webnovel

MALPIS

[17+] Kisah ini menceritakan soal Alya dan Ben. Mereka bertemu saat si kebetulan tak sengaja menghampiri mereka. Lalu mereka mulai saling memberikan perhatian saat si cinta dan rasa sayang membutakan mereka. Namun si mantan datang dan tanpa sengaja merebut kembali apa yang pernah menjadi miliknya.

adeliafahriani_ · perkotaan
Peringkat tidak cukup
69 Chs

Chapter 52 - He is Ignoring Alya

Hari ini ujian semester sudah selesai. Seluruh kelas juga sudah kosong. Tapi tidak bagi Alya atau guru yang lainnya. Mereka masih berada di majelis guru untuk memeriksa hasil ujian semester itu.

Tiba-tiba keheningan sekolah itu dipecahkan oleh suara pengumuman yang melalui speaker dari arah ruang tata usaha yang letaknya dibagunan utama didepan.

Panggilan untuk Ibu Alya wali kelas 12IPS3 diharapkan ke bagian Tata Usaha sekarang juga. Panggilan untuk Ibu Alya wali kelas 12IPS3 untuk ke ruang Tata Usaha sekarang juga. Terima kasih.

Merasa namanya dipanggil, Alya berjalan dengan tergesa-gesa menuju depan.

"Ibu, kenapa saya dipanggil?" Tanya Alya pada seorang karyawan Tata Usaha ketika ia tiba disana.

"Oh, Ibu Alya tamu anda ada diruang komputer." Katanya sambil menunjuk ke arah kanannya.

Alya beralih ke ruang komputer. Diruang itu memang disediakan sudut kecil untuk menerima tamu bagi para guru atau murid yang berkepentingan. Alya melihat Papa Dewa tengah duduk menunggunya.

"Oh, Pak Iras." Sapa Alya sambil mengulurkan tangan.

Iras menyambut uluran tangan itu dengan sedikit senyuman. Jabatan tangannya begitu erat. "Apa kabar, buk?" Sapanya.

"Baik, Pak." Angguknya. "Dalam rangka apa ke Jakarta, Pak?"

"Kebetulan saya ada kunjungan ke Kementerian Energi tadi pagi, acaranya selesai jadi saya mampir kesini." Ia mengeluarkan sebuah amplop putih dari dalam tasnya.

"Bapak sudah bertemu Dewa?"

"Belum, buk. Setelah dari sini saya mau ke tempatnya."

Iras menyodorkan amplop putih kepada Alya. "Ibu maaf, ini saya mau mengganti biaya rumah sakit Dewa kemarin. Saya baru sempat sekarang." Ujarnya setengah malu.

Alya menggeleng. "Gak usah, Pak. Itu kan sudah lama. Saya juga tidak keluar banyak." Tolaknya.

Iras tidak ingin memberatkan wanita ini. "Terima saja, buk. Dewa pasti marah kalau Ibu tidak terima." Ucapnya. "Lagipula, ini bukan sepenuhnya dari saya tapi sebagian juga dari Mamanya Dewa. Kami berhutang besar pada Ibu Alya." Sambungnya.

Alya merasa tidak enak kepada pria didepannya ini. Ia hanya tersenyum dan membiarkan amplop itu disana. "Sepertinya pekerjaan anda belakangan sangat sibuk, Pak. Waktu itu saya dan Kepala Sekolah sempat menelepon anda." Ujarnya.

Iras tersenyum tipis. "Itulah resikonya buk, kalau kita kerja di proyek dibawah naungan perusahaan besar, kita tidak bisa menolak perintah mereka."

Alya mengangguk paham.

"Saya juga sempat khawatir waktu Dewa sakit kemarin tapi, saya bisa berbuat apa. Saya cuma berharap Dewa diberi kesehatan waktu itu." Serunya dengan kepala tertunduk.

Alya jadi merasa tidak enak karena sudah membuat pria ini merasa bersalah.

"Kemarin malam, saya sempat menelepon Mamanya Dewa untuk mengatakan kalau saya akan kesini, siapa tahu saja dia ada titipan." Iras menatap wajah Alya. "Dia cuma cerita, katanya dia rindu sekali dengan Dewa dan meminta Dewa untuk ke Amerika selama iburan ini, tapi anaknya tidak mau." Seringai tipisnya mengembang. "Mungkin karena Dewa tidak mau bertemu dengan anak tiri mamanya." Sambungnya.

Alya mengerti maksud pria itu karna Mama Dewa pernah menceritakan hal itu padanya. "Apa saya perlu membantu untuk membujuk Dewa, Pak?" Tanyanya mengulurkan bantuan.

Iras mengheleng halus. "Tidak perlu, buk. Dewa sudah bilang kalau dia tidak mau. Tidak usah dipaksa." Katanya. Ia melihat jam ditangannya sekilas.

