webnovel

Marriage Contract (Fanfic)

Keluarga Hyuuga memiliki pohon ginkgo di belakang rumah besar mereka. Pohon itu menyimpan cerita mistis hingga sekarang, dipercayai sebagai tempat tinggal Dewa. Pohon ginkgo di rumah keluarga Hyuuga sudah berusia 1500 tahun. Diyakini satu-satunya pohon tertua di dunia. Ginkgo dipagari oleh pagar kayu jati. Rerumputan di sekitar ginkgo ditutupi oleh warna keemasan daunnya yang setiap hari berguguran. Saat berumur sepuluh tahun, Hinata Hyuuga, putri dari Hiashi Hyuuga menjumpai seorang anak laki-laki duduk di atas ranting raksasa pohon itu. Anak laki-laki itu mengenakan hakama berwarna putih, keesokan harinya kadang dia mengenakan hakama berwarna oranye ataupun kuning. Ketika anak itu masih duduk di ranting besar itu, Hinata mencoba meneliti wajahnya yang terselimuti oleh dedaunan ginkgo yang lebat, tetapi pada akhirnya Hinata tidak mendapatkan apa-apa dari itu. Suatu hari tiba-tiba dia mendengar suara anak laki-laki itu berbicara untuk pertama kalinya. Suaranya sangat lembut seperti anak perempuan. "Kalau kau ingin bisa berjalan, kau harus menjadi pengantinku."

BukiNyan · Komik
Peringkat tidak cukup
43 Chs

20

Di tempatnya, Naru bersama Neji berbincang-bincang, tetapi matanya tidak henti-hentinya meneliti sang ibu yang membawa murid baru dari sekolahnya untuk diperkenalkan dari satu tamu ke tamu yang lainnya. Ibunya pasti gila, dengan wajah terlihat begitu bahagia ia melakukannya, padahal seharusnya hal tersebut telah melanggar peraturan.

"Kukira ibumu menyukai Hinata, dia pernah menyinggung ingin punya anak kedua perempuan," Neji tidak tahu apa-apa—pikiran lelaki itu sebenarnya terlalu polos dan tidak peka. "Semoga kau tidak iri karena kehadirannya."

Naru tidak menanggapi, dia mengambil sampanye non-alkohol dari baki yang dibawa beberapa pelayan yang mondar-mandir di sekitar acara pesta, lalu meneguknya hingga habis. "Aku mengira jika orang-orang akan salah paham dengan apa yang dilakukan ibuku, dan harusnya aku segera menghentikan kekonyolan yang dilakukannya, sekarang juga." Ia bergerak untuk melangkah sementara Neji tidak terlalu memahami, dan hanya terdiam dalam menanggapi.

"Ibu, kita harus bicara," Kushina terkesiap ketika putranya menarik lengannya setelah wanita itu mencoba beralih ke sekumpulan tamu lainnya. "Ini tidak bisa diteruskan, ibu," sementara Hinata memandangi Naru tidak paham. "Sebentar, aku pinjam ibuku, aku ingin bicara sesuatu dengannya," katanya pada gadis itu.

Kushina beralih memandang Hinata. "Sayang, kau nikmati semua yang ada di sini, maaf kalau tidak memberikanmu kesempatan untukmu."

"Tidak apa-apa, bibi, terima kasih sudah memperkenalkan—" sebelum Hinata selesai berbicara, Naru keburu menarik Kushina untuk pergi, dibawanya keluar dari ruang acara. "Apa-apaan lelaki itu." Gerutu Hinata tidak terima.

Kushina masih tersenyum, ketika putranya mengajaknya keluar, mengabaikan bahwa pemuda itu sedang menariknya paksa, sedangkan begitu sampai, ia sendiri mendengar anak itu marah kepadanya. "Ibu tidak seharusnya melakukan hal tersebut, bagaimana bisa ibu memperkenalkan Hinata pada para tamu, dia bukan calon menantumu, itu dilarang dalam bab tata krama."

"Sepertinya kau salah paham, ibu tidak memperkenalkan dia sebagai calon mempelai wanita," Kushina mengembuskan napas kecilnya. "Apa kau tidak nyaman?"

