webnovel

Upacara

Remaja itu hanya bisa terdiam tanpa daya mendengar kata-katanya. Dia menatap lama gadis itu sebelum mengulurkan tangannya, menunggu tanggapan darinya.

"Ya ya, aku tahu." Gadis itu melemparkan kantung kain dengan tidak sabar ketika melihat dia hanya diam menatapnya.

Remaja itu melirik isi kantung sebelum meletakkannya di sampingnya, dia kemudian terdiam sambil menundukkan kepalanya, termenung tanpa mengindahkan gadis di depannya.

"Untuk apa benda itu." Menyandarkan kepalanya di tangan, gadis itu menatapnya dengan aneh, baru pertama kalinya dia pernah melihat orang menggunakan benda kotor itu.

"Sesuatu yang penting." Masih termenung, remaja itu perlahan menjawabnya dengan tenang.

"Apakah kamu akan pergi?" Gadis itu tiba-tiba bertanya dengan sedih.

"Dalam waktu dekat."

"Bisakah aku." Dengan penuh harap, gadis itu menatapnya dengan harapan.

Remaja itu tiba-tiba mengangkat kepalanya, dia menatap wajahnya dengan serius. "Tidak. Dunia luar lebih kejam daripada yang kamu ketahui, saat ini kamu tidak akan bisa bertahan sedikitpun."

"Lalu..."

"Kamu harus mencapai Tahap Bulan," melihatnya sedikit bersemangat, remaja itu mulai tertawa kecil, "setidaknya saat itu kamu bisa bertahan selama beberapa hari."

"Kamu menipuku." Mendengus marah, gadis itu berdiri dan menatap tajam padanya sebelum berniat pergi meninggalkannya.

"Tunggu." Remaja itu tiba-tiba menghentikannya sebelum menundukkan kepalanya dan mulai menghitung dengan jari-jari tangannya.

"Ini untukmu." Melemparkan kantung kain kepadanya, remaja itu menatapnya dengan serius. "Ada beberapa barang di dalamnya, jangan pernah sekali-kali kamu membukanya kecuali kamu menghadapi keadaan darurat."

"Oh." Gadis itu hanya ragu-ragu sesaat sebelum meletakkan kantung di tubuhnya, dia tidak meragukannya sedikitpun, dia juga tidak menanyakan alasannya seolah dia sepenuhnya percaya padanya.

"Ingat ini, jangan biarkan seorangpun melihat benda di dalamnya." Dia dengan serius mengingatkannya sekali lagi, sebelum terdiam menatapnya.

Gadis itu mengangguk mengerti, dia meliriknya sebelum pergi. "Sampai jumpa Dean."

"Sampai jumpa Alisa." Dean tersenyum menanggapinya.

Malam berlalu, kesunyian menyelimuti Kota Celis, penduduk mulai beristirahat menutupi diri mereka dengan selimut. Namun, di sudut kota ini di dalam gubuk kecil, seorang remaja masih duduk bersila di atas ranjangnya tidak tergoda oleh kenikmatan tidur.

Napasnya teratur, setiap tarikan napasnya sangat panjang, memberikan irama tertentu padanya dan setiap hembusan napasnya layaknya seekor harimau yang meringkuk menunggu dalam diam.

Dean, remaja itu mempertahankan posisinya dalam diam tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya. Namun, ketenangan itu tidak berjalan lebih lama, karena tiba-tiba telinganya berkedut ringan.

Bersamaan dengan reaksinya, bayangan gelap bergerak sangat cepat melewati gerbang kota. Bayangan itu bergerak cepat melewati penjaga tanpa menarik perhatian mereka.

Bayangan itu melewati rumah demi rumah, sebelum berhenti di sudut kota, tepatnya dia berhenti di depan rumah Dean. Tanpa sedikitpun suara, bayangan itu memasuki rumah Dean dan berlutut di depannya.

"Salam Pangeran."

Kejutan luar biasa seolah menguasai Dean, wajahnya tiba-tiba menjadi pucat ketakutan. Dia melompat dari tempatnya, dan hampir menabrak tembok, melihat orang di depannya dengan ngeri. "Si.. si.. siapa kamu!? Ba..ba.. bagaimana kamu bisa masuk!?"

"Salam Pangeran."

"A..a..aku bukan pangeran. Ka..ka..kamu pasti salah. Tolong jangan bunuh aku." Dean menolak dengan keras, dia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Niel, aku tahu bahwa itu kamu, jadi tolong hentikan." Bayangan itu akhirnya menyerah, dia membuka tudungnya dan memperlihatkan wajah cantik seorang wanita.

Dia menatap Dean dengan memohon, memohon agar dia segera menghentikan sandiwara ini.

"Haaah. Bagaimana kamu bisa menemukanku." Menghapus ekspresi ngeri di wajahnya, Dean kembali duduk dan dengan tenang menatapnya.

Masih dalam posisi berlutut, gadis itu menundukkan kepalanya dan menjawab pertanyaannya dengan tenang seperti bagaimana bawahan menjawab atasannya. "Kami mencarimu di seluruh penjuru benua, khususnya seorang remaja yang tiba-tiba muncul di kota-kota dan desa-desa."

"Lagipula..," mengangkat kepalanya, gadis itu melihatnya sambil tersenyum manis. "Tidak ada seorangpun yang menggunakan nama Dean akan menjawab jika dia dipanggil Niel."

Dean dengan kosong menatapnya sebelum tersenyum kepadanya. "Anna, lima tahun telah membuatmu dewasa."

