melakukan ini—pada orang asing albino itu. "Maaf, kalau aku sok tahu."

"Tidak apa-apa," pemuda itu tersenyum. "Aku juga baru tinggal di Tokyo karena kuliah di sini. Aku berasal dari Kyoto," dengan tersenyum kikuk, Hinata kembali melihat pemuda albino itu, dan kali ini dengan cara pandang yang baru. "Terima kasih bantuannya, aku akan pergi naik kereta saja."

"Sama-sama."

Hinata membungkuk untuk memberikan salam perpisahan, kemudian kembali duduk nyaman sambil menunggu bus datang. Hanya saja rasa penasaran itu terus menyelinap. Tidak butuh lama bagi Hinata untuk mencari keberadaan laki-laki itu tetapi menghilang begitu saja dari pandangannya. Jalanan di sekitarnya tidak terlalu ramai pejalan kaki. Namun pemuda albino itu seolah menghilang tertelan lautan manusia.

"Ke mana dia pergi."

Bertepatan masih meneliti ke mana pemuda albino pergi, tiba-tiba klakson berbunyi. "Hinata, sedang apa kau? Mau pulang?" ketika menoleh ke jalanan, ia melihat Neji bersama Naruto berada di sebuah SUV hitam. "Urusan kami sudah selesai, ayo masuk, Naruto akan mengantarkan kita pulang," Hinata masih terdiam di tempatnya, ia merasa tidak nyaman. Apakah laki-laki barusan itu hantu? Tapi tidak ada satu pun aura aneh yang dirasakannya, si albino itu jelas manusia. "Terjadi sesuatu?" tanya Neji heran.

"Tidak, aku barusan berpisah dengan Ino," dustanya, kemudian duduk dengan nyaman di kursi penumpang—meski begitu, ia masih terheran-heran akan kehadiran pemuda berambut putih tadi di sela-sela dirinya menunggu kedatangan bus.