Dua remaja bermarga Wiranto itu tak jemu-jemunya memandang Rino yang duduk ditengah-tengah Bunda serta Randa.
Menggenakan jas pengantin hitam senada celananya, Remaja berlesung pipi itu benar-benar gagah dan tampan. Riasannya berupa bedak tipis, Bibir busurnya sengaja Rani biarkan alami karena warnanya memang pink dari sananya. Dan lagipula Rino tidak suka didandani layaknya wanita.
Remaja itu terus menunduk semenjak tiba di kediaman Wiranto sekitar 30 menit yang lalu.
Dalam sekejap Arwin maupun Lintang akan bergantian menuang jus apel, Kemudian meminumnya sementara mata mereka terus berfokus pada Rino.
Jasmine, "Kalian ini kok minum terus?" Dia merasa aneh memergoki kelakuan dua anaknya.
Arwin, "Haus Ma" Dia menjawab sembarangan. Maksud sebenarnya adalah hasratnya yang haus melihat ketampanan remaja yang tak lama lagi akan menjadi suaminya.
Randa menyipitkan matanya. Ia menatap dua remaja di seberang meja dan Kakaknya berulang kali, Sudut bibirnya terangkat dalam waktu singkat lalu kembali seperti semula. Heh! Jangan pikir karena usianya masih 15 tahun sehingga dia tidak tahu makna dari tatapan penuh nafsu tersebut.
Randa, "Natep Abang gue gak segitunya juga kali!" Mereka semua mengalihkan pandangan kepadanya.
Yudi, "Siapa yang tatap Rino?"
Randa bersedekap dada, "Tuuuh, Anaknya Om, Dua-duanya lagi!" Dia menunjuk Arwin dan Lintang menggunakan isyarat bibir.
Jasmine manggut-manggut, "Pantesan nak ganteng gak nyaman, Heh kalian berdua jangan natap kayak gitu ih! Malu-maluin" Sergahnya pada dua anaknya.
Sadar perbuatan mereka diketahui, Arwin dan Lintang sontak mengalihkan mata ke sembarang arah. Rino bernafas lega, Barulah kemudian dia berani menegakkan kepalanya. Apa yang dikatakan oleh calon mertuanya memanglah benar, Dia gugup saat terus diperhatikan intens oleh dua pemuda di seberang meja.
Ridwan, "Pa, Udah sampai dimana pak penghulunya?" Celetuknya ke sang ayah.
Yudi segera memeriksa notifikasi di ponselnya, "Asep ngirim pesan katanya mereka sudah dekat" Jawabnya.
Ardi menghela nafas, "Baguslah kalau begitu" Sahutnya dari sebelah Ridwan.
"AAAAH!!!"
Semua penghuni ruangan kaget saat Rino mendadak mengerang kesakitan meremas perutnya.
Rani, "Astaga, Kamu kenapa sayang?!"
Rino, "Pe-perut Rino sakit Bun hiks!" Tangisannya pecah sebab sakit yang luar biasa pada perutnya.
Jasmine tiba-tiba memekik keras, "Ya ampun darah!!" Wanita itu melihat jelas cairan merah dari sepatu calon menantunya mengalir ke lantai. Nyaris ia ambruk bila Ardi tidak segera menahannya.
Dengan cepat Habsah berteriak, "Arwin! Jangan cuma mematung disana! Cepat bawa dia ke kamarmu!!" Titahnya menyadarkan remaja yang sedari tadi membatu di sofa.
Tak lagi menyahuti perintah pamannya, Arwin bergegas mendekat lantas menggendong Rino gaya bridal dan berlari secepat mungkin ke kamarnya yang berada di lantai atas sedangkan Habsah keluar rumah guna mengambil peralatan medisnya di mobil. Mereka semua panik sekarang.
Walaupun khawatir, Randa sebisa mungkin menenangkan diri. Mana mungkin dia ikut-ikutan cemas, Yang ada Bundanya malah pingsan di sini. Alhasil yang dilakukannya adalah meredakan tangisan Bunda dan adiknya, Dani.
Ardi serta Lintang juga sama, Kedua pemuda itu kini menghibur sang Mama yang tengah panik sebab wanita itu sangat takut melihat darah. Ridwan juga turut menenangkan istrinya yang shock serta dua anaknya pun turut menangis meski keduanya belum mengerti apa yang tengah terjadi sekarang.
Yudi berusaha menahan rasa khawatirnya lalu berkata, "Jangan takut, Lebih baik kita berdoa semoga Rino baik saja" Hiburnya.
Lintang, "Ma, Lintang mau nyusulin mereka ke kamar oke?" Ucapnya seketika.
Ridwan melarang, "Jangan Lin, Biar Arwin dan Paman Habsah saja yang mengurus Rino, Kalau kamu ikut masuk juga yang ada malah ribut dengan Arwin dan itu berbahaya bagi kehamilan Rino!" Dia memperingati si sulung mengingat kedua adiknya tersebut sama sekali tak pernah akur.
Berdengus, Lintang memilih diam di sebelah Mamanya. Dia sangat-sangat khawatir akan keadaan Rino. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di benaknya. Misalnya apa yang dilakukan remaja berlesung pipi itu sebelum ke sini? Pandangannya begitu fokus ke lantai atas.
