webnovel

Manisnya Cinta Berselimut Dendam

Qiana adalah gadis cantik asal kota Bandung, ayahnya yang seorang karyawan pabrik biasa serta ibunya yang hanya seorang penjahit biasa, membuat keadaan keluarga Qiana dipandang hina oleh keluarga besar sang ibu. Qiana gadis yang pintar sejak kecil selalu mendapatkan beasiswa, saat hendak lulus SMA dia kembali mendapatkan beasiswa dari 4 perguruan tinggi negeri di 4 kota sekaligus, diantaranya perguruan tinggi terbesar di Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Namun Qiana lebih memilih membawa beasiswa yang berasal dari perguruan tinggi yang berada di Jakarta, selain mengambil Fakultas serta Jurusan yang sesuai minat dan keinginannya, Qiana juga merasa jika di Jakarta dia akan bisa melupakan kesedihan atas hinaan keluarganya dengan memperlihatkan kesuksesannya selama mendapat beasiswa di Jakarta. Sementara jika di Surabaya maupun Yogyakarta, kedua orang tua Qiana dan kakak kandungnya tidak setuju lantaran menurut mereka itu terlalu jauh. Mereka tidak mengizinkan Qiana untuk kuliah terlalu jauh, jika hanya di Jakarta mereka mengizinkan Qiana untuk pergi. Qiana mengambil kuliah kelas karyawan, agar dia bisa kuliah sambil bekerja paruh waktu. Qiana melamar pekerjaan pada sebuah butik yang membutuhkan tenaga desainer fashion, kerjanya tidak begitu berat dan dibutuhkan saat memang ada proyek saja namun gajinya cukup menjanjikan untuk biaya hidup bagi Qiana. Walaupun selama kuliah semua biaya ditanggung pihak universitas, namun Qiana tetap ingin mandiri dan membuktikan kepada keluarga besarnya yang selalu menghina dan meremehkan kedua orang tuanya. Saat Qiana merancang sebuah produk fashion baru untuk butik tempatnya bekerja, sang pemilik butik menyukai rancangan Qiana. Dengan bantuan sang sekretaris, akhirnya Qiana dipertemukan dengan Oma Inge, pemilik butik Keluarga Pratama Wijaya. Saat pandangan pertama Oma Inge sudah langsung jatuh cinta kepada Qiana, maka tanpa ragu Oma Inge langsung meminta Qiana menjadi asisten pribadinya. Oma Inge begitu menyayangi Qiana, bahkan kasih sayang Oma Inge kepada Qiana membuat cucu kandungnya cemburu dan tidak menyukai kedekatan sang Oma dengan asistennya itu. Alvan Putra Pratama Wijaya sang cucu yang cemburu dengan sikap sang Oma pada asistennya, menyusun rencana supaya Qiana pergi dan menjauh dari sang Oma hingga keluar dari kehidupan sang Oma. Di sisi lain ada Vino pemuda tampan yang mempunyai dendam pada keluarga Pratama Wijaya, menyusun siasat untuk menghancurkan keluarga mereka melalui Alvan. Oma Inge memberikan syarat untuk sang cucu yang wajib menikah dan mempunyai keturunan, sebelum memberikan warisan kepada Alvan sebagai cucu satu-satunya pewaris tunggal tahta keluarga Pratama Wijaya. Qiana dibuat menderita oleh Alvan yang tidak menyukai kedekatannya dengan sang Oma, hingga Alvan merencanakan sesuatu yang buruk pada Qiana. Akankah Alvan berhasil mencelakai Qiana? Bagaimana Qiana bisa selamat dari gangguan Alvan? Seberapa kuat Qiana menjalani hidupnya di bawah tekanan Alvan?

sitimarfuahtajudin · perkotaan
Peringkat tidak cukup
62 Chs

Bab. 19

Alvan masih memberi satu kesempatan kepada Imelda untuk memperbaiki semuanya. Alvan tidak ingin menuntut apa pun dari Imelda atas kekecewaan yang Alvan rasakan.

