webnovel

Kalau Bisa 2 Kenapa Harus 1

"Luna tolong antar ke meja nomor 17 ya. Ingat, dia itu tamu yang sangat spesial. Jangan membuat kesalahan sedikitpun. Kamu kalau tidak diingatkan pastinya suka ceroboh."

Luna mendesis lirih, ketika temannya memperlakukan dirinya semena-mena. Dia ingin protes, tapi cepat-cepat diurungkan. Luna tidak mau mengambil resiko, karena Dira mempunyai mulut yang sangat berbisa.

"Baiklah," kata Luna pasrah.

"Jangan ketus-ketus ketika melayani pelanggan. Pasang wajah ramah."

Luna mengangguk paham. Jika ketika di malam hari dirinya menjadi binal, maka di siang hari dia harus menjadi wanita kalem.

Ya, Luna memang seperti itu. Di siang hari dia harus bekerja sebagai pelayan disebuah restoran, sedangkan di malam hari, dia bekerja sebagai perayu lelaki.

Luna berjalan dengan hati-hati, jangan sampai kejadian hari lalu terulang kembali. Jika Luna merasa gugup, pasti dia akan melakukan kesalahan. Kaki tersandung, jatuh, menabrak orang lain, menumpahkan makanan pada pelanggan, itu yang harus dia jaga saat ini.

Luna celingukan ke sana-sini, sambil melihat di mana meja yang ada angka 17, wanita itu tersenyum tipis ketika sudah menemukan meja tersebut.

"Silakan dinikmati," ujar Luna sopan sambil menaruh makanan itu di meja.

Tangannya gemetar karena di meja itu tidak hanya ada satu orang saja, melainkan lima orang. Sialnya lagi dari lima orang tersebut lelaki semua.

Luna cepat-cepat melangkah, menjauh dari meja itu. Namun, baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba saja ada yang memanggilnya.

"Nona, tunggu sebentar!"

Luna mengusap tengkuknya secara perlahan, suara itu tampak tak asing di telinganya. Dia pun menoleh ke belakang, menatap pria itu dengan senyum ramahnya.

"Iya? Ada yang bisa dibantu?"

Pria itu tersenyum menyeringai. "Benar dugaanku, ternyata itu kau."

Luna mengerutkan keningnya, bingung dengan ucapan pria itu.

"Ada apa ya?" tanya Luna tak paham.

Pria itu melangkah mendekat, membuat Luna refleks memundurkan langkahnya. Matanya menatap pria itu dengan awas, sialnya kakinya terpeleset, Luna merasa dejavu ketika pria itu menangkap tubuhnya.

Inilah kelemahan Luna, selalu saja bertindak memalukan jika di depan banyak orang.

"Ck! Kau kenapa ceroboh sekali. Jadi wanita sama sekali tidak ada anggun-anggunnya," komentar pria itu, membuat Luna tersadar. Luna pun menepis tangan pria itu dengan cepat.

"Maaf, jika tidak memiliki kepentingan lagi, saya permisi," pamit Luna.

"Tunggu sebentar, kamu lupa dengan kelakuanmu malam tadi, Nona?" tanya pria itu dengan senyum seringainya.

Luna mengerjapkan mata, mengingat-ingat apa yang sudah dia lakukan tadi malam. Seingatnya, dia bertemu dengan seorang pria, pria itu mengajaknya bercinta. Namun, pada akhirnya gagal karena Luna kabur begitu saja sambil membawa uang yang telah mereka sepakati. Lantas, kenapa pria yang ada di hadapannya ini tahu tentang hal itu.

"Woy, Sam! Udah, jangan bikin pelayan itu ketakutan. Lo nggak lihat wajahnya pucat kayak gitu!"

Pria itu tersenyum sinis ketika mendengar teriakan dari salah satu temannya.

"Nggak tau tempat memang tuh anak, kerjaannya selalu tebar pesona," celetuk temannya lagi.

Pria itu kembali menatap Luna, masih dengan tatapan matanya serta senyuman yang begitu menakutkan.

"Klub tadi malam, ingat?" bisik pria itu, membuat tubuh Luna menegang.

Luna sama sekali tidak bisa berkutik. Namun, dia bisa sedikit bernapas lega karena pria itu menjauh darinya.

