webnovel

.3

Bau berbagai obat-obatan terasa sangat menusuk indera penciuman. Sebenarnya, Magika paling tidak suka jika harus berada di tempat seperti ini. Namun berhubung ini demi sang pujaan hati, Magika harus menepis beragam ketidaksukaannya itu.

Gadis itu dengan telaten mengkompres mata sebelah kanan Magenta dengan air hangat. Magika tak menyangka bahwa efek yang ditimbulkan dari lemparan sepatunya akan se dahsyat ini. Magenta benar-benar terlihat mengenaskan dengan mata yang bengkak sebelah seperti itu.

Jujur kalau Magika harus berkata, Magenta kehilangan sebagian pesonanya dalam keadaan seperti ini. Namun ini justru membuat Magika semakin bertekad untuk merawat Magenta dengan sepenuh hati untuk mengembalikan wajah tampan cowok itu.

"Gue bisa sendiri, lo balik aja ke kelas." Entah itu sudah yang keberapa kalinya Magenta mengucapkan kalimat yang sama, dan dengan jumlah yang sama pula kalimatnya itu tidak di gubris oleh gadis di hadapannya.

"Gak masalah kok Gen, gue bakalan disini sampai lo sembuh," balas Magika.

"Dalam waktu seminggu aja gak yakin gue kalau bakalan sembuh," ucap Magenta, setelah melihat keadaannya di kaca tadi ia pesimis bengkaknya ini akan kempes dalam waktu satu minggu.

"Gue siap menanti lo sembuh, bahkan sampai akhir hayat sekalipun gue sanggup kok Gen." Magika tersenyum.

Magenta sendiri menautkan alisnya, apakahkah kalimat yang barusan keluar dari mulut gadis di hadapannya ini adalah salah satu jenis gombalan? Seriusan, Magenta di gombalin cewek yang bahkan baru kemarin ia temui?

Astaga, sebenarnya dimana urat malu gadis ini?

"Nama lo?"

"Magika Anandini, biasa di panggil Magika. Kalau lo mau panggil sayang atau cinta juga boleh kok. Gue ikhlas."

Bener kata Jo. Ini cewek gak waras. Batin Magenta.

"Magika."

"Iya sayang.... Eh..... iya Genta, ada apa ya panggil Magika?"

"Tolong beliin gue es teh di kantin."

"Oke, tunggu sebentar ya." Magika langsung berdiri dan berjalan ke kantin.

Sampai di depan kantin, Magika berhenti sejenak. Ia lupa bertanya pada Magenta, es teh dari kedai yang mana yang paling cowok itu sukai. Magika berniat berbalik untuk kembali ke UKS dan menanyakannya, namun ia urungkan niatnya itu.

Kalau ia kembali pasti akan memakan waktu yang banyak, secara UKS dan juga kantin jika di ibaratkan berada di dua sudut sekolah yang berlainan. Jika Magika kembali untuk bertanya, nanti takutnya Magenta sudah keburu tidak kuat menahan haus. Magika kan tidak mau cowok itu sampai dehidrasi dan pada akhirnya pingsan.

Tidak ada pilihan lain, Magika harus membeli es teh dari ke enam kedai yang ada.

Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Magika segera bergegas kembali ke UKS. Ia membuka kenop pintu dengan wajah ceria, namun dalam sekejap raut cerianya itu berubah menjadi raut kebingungan. Magika bingung ketika mendapati ruang UKS kosong, dan Magenta tidak ada disana.

"Eh, liat cowok yang matanya bengkak gak tadi disini?" tanya Magika kepada seorang siswa anggota PMR yang baru saja masuk kedalam ruang UKS.

"Kayanya udah keluar deh."

"Kemana?"

"Pas gue tanya, gue dikacangin gitu aja."

Magika menghela napasnya. Kenapa Magenta ini suka sekali sih membuatnya untuk berpikir keras. Sekarang di mana kira kira Magenta kini berada. Apa dia pulang? Atau mungkin dia ada di kelasnya?

Tanpa berpikir lebih lama lagi, Magika langsung saja melangkahkan kakinya menuju kelas Magenta. Siapa tahu saja karena ia tinggal ke kantin tadi Magenta kesepian, dan setelahnya ia kembali ke kelas untuk mencari keramaian. Bisa saja, itu masuk akal bukan?

Koridor sekolah benar benar sangat sepi kala itu, sepatu pantopel miliknya yang beradu dengan kerasnya lantai pun sampai dapat ia dengar suaranya. Sampai di depan kelas Magenta, Magika menengok sejenak ke dalam untuk melihat situasi.

Di dalam tengah ada Bu jeni yang mengajar, Magika memutar bola matanya malas. Ia merasa bosan sekali bertemu dengan guru yang satu itu. Dia lagi, dia lagi, seperti tidak ada guru lain saja perasaan.

Magika melirik ke arah bangku dimana Magenta biasa duduk, barisan nomor tiga bagian paling pinggir sendiri dekat dengan jendela. Ia dapat dengan jelas melihat wajah Magenta yang benar benar jenuh meski pandangannya tetap terkunci pada papan tulis.