"Lihat saja Alvan! Aku akan membalaskan rasa sakit hatiku padamu suatu hari nanti. Hari ini aku mengalah padamu, tapi aku datang saat kamu menemukan kebahagiaanmu dengan gadis kecilmu itu… Qiana!!!" Imelda mengepalkan kedua tangannya begitu erat.

Alvan mengirimkan pesan kepada Qiana yang berada di apartemen miliknya bersama keluarga dan sahabat Alvan.

"Temui aku di taman sekarang!" chat Alvan kepada Qiana.

"Ada apa?" balas Qiana.

"Jangan banyak tanya! Cepat datang!" chat Alvan kemudian.

"Baiklah!" balas Qiana.

"Jangan ajak siapa pun dan jangan katakan apa pun!" chat Alvan terakhir.

"Aneh! Bukannya dia bertemu Imel? Kenapa memintaku untuk menemuinya juga?" batin Qiana.

Tidak ingin membuat Alvan marah, Qiana segera pamit pergi untuk menemui Alvan di taman belakang apartemen.

"Ada apa?" tanya Qiana saat melihat Alvan sedang berdiri menghadap bukit di belakang apartemennya.

"Kamu masih ingat dengan foto ini?" Alvan menunjukkan foto gadis kecil yang pernah Qiana lihat sebelumnya.

"Tentu saja! Kenapa kamu menunjukkannya lagi?" tanya Qiana.

"Aku sudah bertemu dengan Imelda dan berbicara banyak hal dengannya. Imelda juga sudah memberitahu aku jika gadis kecil di dalam foto ini bukan dirinya." Alvan menatap lekat wajah Qiana yang mulai pucat.

Deg…!

Jantung Qiana terasa berhenti berdebar. Bibirnya bergetar lidahnya kaku.

"Kenapa diam? Apa kamu ingat sesuatu tentang foto itu?" Alvan tidak melepaskan tatapannya dari Qiana. Sementara Qiana sudah salah tingkah.

"Aku…" Qiana benar-benar tidak sanggup lagi mengatakan apa pun. Bibirnya seperti sudah terkunci rapat walau hanya sekedar mengakui bahwa memang benar dirinya adalah gadis kecil di dalam foto itu.

"Kenapa, Qiana? Apa trauma itu dan juga benturan di kepalamu membuatmu hilang ingatan?" Alvan melangkah hingga mengikis jarak diantara dirinya dan Qiana.

"Imel bilang kalau gadis kecil yang jelek ini adalah Qiana. Dan kalung ini milik Qiana. Kamu tahu? Gadis kecil yang mendorongku hingga jatuh ke lumpur demi menghindari serangan timah panas itu, adalah Qiana. Yang menyelamatkan aku dari jurang kematian saat itu adalah Qiana. Yang membawa aku dan menyembunyikan aku ke dalam semak-semak adalah Qiana. Kamu tidak dapat menyangkal itu semua karena bukti yang aku punya sudah jelas menunjukkan itu adalah dirimu… Gadis kecilku! Kenapa kamu lari menghindariku?" bisik Alvan di telinga Qiana.

Qiana berdiri mematung dengan wajah yang sudah sangat basah oleh air mata. Apa yang kemarin Qiana takutkan akhirnya terjadi.

"Kenapa diam? Aku akan mengembalikan kalung ini kepada pemiliknya, Qiana." Alvan memutari tubuh Qiana dan memasangkan kalung itu di leher jenjang Qiana.

Seolah benar-benar Alvan kunci, Qiana hanya diam tak melakukan perlawanan sama sekali kali ini.

"Aku sudah berjanji jika menemukan gadis itu aku akan menikahinya. Dan sekarang aku membuktikan janji itu kepadamu. Ayo kita menikah, Qiana!" Alvan memeluk erat tubuh Qiana dari belakang.