Alya mengangguk paham.

"Sepertinya saya harus pamit sekarang, karna saya mau bertemu Dewa dan malam ini saya akan kembali ke Papua." Iras berdiri dari kursi itu. Alya pun ikut berdiri.

"Saya titip Dewa ya, buk. Setidaknya tolong jaga dia sampai lulus nanti." Pesan Iras penuh harap.

Alya mengangguk. "Iya, Pak. Pasti saya perhatikan Dewa." Ujarnya.

"Selamat atas pernikahannya, buk. Saya dengar dari Mamanya Dewa kemarin." Senyumannya tulus.

"Terima kasih, Pak." Alya tersipu malu. Ia melepaskan pria itu pergi meninggalkan ruangan itu.

***

Elena sedang sibuk didepan galerinya memindahkan beberapa furniture berukuran kecil yang bisa dilakukannya seorang diri. Ujung mata kanannya melihat ada yang mendekat ke arahnya. Ia menoleh dan cukup terkejut melihat Mama Roy alias mantan bosnya. Wanita itu mendekatinya dengan senyum mengembang. Elena menghentikkan aktifitasnya dan menyambut kedatangan wanita itu

"Kamu kelihatan lelah, Len." Ujar Mama Roy sambil bersandar di kursi. Mereka memilih western restoran untuk menjadi tempat mereka berbicara.

"Gak juga, buk." Sahut Elena. Ada rasa segan didalam dirinya.

Mita memperhatikan kedua orang itu yang duduk dengan wajah serius.

"Saya mau minta maaf soal Roy sama kamu." Ucap Mama Roy.

Elena tercengang. Bagaimana wanita berkelas didepannya ini mengucapkan kata maaf kepadanya. "Untuk apa, buk?" Tanyanya tidak enak.

"Untuk Roy dan semua yang dia pernah lalukan ke kamu." Wanita itu menunduk sekilas. "Roy sudah menjelaskan semuanya dengan saya tadi." Ia memandangi Elena sendu. "Saya sangat suka dengan karya kamu dari dulu. Saya juga melihat beberapa desain digaleri pribadimu. Kalau saja kalian tidak menjalin hubungan mungkin sekarang kamu sudah bertanggung jawab untuk Sempari seperti sekarang ini. Saya sempat punya niatan untuk itu." Jelasnya.

Elena mengigit bibir bawahnya. Segala waktu yang sudah terlewati memang tidak bisa diputar kembali. Jika ingin mengulang waktu, ia tidak ingin mencintai Roy. Tapi jika ia tidak putus dengan Roy waktu itu, apa dirinya bisa bertemu dengan Ben setelahnya. Elena masih berdiam diri mendengarkan kalimat wanita itu.

"Setelah semua ini selesai, saya akan bawa Roy pulang ke Bali. Dia tidak perlu lagi datang ke Jakarta. Kamu juga tidak perlu lagi datang ke Bali. Lebih baik kalian berjauhan. Demi kebaikan kalian bersama." Pungkasnya pelan.

"Saya mengerti, buk." Elena mengangguk tanda setuju. Wanita itu mengumbar senyuman tipisnya.

***

Alya masuk ke dalam ruang kerja dengan membawa ponselnya. Petang ini ia ingin menyelesaikan memeriksa hasil ujian murid-muridnya. Namun matanya malah melihat tumpukan puzzle itu berserakan disana. Bahkan beberapa kepingan itu jatuh ke lantai.

Alya mendekati meja puzzle itu. Ia memperhatikannya dan melihat perubahan gambarnya yang terpasang. "Kapan Ben selesaikan ini?" Ucapnya pada diri sendiri. Tapi tetap saja Ben tidak mampu menyelesaikan setengahnya.

Tiba-tiba, nalurinya terpancing untuk menyelesaikan puzzle itu. Perlahan tangannya bergerak mengambil salah satu kepingan dan menyambungnya. Tak disangka, Alya mengambil kepingan yang benar hingga membuatnya semakin tertantang untuk menyelesaikannya. Sorot matanya berubah serius.

Dewa sudah kembali bekerja di restoran setelah ujian disekolahnya selesai. Dan kebetulan hari ini beberapa teman kerjanya dipindahkan ke Hall untuk menangani bagian pernikahan, hingga membuatnya harus bolak-balik depan dan belakang sembari membantu. Matanya menangkap sosok Elena yang tengah berinteraksi dengan pelanggannya didepan galeri. Mengingat semua kejadian malam itu, membuatnya emosi. Bahkan wajah wanita itu tidak terlihat bersalah sama sekali.

