webnovel

Uang

Menikmati kacang di tangannya, Dean memperhatikan ada pelayan yang datang ke arahnya. Meliriknya dengan santai, dia tidak mempedulikannya dan melanjutkan menikmati kacangnya.

"Permisi, Tuan. Maaf mengganggumu, tapi Nyonya ingin bertemu denganmu." Tiba di meja Dean, Pelayan itu menyapanya dengan sopan.

Melirik pelayan itu, Dean masih dengan tenang memakan kacangnya, sepenuhnya mengabaikan dia, bertindak seolah dia tidak pernah mendengarnya.

"Tuan?" Memperhatikan pemuda di depannya mengabaikannya, pelayan itu mencoba memanggilnya.

"Tidakkah kau melihat aku sedang sibuk." Melambaikan tangannya, Dean dengan jengkel mengusirnya.

Pelayan itu terdiam mendengar penolakannya, dia kemudian menyadari seluruh orang di ruangan sedang menantap mereka. Dia bahkan samar-samar mendengar bisikan mereka, tahu bahwa dia akan disalahkan pelayan itu akhirnya teringat perkataan manajernya.

"Umm. Tuan, itu gratis." Pelayan itu gugup menunggu bagaimana reaksinya, dia juga ragu apakah kata-katanya akan berhasil.

"Apa yang kamu katakan!?" Meletakkan tangannya, Dean tiba-tiba menantap pelayan itu, matanya sedikit merah ketika menatapnya.

"Umm. Itu gratis." Menundukkan kepalanya, dia sedikit ngeri melihat tatapan matanya yang mendadak berubah merah.

"Apa yang kamu tunggu! Cepat tunjukkan jalannya." Menampar mejanya, Dean dengan cepat berdiri meninggalkan tempatnya.

"Ah ya, baiklah." Terkejut melihat bagaimana reaksinya berbeda dengan apa yang dia harapkan, pelayan itu akhirnya tersadar dan dengan gugup memandunya.

Ketika keduanya pergi, semua pelanggan memikirkan satu pertanyaan di benak mereka, siapa dia sebenarnya, bagaimana mungkin rubah betina itu memiliki niatan untuk mengundangnya. Sangat jarang menemukan wanita licik itu tiba-tiba mengundang orang tanpa nama, dan jika itu terjadi maka tidak dapat disangkal bahwa orang itu pasti akan menjadi sosok ternama.

Di salah satu sudut, seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah merah dengan santai melirik orang di sampingnya. Orang di sampingnya mengangguk mengerti, segera dia membungkuk padanya sebelum meninggalkan restoran.

Di sisi lain, pemuda itu tetap melanjutkan makanannya, menikmati hidangan di depannya. Situasi serupa juga terjadi di seluruh restoran ini, banyak pelanggan yang tiba-tiba pergi meninggalkan restoran, membuat restoran yang pada awalnya sunyi menjadi lebih sunyi lagi.

Sementara itu, Dean saat ini sedang mengikuti pelayan, setelah dia menaiki tangga lantai pertama, dia kemudian naik ke lantai atas mengejutkan pelanggan di lantai itu dan tanpa berhenti dia akhirnya sampai di lantai paling atas.

Di lantai ini tidak ada meja ataupun kursi seperti lantai lainnya untuk menjamu pelanggan. Hanya ada dua sofa dan satu meja serta dekorasi yang memperindah lantai ini, selain itu ada juga dua ruang yang tidak jelas untuk apa kegunaannya. Melihat Dean langsung duduk di sofa tanpa kesopanan, pelayan itu pada akhirnya membungkuk sopan padanya sebelum meninggalkan dia sendirian di ruangan ini.

Duduk di sofa, Dean dengan santai melirik sudut ruangan sebelum mengambil buah di depannya dan memakannya tanpa peduli dengan tata krama. Dia melanjutkan itu sampai buah di depannya habis sebelum dia memiringkan tubuhnya dan mulai tertidur.

Di salah satu ruangan, seorang wanita cantik tanpa daya menyaksikan tindakan Dean. Wanita cantik ini terlihat berusia dua puluhan, dia mengenakan blus merah yang memeluk tubuh indahnya dengan rambut hitamnya dibiarkan tergerai, membuat siapapun yang melihatnya tak kuasa menahan godaan.

"Dia sama seperti rumornya." Menggelengkan kepalanya, wanita itu kemudian memutuskan untuk keluar menyapanya.

Berjalan perlahan, wanita itu kemudian tiba di depannya dan membangunkannya dengan lembut. "Tuan Muda."

"Mmn, lima menit lagi." Dean memiringkan tubuhnya menjauh darinya.

"Haah. Tolong Tuan Muda, berikan pelayan ini sedikit kemudahan." Wanita itu sedikit menghela napas, jika ini orang lain maka dia tidak akan bersikap sopan sebaik ini apalagi setelah melihat perilakunya ini.

Membuka matanya, Dean sedikit menguap dan menatap wanita cantik itu dengan jengkel. "Ah, maafkan aku. Akhir-akhir ini, aku tidak bisa tidur nyenyak."

Sebelum wanita itu bisa merespon, Dean tiba-tiba berbicara padanya seolah dialah pemilik tempat ini. "Ah. Di mana sopan santunku, tolong silahkan duduk."

"Permisi." Dengan wajah penuh senyum, wanita cantik itu mengikuti kata-katanya, dia tidak marah padanya hanya dengan tenang duduk di depannya.

"Jadi apa yang kamu inginkan dariku." Sambil berbicara, Dean memeriksanya dari atas sampai bawah, menatapnya dengan penuh penghargaan.

Wanita itu masih tersenyum melihat dia memeriksanya, karena dia bisa melihat dari matanya tidak ada kotoran saat melihatnya. Dia kemudian membungkukkan tubuhnya sedikit ke depan, berniat mendengarkan apa yang ingin dia sampaikan. "Pelayan ini mendengarkan."

