Pulang dari rumah Rino, Arwin tidak langsung ke rumahnya melainkan pergi ke rumah Riko, Sepupunya.
Mulyani memekik kaget, "Ya ampun Arwin!!!" Arwin meringis, Rasanya kupingnya akan berdarah, Mengapa emak-emak selalu suka berteriak?
Arwin, "I-iya Tante" Senyum hambar ia sunggingkan kepada tantenya.
BRUK...
Wanita itu menerjang tubuh Arwin dengan pelukan erat. Dulu saat ke sini remaja ini masih berusia 5 tahun, Kini lihatlah wajah tampan serta tinggi ini? Sungguh mirip dengan ayahnya!
Mulyani, "Kenapa baru ini kesininya! Tante takutnya kamu kesini pas udah nikah!" Omelnya gemas.
Nyaris Awrin menjawab, 'Ini juga bentar lagi mau nikah Tante' seperti itu. Dia hampir lupa bahwa Tante juga Omnya belum mengetahui perihal masalah pernikahannya dengan Rino.
Arwin seketika mengeluh, "Tan, Lepasin pelukannya, Arwin gak bisa napas!" Sekuat mungkin dia menahan rasa mualnya akibat mencium bau tubuh tantenya.
Segera setelah itu Mulyani melepaskan diri lalu tersenyum tidak berdosa.
Mulyani, "Makin tinggi aja kamu, Rasanya Tante kayak natap bukit kalau liat kamu" Celetuknya heran, Anak muda jaman sekarang makannya apa sih kok bisa tinggi-tinggi?
Arwin, "Makan nasi lah Tante, masa makan bambu!" Canda Arwin. Ia tak menyangka kini akan melihat Tantenya dari atas, Dulu ia harus mendongak untuk menatap wanita dihadapannya ini.
Mulyani, "Ayo masuk, Kebetulan Om mu lagi di rumah, Dia pasti seneng liat kamu!" Seraya menyeret Arwin ke dalam rumahnya.
Dalam hati Arwin berdecak kagum, Tenaga wanita tidak boleh diremehkan. Tantenya saja yang cuma setinggi sikunya mampu menarik pria 190 cm dengan berat 70 kilogram sepertinya.
Begitu sampai Arwin langsung didudukkan di sofa lalu Mulyani berlari ke dapur tanpa repot-repot menyapa suaminya. Darma berkedip-kedip bingung, Siapa remaja ini? Kenapa wajahnya mirip dengan kakaknya?
Darma, "Maaf Om ingin bertanya, Siapa kamu?"
Arwin terkejut, Apakah pamannya sendiri sudah lupa dengan bocah kecil yang dulu selalu mengekor di belakangnya?
Menunjuk dirinya, Arwin berkata, "Om udah lupa sama ponakan sendiri? Ini Arwin Om! Anaknya Yudi Harun Wiranto!" Ungkapnya.
Darma membelalakkan matanya, Bangkit dari tempat duduknya pria itu meneliti wajah Arwin dengan seksama. Beberapa saat kemudian ia mendekat lalu mendekap Arwin erat-erat. Arwin juga membalasnya, Jujur ia rindu dengan pamannya ini.
Darma, "Haha! Maaf, Om lupa soalnya terakhir kali kamu ke sini kan waktu masih kecil, Setelah itu kamu atau kakak keduamu tidak pernah lagi main-main kemari kecuali Lintang sama Ridwan!"
Arwin, "Maaf Om, Namanya juga anak muda, Nyari pengalaman dulu" Ucapnya diiringi tawa kecil.
Kembali duduk, Mereka melanjutkan perbincangan hangat sampai Mulyani datang dengan dua gelas kopi dan kue bolu gulung buatannya sendiri, Di belakangnya seorang pembantu mengikuti dengan cemilan lainnya.
Mulyani, "Win, Makan dulu kue buatan Tante, Udah berapa tahun Lo kamu tidak kesini" Celetuknya menyodorkan piring berisi bolu ke meja di depan Arwin.
Namun, Bukan itu yang menjadi fokusnya sekarang melainkan setoples buah stroberi kering yang ditaruh di ujung meja tepat dihadapan Tantenya yang baru saja duduk. Ia meneguk ludah, Diliriknya bolu di piring dan toples stroberi kering bergantian.
Darma, "Kenapa cuma diliatin Win, Ayo makan, Itu kan kue kesukaan kamu juga" Ujar Darma pada keponakannya.
Dengan ragu-ragu Arwin berkata, "Ta-tante, Bo-boleh tidak Arwin minta buah kering yang itu?" Seraya menunjuk toples di depan wanita itu.
Mulyani terkesiap, Lalu menunjuk buah kering didepannya, "Ini maksud kamu? Sejak kapan kamu makan buah kering? Kok Tante tidak tau ya?" Ucapnya penasaran. Darma pun tak kalah herannya dengan sang istri. Sebagai paman dan bibinya jelas mereka tahu apa yang disukai atau tidak oleh keponakan-keponakan mereka.
Kini Arwin yang gelagapan. Mana mungkin dia jujur soal mengidam makan buah kering kepada paman dan bibinya? Juga... ia mulai ragu dengan ketidakyakinannya akan kehamilan Rino. Benarkah remaja itu sedang hamil benihnya? Sebab selera makannya berubah drastis beberapa hari setelah dia memperkosa remaja berlesung itu.