Arwin membaringkan Rino pelan-pelan diatas ranjangnya lalu melepaskan sepatunya. Saat itulah tak sengaja ia melihat darah di kaki Rino, Sontak kedua tangannya gemetaran disertai debaran jantung yang kuat. Arwin berdirk tegak, Gerakan membuka sepatu pun ikut berhenti.
Rino, "Huhuhu... Perutku sakit!" Rintih Rino meremas-remas jas pengantinnya pada bagian perut.
Dia tersentak mendengar rintihan Rino, Lalu segera menenangkan, "Sabar, Bentar lagi Paman Habsah bakalan ke sini" Hiburnya. Dalam sesenggukan, Rino mengangguk semampunya.
Rino, "Kak Win, Hiks... Ri-Rino takut" Ujarnya lirih dengan berlinangan air mata. Perutnya terasa seperti diremas-remas dari dalam, Juga Rino bisa merasakan cairan yang terus mengalir dari bagian bawahnya.
Mengulas senyum tipis, Diusap-usapnya kepala serta perut Rino, "Dia bakal baik-baik aja" Walau kedua tangannya gemetaran, Arwin tidak peduli.
Berselang beberapa menit Habsah masuk. Ia meletakkan peralatan medisnya di sisi ranjang yang kosong lalu membukanya. Kini pria yang nyaris berumur 40 tersebut telah siap dengan stetoskop pada lehernya.
Habsah sedikit menggeser posisi Arwin agar lebih memudahkannya dalam memeriksa kondisi Rino. Arwin pasrah saja, Remaja itu malah berniat menuju sofa di pojok kamarnya namun urung saat tangannya di genggam erat. Berbalik, Dia mendapati Rino si pelaku.
Rino, "Hiks.. Kak, Ja-jangan pergi" Cegahnya terbata-bata.
Hela nafas, Arwin mengangguk mengerti. Tanpa sadar balas menggenggam tangan Rino. Hal ini tak luput dari perhatian Habsah, Namun prioritas utamanya saat ini adalah Rino.
Yang dilakukannya pertama yaitu memeriksa detak jantung Rino, Selanjutnya menyingkap jas pengantinnya sampai batas dada lalu menyentuh perutnya lantas sedikit menekannya.
Rino menjerit, "Ah!" Teriaknya kesakitan.
Arwin berdecak, "Paman yang bener dong kalau meriksa!" Omelnya.
Habsah manggut-manggut, Dia menghadiahi keponakannya dengan tatapan datar, "Kamu kira Pamanmu ini baru 1 kali memeriksa orang hamil?" Arwin berdecih sebelum memandang ke arah lain.
Menggeleng kepala, Habsah balik menatap remaja hamil di ranjang, "Kamu ini terlalu stres, Kehamilan seperti kamu ini belum pernah saya temui, Tapi menurut pengalaman selama memeriksa wanita-wanita hamil sebelumnya, Saya bisa menebak bahwa kamu pasti stres akhir-akhir ini"
Meski rasa sakit di perutnya belum reda, Rino tetap mengangguk jujur, "I-iya Dokter"
Lantas Arwin bertanya penasaran, "Apa yang Lo pikirin sampe stres gitu?"
Rino, "Banyak"
Kedua alis Arwin bertaut mendengar jawabannya, "Iya banyak, Tapi apa aja yang banyak itu?" Tuntutnya tidak sabar.
Habsah, "Jangan mendesaknya Win, Kalau dia bertambah pusing dengan ucapanmu bisa-bisa anak kalian akan keguguran"
Deg!
Baik Arwin maupun Rino sama-sama terkejut akan ucapan Habsah. Refleks Rino memperkuat pegangannya pada perut.
Rino, "Hiks! Do-dokter jangan asal bicara! Huhuhu..." Bentaknya terisak tak terduga, Mengagetkan dua pria yang berdiri di sampingnya.
Si Dokter kelabakan sendiri, Dia menampar mulutnya, "Bukan begitu maksud saya, Hanya saja bertanya kepada orang hamil memang tidak boleh mendesak" Ungkapnya kemudian.
Dia linglung bagaimana caranya mengurus pria hamil. Masalahnya adalah emosi dan perasaan Wanita hamil jika mendengar ucapannya barusan biasanya mereka hanya akan takut. Itulah sebabnya Habsah bingung saat Rino tiba-tiba membentaknya.
Habsah berbisik, "Win, Bantu Paman hibur calon suamimu, Paman belum mengerti mengurus remaja hamil yang berjenis lelaki seperti Rino"
Arwin, "Arwin juga gak ngerti, Tadi katanya pengalaman!" Balasnya balik berbisik.
Dua pria itu meringis sambil menggaruk kepalanya. Melihat hal itu, Rino semakin ketakutan. Dia mengira bahwa mereka sedang membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan kandungannya, Alhasil tangisan remaja itu kian keras.
Rino, "Dia tidak akan keguguran!!" Ia berteriak penuh emosi. Perlahan darah yang keluar semakin deras hingga mewarnai sprei putih.
Arwin panik. Tubuhnya menggigil, "Paman! Darah!!"
Habsah, "Tenang Rino, Kami bukan membicarakan tentang keguguran!" Namun bukannya mendengar kata-katanya, Rino justru menangis keras. Dalam kebingungan, Habsah tak punya pilihan selain meraih suntikan penenang lalu menyuntikkannya ke tangan Rino.
Penglihatan Rino berangsur-angsur memburam. Akhirnya Habsah serta Arwin menghela nafas lega begitu melihat Rino menutup sempurna matanya, Tertidur.