Qiana memejamkan matanya menahan rasa sakit di dalam hatinya. Perlahan Qiana mencoba melepas pelukan Alvan, namun Alvan semakin mengeratkan pelukannya.

"Biarkan aku pergi!" kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Qiana.

"Tidak! Aku tidak akan melepaskanmu lagi, gadis kecilku! Aku sudah susah payah mencarimu selama 18 tahun ini, lalu setelah aku menemukannya kenapa aku harus melepaskannya dan membiarkan gadis kecilku pergi lagi?" ungkap Alvan.

"Aku tidak ingin terikat apa pun denganmu! Jadi, biarkan aku pergi!" Qiana meronta berusaha melepaskan diri dari Alvan.

Semakin Qiana meronta semakin kencang Alvan memeluknya. Pada akhirnya Qiana hanya menangis di dalam pelukan Alvan.

"Katakan padaku alasanmu menolak semua kebenaran ini, Qiana?" Alvan memutar tubuh Qiana hingga menghadapnya saat ini.

"Aku tidak mencintaimu! Aku ingin kamu sadar. Aku tidak pernah mencintaimu. Dan tidak akan pernah." Qiana menghindari tatapan Alvan.

"Itu tidak benar. Kamu mencintaiku, Qiana. Kamu melakukan segalanya untukku. Kamu harus mencintaiku. Jangan mencintai orang lain." Alvan menggenggam erat tangan Qiana.

"Gak usah banyak bicara!" Qiana memalingkan wajahnya.

"Aku tahu kamu juga mencintaiku. Menikahlah denganku." ucap Alvan meyakinkan.

"Jangan gila! Ada apa denganmu? Siapa yang mencintaimu? Meski hanya kamu lelaki di dunia ini. Aku tidak akan memilihmu." Qiana teguh pada pendiriannya.

"Tidak, Qiana! Jangan katakan itu! Dulu kamu yang menolong dan menjaga aku saat kita masih kecil. Sekarang aku yang akan menolong dan menjagamu, Qiana." Alvan terus memaksa.

"Aku tidak menyukaimu! Kamu sangat menyebalkan!" ucap Qiana.

"Tapi aku akan membuatmu jatuh cinta kepadaku, Qiana!" tutur Alvan.

"Lupakan saja janjimu kepada gadis kecil itu! Karena aku bukan gadis bodoh yang bisa kamu peralat, Alvan Pratama Putra Wijaya!" ucap Qiana tegas.

"Apa maksudmu, Qiana?" tanya Alvan.

"Kamu mau menikah denganku karena Oma, bukan? Aku sudah tahu semuanya. Jadi tidak usah mengatakan apa pun lagi! Aku sudah mendengarkan semua percakapanmu dengan Oma." Qiana tersenyum masam.

"Dalam waktu 6 bulan kamu harus mencari seorang wanita yang bisa kamu nikahi, setelah kamu berhasil menikahinya selama 6 bulan setengah warisan Oma akan jatuh kepadamu. Jika kamu mempunyai anak dari pernikahanmu maka seluruh harta Oma akan jadi milikmu. Tapi jika dalam waktu kurang dari satu tahun kamu bercerai dengan istrimu, maka kamu hanya mendapatkan seperempat harta Oma menjadi milikmu. Kecuali jika perceraian itu istrimu yang meminta. Apa ucapanku benar?" Qiana menatap tajam Alvan.

"Aku tahu laki-laki sepertimu hanya memanfaatkan situasi ini saja! Rasanya tidak mungkin kamu bisa jatuh cinta secepat itu kepadaku, Alvan Pratama Putra Wijaya!" Qiana belum puas berkata.

"Soal gadis kecil yang menolongmu, lupakan saja! Karena jauh dari lubuk hatinya, gadis kecil itu ingin menolong orang yang sedang dalam kesulitan. Hatinya yang bersih dan suci tidak pernah berharap imbalan apa pun dari orang kaya sepertimu! Sekarang janjimu pada gadis itu sudah terbayar tunai tanpa adanya ikatan pernikahan lagi." Qiana melepas tangan Alvan dan hendak pergi.