Alya meletakkan kepingan puzzlenya yang terakhir. Ia sudah menyelesaikan puzzle itu dengan sempurna. Butuh waktu kurang lebih satu jam untuk menyelesaikannya. Senyumnya mengumbar karena ia bisa menyelesaikannya. Namun seketika senyuman itu menghilang karena memperhatikan gambar yang terlihat disana. Benar kata Ben, kalau aku lihat gambar ini aku pasti marah, katanya pelan.

Alya melihat gamabr Ben dan Elena berciuman dengan latar belakang pegunungan Alpen. Digambar itu mereka terlihat bahagia sekali. Alya menghembuskan napas kesalnya kemudian meninggalkan puzzle itu dan beralih ke arah meja kerjanya serta mengambil tumpukan kertas ujian dan membawanya ke depan televisi.

***

Malam itu Ben pulang agar terlambat dari biasanya. Ketika ia masuk, jam sudah pukul 9 malam. Ia melihat istrinya didepan televisi dengan banyak lembar kertas disana.

"Kamu sudah makan?" Tanya Alya. Ia mendekati suaminya. Ben sudah mengrimkannya pesan kalau dirinya akan pulang terlambat dan makan diluar dengan teman meetingnya. Tapi ia khawatir kalau suaminya mungkin akan lapar kembali.

"Sudah." Ben melepaskan sepatunya didepan pintu apartemen. Ia berjalan ke arah ruang kerja. "Al, bisa tolong buatkan aku teh manis?" Pintanya.

Alya mengangguk lembut. "Bisa. Sebentar aku buatkan." Ia berjalan ke arah dapur.

Ben memasuki ruang kerjanya masih dengan pakaian lengkapnya. Ia ingin meletakkan tas kerjanya lebih dulu disana. Pandangan matanya belum melihat ada perubahan disana. Ia membongkar isi tasnya yang berisi beberapa dokumen penting dan meletakkannya diatas meja. Ben berbalik dan berniat untuk meninggalkan ruang itu.

Tetapi, ujung matanya melihat siluet rapi yang tergambar akan sesuatu disisi kanannya. Ia menoleh dan terkejut ketika ia melihat puzzlenya sudah terpasang sempurna. Gambarnya berciuman dengan Elena terlihat saat ini. Ben mendekat dan memastikan apa yang dilihatnya.

"ALYA!" Panggilnya lantang.

Terdengar langkah kaki Alya mendekat. "Kenapa, Ben?" Wanita itu muncul. Ia membawa teh manis suaminya yang masih terdapat sendok kecil disana. Ia baru saja memasukkan gula ke dalam teh itu.

"Kamu yang selesaikan ini?!" Nadanya begitu tegas dan tidak ada kelembutan.

"Iya, tadi sore." Ia meletakkan cangkir teh itu diatas meja kerja suaminya.

"Kenapa kamu selesaikan?" Wajah Ben sudah merah. "Aku sudah bilang, kamu jangan pernah sentuh atau selesaikan puzzle ini!" Suaranya bergema didalam ruang kerja itu.

Alya mengerutkan dahinya karena mendengar nada bicara suaminya yang ketus. "Apa bedanya aku atau kamu yang selesaikan. Kalau kamu tidak puas, kamu bisa lepaskan lagi dan kamu rakit kembali." Jelasnya.

Ben tidak terima. Bukan itu masalahnya sekarang. Ia hanya tidak suka atau tepatnya tidak rela ada orang lain yang menyelesaikan puzzle itu selain dirinya. Ia ingin menjadi orang pertama yang menyelesaikannya seperti perjanjian dulu. Tapi malah Alya yang bisa menyelesaikannya.

"Aku lepaskan lagi semuanya. " Alya mendekati puzzle itu.

Ben menghembuskan napas kesalnya. Ia menarik puzzle itu dan membuangnya ke lantai. Kepingan itu berantakan kembali dan berserakan. Alya menatap suaminya tak percaya. Ben keluar dari kamar itu sambil melepaskan dasinya. Tak lama terdengar suara pintu kamar dibanting dengan kuat. Alya merasa bingung dimana letak kesalahannya hingga Ben begitu marah padanya.

***

Pagi itu, Alya tersadar dari tidurnya tapi ia tidak melihat Ben disebelahnya. Tempat itu masih dalam keadaan rapi. Alya masuk ke dalam ruang kerja dan melihat suminya tersandar di kursi kerjanya dan tidur disana. Ia juga melihat kepingan puzzle itu masih berantakan disana seperti terakhir kali ia tinggalkan.

Alya memungut kembali kepingan puzzle itu dan meletakkannya ditempat semula. Setelah itu, ia mendekati suaminya dan membangunkannya perlahan.

"Ben." Panggilnya sambil menggoyangkan tubuh suaminya.

Ben tersadar dan ia membuka matanya dalam sekali panggilan. Ia menegakkan tubuhnya dan melihat Alya disampingnya.

"Kamu tidur disini tadi malam?" Tanya Alya sedih.