Oke, Lupakan itu dulu. Saat ini Arwin benar-benar tidak dapat menahan keinginannya saat melihat toples stroberi kering tersebut.
Arwin, "I-itu... A-Arwin udah berubah kok Om, Tante, Sekarang Arwin jadi suka makan buah kering, Iya! itu!" Jawabnya kikuk.
Mulyani manggut-manggut, "Ooh seperti itu ya... Yaudah kalo gitu ini ambil, Makan sepuasmu" Kemudian memberikan toples kepada Arwin.
Begitu menerimanya, Tanpa basa-basi ia langsung membuka dan memakannya lahap. Diam-diam Mulyani dan Darma saling melirik mata, Sepertinya ada yang tidak beres.
***
Randa celingak-celinguk mencari keberadaan kakaknya dari luar pagar. Remaja itu tidak habis-habisnya merutuki dirinya sendiri, Ia lupa memberitahu Kakaknya bahwa hari ini ada les di sekolahnya.
Sekarang dia bingung dengan siapa kakaknya pulang, Khawatir bila sang kakak malah berjalan kaki ke Rumah.
Randa, "Abang mana sih? Ntar tuh anak hilang lagi, Bisa habis gue kena omel Bunda, Apalagi Abang sekarang kan lagi hamil, Moodnya berubah-ubah kek cewek aja" Monolognya dari atas sepeda.
Menghela nafas gusar, Randa memilih mengayuh sepedanya pulang, Biar saja dia kena marah Bundanya. Lagipula ini murni kesalahannya.
Randa bergumam, "Moga aja si garis katulistiwa itu yang nganterin Abang pulang, Jadi gue gak bakal kena omel sama Bunda, Ntar tinggal alesan aja di sekolah lagi ngadain Les dadakan, Beres!" Dia tertawa senang membayangkan kupingnya akan aman dari raungan induk singa di rumah.
"Siapa yang Lo maksud garis katulistiwa hah?" Randa tersentak suara yang berasal dari belakangnya. Menoleh, Remaja itu lebih terkejut lagi saat pria yang baru saja diejek nama olehnya kini sudah berada di sampingnya, Menatap galak dari kaca helmnya.
Randa mengumpat, "Su! Bisa gak sih Lo gak nongol kek hantu!"
Lintang, "Jawab dulu pertanyaan gue!"
Randa, "Kalo emang Lo kenapa?" Ujarnya sinis.
Aneh saja sebab sebelumnya dia yakin bahwa sekolah kakaknya telah kosong, Jam terakhir yang dilihatnya di sekolah adalah pukul 4 sore. Lantas bagaimana pria ini masih ada di sini dan tidak pulang?
Dalam penasarannya, Randa bertanya, "Kok Lo masih ada di sini? Perasaan sekolah Lo tadi kosong"
Lintang berdecak, "Ck! Kepo Lo!"
Randa, "Dih! Siapa yang kepo!" Sanggahnya.
Lintang, "Nah kalo gak kepo apa namanya?"
Remaja sawo matang itu mengerjap-ngerjap, Benar juga kata Lintang. Tidak! Randa menggeleng, "Serah gue dong, Emang situ siapa?" Nyinyirnya.
Lintang, "Lo pasti nyari Abang Lo kan?" Tebaknya. Randa mengangguk malas. Sudah tau abangnya lagi hamil dan harus dijaga, Mengapa garis katulistiwa ini bertanya hal yang sudah jelas?
Lintang kemudian menjawab, "Dia udah dianter pulang sama calon suaminya" Jawabnya dengan wajah masam. Bukan, Dia tidak menatap Randa melainkan jalanan di depannya.
Oh, Randa mengerti sekarang. Hehehe... Ia menyeringai, "Cemburu ya..." Godanya. Pengakuan cinta Lintang di kediaman Wiranto saat itu ada dia disana, Sudah jelas dia tahu bahwa pemuda itu naksir dengan Abangnya.
Lintang kelabakan, "Si-siapa yang cemburu!" Elaknya.
Yang sebenarnya setelah Rino memilih pulang diantar Arwin, Lintang uring-uringan tidak jelas dan memutuskan bersantai di kursi bawah pohon yang letaknya tidak jauh dari sekolahnya, Sampai akhirnya dia melihat Randa lewat sambil mengejek namanya. Karena kesal, Ia pun mengikuti remaja itu.
Tapi rupanya Randa tidak menyerah begitu saja, "Pake ngeles lagi! Gue bilang nih ya, Gue gak bakal setuju kalo Lo yang jadi bapak ponakan gue, Gak ikhlas gue dunia sampe akhirat!" Tegasnya.
Lintang, "Dih! Siapa juga yang mau jadi kakak ipar situ! Gue nikahin Abang Lo habis itu kita bakalan hidup berdua, Bahagia bareng!" Ungkap Lintang berandai-andai.
Randa, "Enak aja Lo! Langkahin dulu mayat gue baru Lo bisa nikahin Abang gue!"
Lintang berdengus kesal, "Gue heran sama nyokap Lo, Dibuat dari apa sih anak modelan kayak Lo!"
Randa memutar bola matanya jengah, "Hasil goyangan Ayah Bunda!" Lalu melajukan sepedanya meninggalkan Lintang.
Lintang, "Gila!" Umpatnya.