"Tunggu, Qiana! Aku belum selesai berbicara denganmu!" Alvan menahan tangan Qiana.

"Diantara kita tidak akan terjadi hubungan apa pun! Jadi biarkan aku pergi! Carilah sosok wanita yang bisa kamu cintai seutuhnya, agar harta Oma jatuh sepenuhnya kepadamu!" ucap Qiana.

Sesaat Qiana menatap kembali pada Alvan, sebelum akhirnya Qiana melihat bayangan pada mobil yang terparkir di depan taman.

"Orang itu…?" Qiana segera memutar tubuhnya bersamaan dengan tubuh Alvan.

Dor…!

Suara tembakan peluru dari arah apartemen tepat mengenai bahu Qiana. Beruntung Alvan berhasil memeluk tubuh Qiana, hingga Qiana terjatuh dalam pelukan Alvan.

"Aaaaa…" teriak Qiana kesakitan.

"Da… darah? Darah ini?" Alvan melihat tangannya sudah penuh darah.

Alvan melihat sekeliling namun tak menemukan pelakunya. Pada saat yang tepat Gherry, Evan, Rayn, dan Fahlevi datang menghampiri.

"Al, apa yang terjadi?" Gherry panik melihat tubuh Qiana terkulai lemas dalam pelukan Alvan.

"Kami mendengar suara tembakan." Sahut Evan.

"Apa kalian baik-baik saja?" tanya Fahlevi.

"Qi… Qiana tertembak!" mata Alvan berkaca-kaca.

"Apa?" Rayn, Evan, Gherry, dan Fahlevi kompak terkejut mendengar penuturan Alvan.

"Di depan ada klinik. Bawa Qiana ke klinik!" Evan membantu Alvan mengangkat tubuh Qiana yang sudah berlumuran darah.

Seketika apartemen itu sudah penuh orang lautan manusia, yang ingin mengetahi kejadian penembakan yang mengejutkan mereka.

Alvan dan Qiana menjadi tontonan semua orang. Oma Inge, Papi Billy, Tante Erlin, dan Zoya yang berada di dalam apartemen segera keluar untuk mencari tahu suara tembakan yang mereka dengar.

"Qiana, bangun! Jangan seperti ini, Qiana! Aku mohon bangun, Qiana!" Alvan membopong tubuh Qiana sampai ke klinik.

Seketika polisi yang mendapat laporan mengenai kasus penembakan segera melakukan olah TKP.

"Bagaimana keadaan, Qiana?" tanya Oma Inge diliputi rasa sedih saat mendengar berita mengenai Qiana.

"Dokter masih menangani Qiana di dalam, Oma." sahut Gherry, sementara Alvan tidak bisa diajak bicara karena shock.

Hampir 1 jam Qiana berada di ruang operasi, namun Dokter yang menangani Qiana belum juga keluar dari ruangannya.

Alvan yang wajahnya sudah mirip dengan baju kusut nampak termenung. Sementara Rayn terus mondar mandir seperti setrikaan membuat yang lain jadi ikut panik.

"Kamu sudah menghubungi keluarga, Qiana?" tanya Papi Billy kepada Evan.

"Aku tidak punya kontak keluarga Qiana, Pi." Jawab Evan menggigit bibirnya.

"Lu bego apa tolol sih, Van? Cari di ponsel Qiana, pasti ada lah!" bentak Gherry.

"Gue gak kepikiran!" celetuk Evan.

"Auh… lu udah kebanyak minum air kobokan sih!" ledek Gherry.

Alvan tidak berhenti memikirkan Qiana. Ini kali kedua Qiana menyelamatkannya dari peristiwa penembakan yang sebenarnya ditujukan kepadanya.

"Ini semua salah gue!" celetuk Alvan membuat semua orang seketika menoleh padanya.