"Aku hanya mengingat apa yang dilakukan ibu sepantasnya dilakukan oleh seorang calon mertua," Kushina terdiam. "Ibu, kita tidak harus memulai ini, semua orang akan salah paham dengan apa yang dilakukan olehmu, aku mohon berhenti," wanita itu langsung menunduk, sedih juga bukan, kecewa juga bukan, ia hanya menyesal dan terlalu berlebihan, Kushina menyadari hal itu.

Benar kata putranya, dia tidak harus memperkenalkan Hinata ke banyak orang—teman-teman terdekatnya juga, gadis itu adalah teman sekolah putranya, tapi semua orang di dalam sana mungkin berpikir bahwa gadis itu mungkin calon menantunya.

Kushina mencoba tersenyum dengan pikiran yang terbuka. "Maafkan ibu, sepertinya ibu sudah kelewatan," kata wanita itu. "Ibu akan berhenti."

"Ibu marah kepadaku?"

"Tidak, mengapa ibu harus marah kepadamu?" Naru terkesima, perasaan bersalah malah menghajar hatinya habis-habisan. "Aku begitu saja melakukannya, entah karena alasan apa, aku pun tidak mengerti, ibu merasa kalian seolah-olah sudah terikat."

"Apa yang ibu katakan."

"Entah, ini hanya perasaanku, konyol sekali bukan, aku sampai berpikir seperti itu."

Dalam aturan yang sudah ditetapkan sebagai kesepakatan, Naru bukan lagi seorang dewa, tapi dia siluman dengan tubuh manusia abadi yang diperolehnya dari penukaran raga keluarga Hyuuga. Dengan bantuan dewi kehidupan, dia telah melanggar jati diri yang sebenarnya. Ia lahir dari rahim manusia yang kini terikat perasaan dengannya. Ia mengerti apa yang Kushina maksudkan. Wanita itu tahu kontrak yang dibuatnya dengan Hinata—dan Naru membuat kontrak itu dalam wujud manusianya yang lemah beberapa tahun silam.

Alam bawah sadar wanita itulah yang menggiring Kushina, begitu saja memperkenalkan Hinata kepada khalayak. Naru tidak seharusnya menyalahkan wanita itu—walau sebenarnya dia bukan bermaksud untuk menyalahkan ibunya.

Naru berusaha mengingatkan bagaimana bahayanya aturan manusia yang terikat dalam kebangsawanan Inggris, sampai hal ini dengar oleh kerabat-kerabat kerajaan di luar sana, dan yang paling penting, mereka berdua harus memikirkan bagaimana bahayanya wanita tua yang duduk tenang sambil melihat setiap detik laporan tentang mereka di Jepang. Karena wanita tua itu lah tidak akan tinggal diam jika mendengar desas-desus tentang kesalahpahaman seperti ini. Ibunya mungkin akan diterpa penderitaan kembali.

"Ibu seharusnya mengerti, bagaimana keluarga ayah. Mereka selalu mencoba menekan ibu dalam segala hal."

Di balik gaunnya, Kushina merasakan keringatnya mengalir deras, dan itu membuatnya tidak nyaman. "Kita harus hati-hati, aku tidak ingin ibu terluka, aku tahu bahwa nenek selalu menekan ibu."

"Bodohnya aku sampai tidak memikirkan bagaimana khawatirnya dirimu," Kushina menarik napas tiba-tiba, kemudian menyadarkan dirinya yang sejak tadi telah melakukan banyak kesalahan tanpa disadari olehnya, ia agaknya semakin menyesal. "Ibu akan hati-hati mulai sekarang."

Terlibat diam, sesuatu tak lagi samar semakin terlihat nyata, sebentuk tali merah begitu mengganggu pandangan Naru. Pada bagian jari kelingking terikat, tali-tali merah itu bergerak kecil menyambung pada jari kelingking Hinata yang sedang menikmati hidangan di pesta.

"Akan ada saatnya, aku ingin mengatakan sesuatu dengan jujur," katanya, sembari meneliti tali-tali itu bergerak konstan. "Tapi aku butuh keberanian untuk itu," Kushina mencermati putranya yang tampak serius. "Maaf jika suatu hari nanti aku mungkin membuatmu sedikit kecewa padaku."