Tersenyum manis, Anna menundukkan kepalanya dan dengan sedih berkata padanya. "Pangeran, ini sudah lima tahun lebih apakah pangeran tidak ingin kembali lagi."

"Ini bukan waktunya." Meliriknya, Dean menjawabnya dengan singkat. Termenung sejenak, dia tiba-tiba bertanya padanya. "Apakah mereka tahu?"

"Ya, tapi mereka belum sampai ke tempat ini."

"Bagaimana dengan Ibu." Sedikit gejolak melintas di matanya sebelum kembali tenang.

"Ratu merindukanmu pangeran, kumohon tolong kembali denganku." Secercah harapan muncul di mata Anna mendengarnya menyebut Ibunya sendiri.

Hening menyelimuti ruangan, Dean tampak sedikit ragu-ragu sebelum menghela napas. "Katakan kepada Ibu, putra tidak berbakti ini tidak bisa kembali sekarang. Dan katakan kepadanya untuk tidak mengkhawatirkanku lagi, aku pasti akan kembali."

Kesedihan mulai menyelimuti Anna dia tidak bisa tidak bertanya. "Apakah ini karena mereka."

Tiba-tiba Dean tertawa kecil sebelum menatap ke langit dengan dingin. "Ada hal yang harus kupastikan sebelum aku kembali."

"Baik, pelayan ini akan memberikan pesan kepada Ratu." Anna tiba-tiba menjadi lebih sedih mendengar perkataannya.

Bangkit dari tempatnya, dia membungkuk hormat padanya sebelum keluar dari rumah. Sebelum dia sempat menginjakkan kakinya dari rumah, suara Dean terdengar di telinganya.

"Jangan mencariku lagi, dan sebisa mungkin perhatian peristiwa di seluruh dunia. Apapun peristiwa itu."

Anna kemudian menghilang dari pandangan, mengikuti jalan di mana dia datang. Tidak ada yang mengetahui pertemuan singkat tadi, juga tidak ada keributan yang membangunkan penduduk kota ini, mereka hanya tertidur dengan pulas menunggu upacara pemberkatan tiba.

Angin malam berhembus menerpa Kota Celis, nyamuk-nyamuk berdenging dimalam sunyi ini, bulan hampir pudar oleh sinarnya mentari, pagi hari hampir tiba di Kota Celis.

Sebelum ayam sempat berkokok, bayangan buram bergerak cepat meninggalkan kota. Bayangan itu menuju selatan melewati hutan di belakang Kota Celis, bayangan itu terus bergerak tanpa berhenti sebelum akhirnya tiba di gunung gersang.

Waktu terus berjalan, mentari akhirnya terlihat, pagi hari telah tiba. Penduduk kota mulai keluar satu demi satu, mereka dengan gembira berkumpul bersama di lapangan, menunggu upacara yang akan datang.

Di lapangan, kerumunan telah memenuhi setiap ruang di sana. Walikota dan pejabat mulai datang satu persatu, mereka duduk di tempat yang sudah lama disiapkan. Mereka menatap panggung di tengah lapangan, menunggu peserta kecil melakukan kontrak mereka.

"Apakah dia datang?" Walikota menyapu pandangannya, tidak menemukan kehadiran orang yang dimaksud.

Pejabat-pejabat di sekitarnya melirik satu sama lain, sebelum si pelatih menjawabnya dengan sedih. "Tidak, dia tidak akan datang."

"Haaah, sudah dua tahun dia datang ke kota ini tapi belum satupun kontrak yang dia dapatkan." Walikota dengan sedih mengingat bocah kecil yang datang dua tahun lalu hampir sekarat karena kelaparan.

"Dia anak yang baik." Pejabat-pejabat di sampingnya mengangguk satu demi satu, merasa sangat disayangkan dengan situasinya.

Semuanya menjadi terdiam, mereka sudah berusaha membantunya tapi dia menolak semua bantuan mereka jadi mereka hanya bisa menghela napas dengan pasrah.

"Tuan Walikota, bagaimana dengan masalah itu?" Hening menyelimuti mereka, mengingat permasalahan itu mereka menjadi khawatir.

"Meskipun pajaknya telah dinaikkan, kami masih bisa bertahan. Namun...," Walikota dengan khawatir melihat ke panggung, dia khawatir dengan masa depan mereka, "semuanya akan tergantung mereka. Jadi adakah bibit bagus kali ini?"

Si pelatih menggangguk pelan menatap calon-calon penerus mereka. "Kali ini bisa dikatakan sebagai masa emas kita. Banyak bibit yang melibihi tahun sebelumnya, khusus Tina dan Lou."

"Lou?" Semua pejabat terkejut mendengarnya, mereka kemudian menatap pria paruh baya yang duduk dengan mereka. "Sei, putramu benar-benar menakjubkan."

"Hmph. Jangan katakan itu, bocah itu hanya tahu cara menyombongkan diri." Sei mengelus janggutnya dan mendengus mendengar sanjungan mereka tapi dia tidak bisa menahan kegembiraan muncul di wajahnya.

"Tina? Putri Karu?" Walikota di sisi lain terkejut mengetahui Tina menjadi bibit emas tahun ini.

"Ya, dia putri Karu." Si pelatih menghela napas sedih mengingat sosok temannya yang sekarang tidak ada satupun kabar darinya.

Walikota juga merasakan perasaan yang sama dengan si pelatih, namun sekarang bukan waktunya lagipula dia masih memiliki putri yang luar biasa di sini. "Rou mulailah upacaranya."

Si pelatih mengangguk mengerti, dia kemudian meluncur ke panggung dan menatap peserta kecil di depannya.

"Upacara dimulai."