"Maksud lu apa, Al?" tanya Fahlevi.

"Kejadian ini sama persis dengan kejadian 18 tahun yang lalu. Saat itu Qiana menyelamatkan gue dari orang yang ingin membunuh gue. Dan sekarang Qiana berbaring di dalam sana, ini karena Qiana yang melindungi gue dari penembak itu." ungkap Alvan membuat semua orang terkejut.

"Al…" mata Oma Inge berkaca-kaca.

"Ya, Oma! Qiana adalah gadis kecil itu! Bahkan disaat aku mengetahui kebenarannya, Qiana kembali terluka karena aku…" tangis Alvan pecah.

"Jadi lu udah tahu semuanya, Al?" tanya Fahlevi.

"Tadi pagi gue ketemu Imelda di café…" Alvan meraih ponselnya

Alvan menunjukkan rekaman video saat bersama Imelda di café. Sedianya rekaman itu akan Alvan tunjukkan kepada Qiana, jika Qiana tidak mau mengakui kebenaran tentang dirinya.

Selain itu Alvan juga akan memberikan kejutan kecil kepada keluarga Imelda dengan bukti rekaman itu.

"Polisi sudah ada di TKP, tapi tidak berhasil menemukan bukti apapun." ucap Papi Billy.

"Biar saja, Pi. Kita tidak perlu meminta bantuan polisi mengenai kasus ini, jika memang tidak ditemukan bukti. Biar aku sendiri yang mencari bukti itu." Alvan menatap Evan, Rayn, Fahlevi dan Gherry lalu mengangguk pelan yang tidak bisa dilihat oleh siapa pun, kecuali hanya mereka berlima yang tahu..

"Kenapa begitu, Al?" tanya Papi Billy tak mengerti.

"Kasusnya sama seperti yang terjadi pada Opa dulu, Pi. Jadi biar aku saja yang melakukannya." ucap Alvan kemudian.

Ceklek…

Knop pintu ruang operasi diputar, seorang perawat keluar dari ruangan operasi dengan wajah panik. Semua kompak menoleh kepada suster itu.

"Bagaimana keadaan Qiana, suster?" tanya Oma Inge.

"Ada luka di bahu pasien. Dia kehilangan banyak darah. Tekanan darahnya turun menjadi 70/40, saturasinya di bawah 90, dan nadinya 120. Nafas pasien juga pendek, pasien memiliki golongan darah jenis O. Adakah yang memiliki golongan darah yang sama dengan pasien?" tanya suster.

"Darahku O, suster!" seru Alvan.

"Kami membutuhkan 2 kantung darah O. Saat ini di rumah sakit kosong untuk persediaan darah O." imbuh suster.

"Papi juga O, bukan?" sambungTante Erlin.

"Jika golongan darah Papi O. Papi pasti akan memberikan darah Papi untuk Qiana. Sayangnya golongan darah Papi B" ucap Papi Billy sedih.

"Kalau begitu biarkan aku yang memberikan darah untuk Qiana, suster! Ambil saja sebanyak yang dibutuhkan Qiana!" ucap Alvan antusias.

Alvan mengikuti suster untuk diperiksa darahnya dan dicocokkan dengan Qiana. Setelah dipastikan dan kondisinya bagus, maka Alvan mendonorkan darahnya untuk Qiana.

"Al, bagaimana dengan pertunanganmu dan Imelda?" tanya Oma Inge.

"Kita akan tetap datang malam ini ke rumah Imelda."

"Lalu bagaimana dengan, Qiana? Siapa yang menjaga Qiana di sini?" tanya Papi Billy.

"Aku sudah menghubungi keluarganya, Pi." sahut Evan.

"Kita bagi tugas! Evan, Gherry ikut gue! Rayn, Levi bantu jaga Qiana." titah Alvan.

"Oke!" jawab Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi serempak.