Ternyata bukan hanya dirinya yang seperti itu ketika pelajaran Bu Jeni sedang berlangsung. Magenta pun juga sama. Apakah ini yang dinamakan berjodoh?

"Hussssttttt Magenta!" bisik Magika dari sela sela jendela yang terbuka.

Bisikannya benar-benar efektif, dalam sekali panggil saja Magenta langsung menoleh kearahnya.

"Ini es teh nya." Magika mengangkat kantong plastik berisi enam cup es teh yang sedari tadi ia bawa wira wiri.

Magenta hanya meliriknya sekilas lalu pandangannya kembali terkunci kepada Bu Jeni yang sedang menjelaskan materi di depan.

Ah, sial. Kelihatannya Magenta mengkode Magika agar gadis itu masuk kedalam dan memberikannya langsung tanpa melalui jendela. Ya, mau bagaimana lagi. Jika itu maunya Magenta, sebisa mungkin akan ia turuti.

"Permisi Bu Jeni."

Bu Jeni yang sedang menulis sesuatu di papan tulis mendadak menoleh, menatap Magika yang tengah berdiri di ambang pintu.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya guru itu ketus.

"Dih si ibu, kok pertanyaannya ngegas gitu sih." Magika mengerucutkan bibirnya.

"Kamu kemana tadi? Kenapa bolos jam pelajaran saya, dan sekarang kenapa justru muncul di sini?"

Magika menggaruk belakang kepalanya. Ia bahkan tidak mengingat bahwa hari ini Bu Jeni mengajar di kelasnya. Namun tiba tiba saja sebuah ide cemerlang melintas di kepalanya.

"Tadi itu saya ada urusan penting bu. Biasa bu, anak OSIS kan sibuk." Magika beralibi dengan nada yang begitu meyakinkan.

"Terus?" Bu Jeni melipat kedua tangannya di dada bersiap menanti kelanjutan ucapan Magika yang terdengar menggantung di telinganya.

"Terus saya sekarang kesini itu mau ikut pelajaran ibu disini. Hitung-hitung ganti yang tadi. Gimana, boleh kan bu?"

"Yaudah, sana duduk."

Magika mengangguk dengan antusias, kemudian ia tersenyum ketika melihat Magenta duduk sendirian di salah satu sisi kelas. Magika pun langsung menuju ke bangku kosong tepat di sebelah Magenta.

"Gue duduk sini ya Gen?"

"Gue larang pun lo bakal tetep duduk kan?" tanya Magenta dan Magika terkekeh pelan mendengarnya. Sedikit banyak, sekarang Magenta mulai mengerti tipikal orang macam apa gadis di sebelahnya ini. Magika ini kelihatannya adalah orang yang sulit untuk diatur, terlihat sekali saat di uks tadi ucapannya untuk meminta gadis itu pergi tak digubris sama sekali.

"Oh iya Gen, ini es teh yang lo minta." Magika menyerahkan semua es teh yang ia beli tadi.

Magenta mengerenyitkan dahinya, kenapa Magika harus membeli dengan jumlah yang sebanyak ini? Bukankah Magenta berkata bahwa ia hanya meminta di belikan es teh? Dan apa yang dilakukan gadis ini justru seakan akan Magenta tadi memintanya untuk memborong semua es teh di kantin.

"Jadi gue beli ini itu di setiap kedai di kantin Gen. Habis gue kan gak tahu lo sukanya es teh dari kedai yang mana," ucap Magika seakan mengerti apa yang tengah di pikirkan cowok itu. "Jadi lo sukanya yang mana?"

"Ehem...."

Suara deheman itu membuat Magika menoleh ke sumber suara, gadis itu menelan ludah ketika melihat Bu Jeni sudah berdiri di sebelahnya. Tatapannya benar-benar menakutkan, guru itu seakan akan ingin melahap Magika hidup-hidup di sana.

"Ini itu kelas, bukan tempat untuk berjualan."

"Tahu kok bu, emang siapa bilang juga ini pasar," jawab Magika enteng.

Hampir semua orang berpendapat bahwa Magika itu ajaib, lihatlah dia. Disaat orang lain akan mati kutu ketakutan saat berhadapan dengan guru se killer bu Jeni, gadis itu justru terlihat santai menghadapinya. Bahkan Magika cenderung sering menjawab setiap ucapan dari guru itu.

"Kalau kamu tahu, kenapa kamu jualan es di dalam kelas?"

"Dih, siapa juga yang jualan. Ini tuh ya, pesenannya Magenta. Dia kehausan. Jadi, sebagai calon pacar yang baik saya harus memenuhi setiap permintaan dari calon masa depan saya ini bu. Mangkanya Ibu ini kalau gak tahu, jangan sok tahu. Jangan asal jeplak aja bu."

Wajah Bu Jeni telah merah padam menahan amarah, dadanya kembang kempis. Ia berusaha menetralisir segala gejolak emosi yang ada. Menghadapi Magika memang memerlukan kesabaran ekstra.

"Magika Anandini."

"Iya, ada apa Ibu Jeni?" Magika balik bertanya dengan nada dan wajah yang dibuat se imut mungkin.

"Keluar dari kelas saya, SEKARANG!!!"