webnovel

Malam Sunyi dan Cerita Tentangnya

Sekujur tubuh saya pun merinding, antara kedinginan dan ketakutan bercampur aduk jadi satu. Dengan takut-takut saya beranikan diri menoleh ke belakang, ke arah boncengan. Tetapi tidak ada siapa pun atau apa pun di situ. Namun kemudian dari perasaan yang menjalar di punggung dan belakang telinga saya, memberitahu dengan cukup jelas bahwa ada "seseorang" yang ikut membonceng di belakang. Berwarna putih, berambut panjang.

BielivFelixia · Seram
Peringkat tidak cukup
14 Chs

Malam Minggu Misteri

Bercerita tentang toilet SMA tadi membuat saya jadi teringat kisah salah satu teman yang ia alami sewaktu ngapel ke rumah pacarnya.

Malam minggu tepat jam tujuh malam dia udah di depan gerbang rumah si cewek. Nampak lampu teras dan dalam rumah terang menyala, namun keadaannya sepi.

Setelah membuka gerendel gerbang—yang seperti biasa tidak digembok—dia melangkah menuju pintu depan dan mengetuk.

Tok..tok..!

Tok..tok..!

Beberapa kali diketuknya pintu itu.

Lalu terlihat gorden di balik jendela sedikit tersingkap dan tampak bayangan seseorang tengah mengintip dari dalam. Teman saya menggeser posisinya menghadap ke jendela, menyapa orang tersebut yang di dalam melalui bahasa tubuhnya. Kemudian gorden itu tertutup kembali.

Teman saya pun lega, berharap pintu segera terbuka. Dirapihkannya plastik pembungkus martabak yang dibawanya.

Namun, tunggu punya tunggu, pintu tidak kunjung terbuka. Dan tak terdengar suara apa pun dari dalam.

Kembali ia berusaha mengetuk dan mengetuk kemudian duduk menunggu di kursi teras. Diulangnya beberapa kali tanpa hasil. Setelah setengah jam, dia pun menyerah. Lalu pulang dengan hati kesal.

Besok paginya, dia menelpon si cewek dari telepon umum. Belum sempat ia berbicara, dari seberang terdengar suara lembut pacarnya itu. "Mas, maaf kemaren siang kakaknya Papa masuk rumah sakit, jadi sekeluarga ke Purwokerto. Ini baru balik rumah. Nggak sempet ngasihtau kamu, Mas."

"Oh gitu, terus siapa yang ditinggal di rumah? Aku ketok-ketok kok nggak dibukain," jawab teman saya dengan nada kesal.

"Kosong, Mas. Semua ikut." jawab pacarnya.

"Kosong..? Tap-tapi…," sergah teman saya.

"Iya, Mas. Memang kenapa sih?" potong pacarnya heran.

"Lagian, gerbang kan digembok, Mas, mana bisa Mas ngetok pintu? Emang lompat pager?" tambahnya.

Teman saya pun keselek martabak sisa semalam.

*** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** ***

Hujan deras yang turun tiba-tiba layaknya isi langit tertumpah ke bumi malam itu, membuat aku yang baru saja memasuki komplek perumahan di mana Fay tinggal belingsatan mencari tempat berteduh. Kukutuki keputusanku sebelum berangkat ngapel tadi untuk tidak membawa jas hujan.

Jalan utama komplek itu dalam keadaan sepi, mungkin karena hujan deras. Dalam lebatnya hujan, kulihat rumah dua lantai bercat hijau di sebelah kiriku yang tidak berpintu pagar, berbeda dengan rumah lainnya. Kanopi berwarna gelap menutupi sebidang car port rumah itu dengan sinar lampu temaram meneranginya dan juga sebagian teras di dekatnya.

Aku putuskan berhenti berteduh sebentar di rumah itu. Aku menyetandarkan motor dan berdiri di ujung depan Car Port menanti hujan reda, sembari sesekali menengok ke teras depan kalau-kalau si empunya rumah bertanya-tanya ada orang asing di halaman rumahnya.

Lima menit lebih aku berdiri menunggu hujan yang bukannya reda malah semakin deras, ditambah deru angin yang cukup menggidikkan tubuh. Hembusannya membuatku mundur dari ujung Car Port menghindari percikan air yang dibawanya.

Saat berbalik, nampak di balik kaca jendela depan rumah, dua orang anak lelaki berdiri di dalam memandang keluar ke arahku. Samar terlihat juga seorang wanita dewasa di belakang keduanya. Anak-anak itu tersenyum dan melambai padaku, memberikan isyarat agar aku mendekat. Mungkin mereka menawarkan agar aku mendekat atau menunggu di teras. Aku balas tersenyum sambil melambai memberi isyarat berterima kasih dan bahwa aku tetap berdiri di tempatku saat ini.

Begitu hujan reda beberapa saat kemudian, aku bergegas kembali ke motor dan meluncur ke rumah Fay. Kedua bocah tadi sudah tak terlihat di kaca.

"Hai, Mas, aku pikir nggak jadi dateng." Fay, pacar baruku, menyambut di teras rumahnya.

Wajah adik kelasku ini terlihat cantik sekali malam minggu itu. Padanan kaos putih dan celana blue jeans yang ia kenakan, menambah pesonanya.

"Maaf agak telat ya, nggak bawa jas hujan soalnya," jawabku.

"Iya nggak papa, Mas. Memang hujannya deres banget tadi." Lalu ia mengajakku duduk bersebelahan dengannya di kursi kayu yang ada di teras.

"Tadi berteduh di mana, kok nggak begitu basah?" tanyanya kemudian.

"Di depan, dekat gerbang komplek."

"Oh, syukurlah. Gimana, kita jadi jalan?" tanyanya dengan senyum yang seolah menghangatkan tubuhku.

"Ya jadi dong. Ayo.."

"Ok. Tunggu bentar ya, aku pamit Papa Mama dulu." Setengah berlari ia masuk ke dalam rumah. Tidak sampai dua menit, Fay sudah kembali menemuiku di teras. Bersama seseorang.

"Jangan pulang malam-malam ya!"

Busyet

Papa-nya yang bertubuh gempal dan berkumis seperti Pak Raden berkata pendek namun tegas, khas anggota militer.

"Siap, Om, eh..iya, Om," jawabku gugup. Sementara Fay cuma nyengir tidak jelas.

₡ ₡ ₡

Lho...

Aku tak menemukan rumah tempat aku berteduh tadi.

"Kenapa Mas? Kok pelan?" Fay mengendurkan pelukannya di boncengan motorku.

Aku ingat benar posisi rumah tadi. Persis di sudut atau "hook" blok dekat gerbang komplek. Kuhentikan laju motorku.

"Ayo, Mas, jalan lagi. Serem tahu deket rumah itu," rengeknya.

"Serem? Kenapa?"

"Rumah di pojok itu horor katanya, Mas. Dulu kabarnya ada sekeluarga dibunuh. Habis itu udah berapa kali ganti orang tapi nggak ada yang betah. Tuh lihat, udah kosong berapa lama, kotor gitu." tunjuknya dengan nada takut-takut.

Aku menatap nanar ke rumah yang disebutkan Fay.

Rumah kosong dengan keadaan tidak terawat, terasnya berantakan dengan plafon berlubang di sana sini. Halamannya dipenuhi rumput tinggi, sementara lapisan tanah basah menutupi Car Port.

Persis tempat di mana aku tadi berteduh!

(Inspired by true story)