Malam pun tiba. Alvan bersama keluarga sudah berada di rumah Imelda. Segala persiapan untuk acara lamaran sudah dikondisikan.

"Apa acaranya bisa dimulai?" tanya Dodi ayah Imelda.

"Ya!" balas Alvan dingin.

Alvan dan Imelda sudah duduk berdampingan. Tibalah saat Alvan menyampaikan ungkapan kepada Imelda dan keluarganya.

"Sebelumnya aku minta maaf kepada Oma dan Papi karena sudah mengecewakan kalian berdua. Aku minta maaf pada keluarga besar Bapak Kusuma Wardhani, karena pertunangan ini harus aku batalkan secara sepihak." ucapan Alvan mengejutkan semua keluarga yang datang.

"Apa-apaan ini? Beraninya kamu mempermalukan Imelda dan keluargaku, di depan keluarga besar kami!" hardik Dodi.

"Al?" Oma Inge menatap tak percaya kepada Alvan.

"Apa alasanmu membatalkan pertunangan ini?" tanya Maryam.

"Akan aku tunjukkan alasan kenapa aku membatalkan pertunangan ini." Alvan memberi kode kepada Gherry dan Evan.

Seketika muncul rekaman video saat Alvan dan Imelda bertemu di sebuah café. Seketika wajah Imelda memerah menahan malu sekaligus marah, karena Alvan sudah mempermalukannya di hadapan semua keluarga besarnya.

"Jahat kamu, Al! Kamu sudah menghancurkan semuanya! Tunggu pembalasanku!" Imelda pergi meninggalkan ruang keluarga.

"Pergi kalian semua dari sini!" teriak Dodi mengusir Alvan dan keluarga.

"Tanpa kamu minta, aku dan keluarga memang akan pergi dari rumah ini!" Oma Inge menarik tangan Alvan dan mengajaknya pergi dari rumah keluarga besar Kusuma Wardhani.

Alvan dan keluarganya beserta Evan dan Gherry kembali ke apartemen milik Alvan. Semua rencana Alvan untuk mempermalukan Imelda sudah terbalaskan.

"Gue gak percaya kalau keluarga Imelda itu masih saudaranya Qiana juga, Al!" seloroh Gherry.

"Tapi itulah kenyataannya!" sahut Alvan.

"Lalu kenapa Qiana dan keluarganya gak tinggal dengan mereka?" tanya Evan.

"Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya?" ledek Alvan membuat Evan mencebikkan bibirnya.

"Kalau itu biarlah menjadi urusan Qiana dan keluarganya. Kita tidak perlu tahu apa yang menjadi rahasia keluarga Qiana. Kecuali jika memang Qiana sendiri yang bercerita kepada kita." nasihat Oma Inge.

Semua rahasia keluarga Qiana, hanya Alvan dan Oma Inge yang tahu. Sebab Qiana sendiri sudah menceritakan semuanya kepada Alvan dan Oma Inge.

"Bagaimana keadaan Qiana?" tanya Alvan saat sudah berada di rumah sakit.

"Qiqi masih belum sadarkan diri." jawab Teh Qorie.

"Ambu, Abah, Teh Oie, maafkan Alvan. Qiana seperti itu karena salah Alvan. Qiana sudah menyelamatkan Alvan, tapi Qiana sendiri yang terluka." ucap Alvan.

"Tidak, nak! Bukan salahmu! Ini sudah takdir, Qiqi." ucap Abah Sambas.

"Kejadian ini sama persis dengan kejadian saat Qiqi masih kecil…" ucap Ambu Kinanti.

"Jadi… Ambu dan Abah tahu semuanya mengenai kejadian 18 tahun yang lalu?" tanya Alvan tak percaya.

"Kami bahkan yang membawa korban ke rumah sakit. Beliau saat itu terluka parah karena tertembak. Setelah kami tahu jika itu adalah Tuan Erlangga Pratama Wijaya, kami langsung mencari keluarganya, tapi…" Abah Sambas menatap Alvan lekat.