"Baiklah jika kau tidak masalah." Menggangguk pelan, Dean kemudian menatapnya dengan serius. "Uang. Pinjamkan aku uang."

"Huh!? Hahaha. Tuan Muda, kamu pasti bercanda." Wanita itu pada awalnya tertegun sejenak sebelum tertawa kecil, merasa lucu dengan kata-katanya. "Tidak mungkin untuk sosok seperti Tuan Muda akan meminjam uang."

Dean tersenyum kecil, melihat reaksinya. Dia menatapnya sedikit lebih lama sebelum bertanya padanya. "Sepertinya kamu sudah memeriksa indentitasku."

"Melihat bagaimana Tuan Muda bertindak akhir-akhir ini. Pasti ada banyak orang yang akan mencoba mencari tahu identitasmu." Wanita itu tidak menolak kata-katanya namun dia juga dengan sopan menghindari pertanyaan itu.

"Sayangnya hanya kamu mengetahuinya." Mengangguk kecil, Dean menatapnya dengan pujian.

Wanita itu hanya tersenyum mendengar perkataannya, tidak membantahnya sedikitpun. Dia juga tidak menyombongkan pencapaiannya ini, karena dia tahu semua ini tidak bisa dibandingkan dengannya.

"Apa yang kamu inginkan?" Menunggu jawaban darinya, Dean menatap tajam padanya.

Wanita itu menatap langsung ke matanya, tidak terpengaruh olehnya, dia sedikit merenung sebelum menjawabnya. "Kesempatan. Pelayan ini ingin kesempatan darimu."

"Dua." Mengacungkan dua jari padanya, Dean melanjutkan dengan perlahan. "Pertama, aku akan memberimu posisi, namun hubungan kita hanya sebatas itu dan di masa depan aku tidak akan membantumu lagi."

"Yang kedua." Wanita itu mendengarkan dengan seksama tidak menyelanya sedikitpun.

"Kedua, aku akan memberimu tempat di sisiku. Namun setelah itu, kamu bukan siapa-siapa lagi selain salah satu orang yang ada di sampingku." Menyandarkan tubuhnya ke sofa, Dean menatapnya menunggu jawaban darinya.

Wanita itu merenung sejenak, mencerna dua pilihan yang diberikan padanya. Setelah beberapa saat, dia menatap pemuda itu dan dengan ragu bertanya. "Jika pelayan ini boleh tahu, apa perbedaan antara dua pilihan."

Dean menatapnya sekilas sebelum menjawabnya dengan tenang. "Yang pertama, pencapaianmu hanya sebatas benua ini. Jika kamu memilih pilihan kedua, itu semua akan tergantung apakah kamu tetap mengikutiku sampai akhir atau tidak."

"Terserah kamu memilih pilihan yang mana. Aku akan tetap di tempat ini untuk beberapa waktu. Jadi kamu bisa memikirkannya dengan hati-hati." Dean menguap kecil, tampak tidak peduli dengan pilihan apa yang akan dia ambil.

Berdiri dari sofa, wanita itu membungkuk hormat padanya. "Terima kasih Tuan Muda. Nama pelayan ini adalah Fey, tolong ingat nama pelayan ini apapun pilihan yang akan pelayan ini ambil."

Mengangguk kecil padanya, Dean akhirnya berdiri dan berjalan menuju tangga ke lantai bawah. Namun, saat dia hampir satu langkah dari tangga, Dean tiba-tiba membalikkan badannya dan menatapnya dengan malu. "Ehem. Jadi soal pinjamannya?"

....

Keluar dari restoran, Dean dengan senang hati menghitung satu per satu uang yang baru saja dia dapatkan. Melirik restoran di belakangnya, dia berjanji dia pasti akan kembali lagi.

Menyaksikan pemuda itu menghilang dari balik jendela, Fey tidak pernah menyangka dia lebih aneh dari rumor yang dia dengar tentangnya. Tanpa tahu kapan, ada sosok tambahan yang berdiri di sampingnya menyaksikan pemuda itu menghilang.

"Bagaimana pendapatmu?" Fey bertanya padanya tanpa tergesa-gesa, dia kemudian mengalihkan pandangannya, melihat ke arahnya.

"Aneh." Sosok itu, tepatnya seorang kakek tua yang rambutnya telah sepenuhnya memutih, tapi tidak dengan wajahnya yang tampak seperti bayi, tidak ada satu kerutan sedikitpun. "Kesan pertamaku, dia hanyalah pemuda nakal biasa. Namun, jika diperhatikan lagi ternyata dia menyembunyikan sesuatu yang tidak bisa aku lihat. Tapi ketika aku memeriksanya lagi, ternyata dia hanya pemuda biasa."

Fey hanya mengangguk pelan, pikirannya melayang entah kemana. Kilauan tiba-tiba kembali ke matanya, sebelum dia dengan tegas menatap kakek tua di sampingnya. "Tetua, aku sudah memutuskan."

"Apakah kamu yakin?" Tetua itu mengerut kening mendengar kata-katanya, namun dia tidak memiliki posisi untuk mempertanyakannya. "Tapi umurnya berbeda dari apa yang telah tertulis."

"Iya." Mengangguk mengerti, Fey dengan mendung menatap langit, memikirkan masa lalunya. "Tapi apakah menurutmu dialah orangnya."

Tetua itu terdiam mendengar pertanyaannya, dia tahu apa maksudnya. Dia juga menolak percaya bahwa dialah orangnya, namun tidak ada seorangpun selain dia yang usianya cocok dengan kriterianya.

"Haaah. Mungkin, ini adalah takdir."

"Ya, kamu benar."