Ben tidak langsung menjawab. Ia melihat jam dinding ruang kerjanya yang menunjukkan pukul 7 pagi. Ia mengecek layar ponselnya sesaat dan memeriksa jika ada pesan masuk.

"Kenapa kamu gak tidur didalam aja?" Alya masih mempertanyakan soal itu.

Ben menggerakkan kepalanya seperti merenggangkan urat dilehernya yang tegang. Ia melihat tumpukan puzzlenya sudah kembali seperti semula.

"Kamu masih marah soal tadi malam?" Alya masih berdiri ditempatnya.

"Sudahlah, Al. Jangan merusak suasana pagi-pagi begini." Ujar Ben tegas. Alya terdiam. Ben berdiri dari tempat duduknya dan meninggalkan Alya sendirian disana.

***

Sudah sejak pagi, Jakarta di guyur hujan yang merata disetiap sudut kota. Cuaca yang gloomy membuat Alya terbawa suasana hatinya yang juga kelam. Ia hanya duduk di depan televisi dengan kertas ujian murid-muridnya disekolah.

Ben keluar dari kamarnya sudah dengan pakaian rapi. Ia mengenakan kaos putih dengan lapisan jaket semi formal berwarna krem yang dipadankan dengan celana jeans serta sepatu santainya yang jarang digunakannya.

"Kamu mau kemana?" Tanya Alya. Ia memasang wajah yang cukup ramah untuk mengambil hati suaminya. Ia mendekati pria itu. Tercium aroma parfum yang maskulin yang selalu Ben gunakan.

"Aku mau keluar sebentar." Sahut Ben sambil berjalan ke arah pintu.

"Aku boleh ikut?" bujuk Alya dengan wajah sendu. Ia meraih lengan suaminya dengan harapan pria itu memenuhinya.

"Aku mau ketemu dengan teman lama, bukannya mau pergi nonton bioskop." Sambar Ben tegas.

Alya melepaskan tangannya dari lengan Ben. "Kamu menghindari aku, ya. Kamu masih marah soal tadi malam?" Tanya Alya. "Aku minta maaf, Ben. Kamu jangan hukum aku begini. Aku gak suka suasana rumah jadi seperti ini." Ujarnya lirih. "Apa yang aku bisa perbaiki supaya kamu maafin aku." Tanyanya.

Ben menghela napas beratnya. "Aku bilang masalah ini tidak perlu dibahas lagi." Ia membuka pintu. "Nanti aku makan malam diluar. Kamu juga tidak perlu tunggu aku pulang." Katanya kemudian meninggalkan tempat itu. Alya kembali duduk disofa dan menangis seorang diri disana.

***

Ben duduk termenung ditengah obrolan teman-temennya yang tamapk asyik bercerita satu sama lain. Pikirannya entah kemana dan ia tidak begitu tenang malam ini.

"Lo ada masalah apa sih? Dari tadi gue lihat melamun mulu." Sapa seorang temannya.

"Biasalah soal kerjaan." Jawab Ben asal.

"Gimana, bini lo udah isi?" Tanya salah seorang temannya yang lain.

Ben menggeleng. Ia bahkan tidak berpikir kesana sama sekali.

"Jangan buru-buru punya anak. Nikmatin aja masa muda lo. Nanti lo jadi kayak gue, gak bisa kemana-mana. Mau keluar begini aja susah banget. Hahaha...." temannya itu tertawa disambut oleh yang lain.

Ben ikut tertawa sekilas. Ponselnya berbunyi dan nama Elena muncul disana.

"Bos besar udah telpon." Sindir seorang temannya. Tawa mereka pecah.

"Halo?" Sapa Ben pada Elena.

"Kamu gak lagi dirumah ya?" Tanya Elena pertama kali dengan nada takjub.

"Aku lagi diluar, ada apa?" Tanyanya balik.

"Pantesan, kamu langsung jawab telpon aku." Nadanya berubah lembut. "Kamu mau temenin aku ke pameran furniture gak di JCC?"

"Sekarang?"

"Iya, acaranya tutup jam 11 malam. Kita masih punya waktu tiga jam lagi."

Ben melihat teman-temannya untuk menimbang ajakannya. "Boleh. Aku tunggu di basemen ya."

"Oke." Elena mematikan sambungan telepon itu.

"Kemana lo?" Tanya teman Ben.

"Gue balik duluan ya." Ben berdiri dari kursinya.

"Lo mau pergi sama yang baru ya. Haha..." tanya seorang lainnya. Tawa mereka pecah.

Ben menggelengkan kepalanya dan meninggalkan tempat itu.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR.

Ps: Ayo yg baca mana suaranya. Tunjukkan kesukaan kamu sama cerita ini dengan vote dan komentar. Jan lupa masukkan ke library kalian. Tag ya kalo lagi spam.

xoxo!!!