"Oh, ya. Satu lagi, perlu kamu ingat kalau nama aku itu Samudra," kata pria itu seraya tersenyum licik.

***

Luna berjalan mondar-mandir sambil mengetuk-ngetuk jidatnya berkali-kali. Wajah wanita itu tampak pias ketika mengetahui siapa pria yang tadi dia temui itu.

"Kamu kenapa? Telat datang bulan?" tanya Clara sinis.

Luna menghentikan langkahnya, dia menatap Clara dengan sengit.

"Sembarangan aja kalau bicara," kata wanita itu tak terima.

"Terus kenapa kamu cemas kayak gitu?" timpal Bella.

"Nggak apa-apa, aku cuma lagi bingung aja."

"Bingung kenapa? Kamu ketahuan sama salah satu teman kencanmu kalau ternyata kamu bekerja sebagai pelayan restoran?" tebak Bella.

Luna mengangguk cepat. "Ya, seperti itu," jawab wanita itu ragu.

"Lagian, kenapa sih kamu nggak keluar aja dari restoran itu. Emang hasil yang dari kencan nggak cukup buat kamu?" tanya Clara tak habis pikir.

"Namanya juga Luna, dia itu nggak pernah puas kalau masalah uang, Cla," celetuk Bella.

Luna mendesah berat, celotehan kedua temannya memang agak benar. Tapi, dia mempunyai alasan lain untuk mempertahankan pekerjaan itu.

"Kalau bisa 2 kenapa harus 1," jawab Luna emosi.

"Ya, itulah dirimu, terlalu maruk," cibir Bella.

Luna memutar bola matanya jengah. "Hidup-hidup aku, kenapa yang ribet kalian berdua. Yang paling penting selama ini aku nggak pernah ngerepotin kalian berdua, yang ada malah sebaliknya," sindir wanita itu.

"Oke, pertanyaannya kenapa dari tadi kamu selalu gelisah?"

Luna akhirnya menghampiri Clara dan Bella, wanita itu menatap kedua temannya dengan serius.

"Kalian kenal nggak sama yang namanya Samudra?" tanya Luna dengan mimik wajah serius.

"Tahu," jawab mereka berdua bersamaan.

"Tahu?" ulang Luna.

"Iya, jelas aja aku tahu. Dia itu yang jadi objek sasaran kita tadi malam. Bukankah kamu sudah berhasil menggaetnya tadi malam? Bahkan aku lihat sendiri bagaimana kalian saling bertukar saliva. Lalu masalahnya kenapa?" tanya Bella heran.

Luna merasa jika dia tidak asing dengan nama pria itu, sayangnya dia lupa, apakah di masa lalu mereka pernah saling mengenal atau tidak? Tapi, jika dilihat bagaimana cara pria itu menatapnya, sepertinya pria itu sangat mengenal Luna dengan baik.

"Selain itu, apakah tidak ada lagi?" tanya Luna memastikan.

Bella dan Clara saling pandang, kemudian tertawa mengejek.

"Kamu berharap lebih padanya? Tumben-tumbenan Luna bersikap seperti ini, biasanya kamu tidak pernah bermain soal perasaan loh, atau jangan-jangan permainan ranjangnya sungguh luar biasa, sampai-sampai kamu sulit untuk melupakannya?" tebak Clara dengan senyum meledek.

Luna mendengkus keras. "Kenapa bicaranya ngaco begini sih," kata wanita itu tak terima.

"Gimana nggak curiga, dia itu pria yang sangat tajir, pasti susah sekali untuk melepaskannya. Ditambah lagi permainan ranjangnya yang begitu hebat, pasti--"

"Tunggu-tunggu, kayaknya aku baru nyadar deh, Lun," sela Bella cepat.

Luna langsung menatap Bella dengan serius. "Kenapa?" tanyanya.

"Samudra," gumam Bella. "Coba kamu ingat-ingat deh, Lun. Siapa nama lelaki itu."

"Aku nggak ingat apapun, yang aku ingat itu cuma tadi malam, dan herannya dia itu tahu nama lengkap aku, padahal udah jelas-jelas kalau tadi malam adalah pertemuan pertama antara aku dengan dia. Bukankah ada yang aneh?"

"Yap, aku baru ingat sekarang. Dulu, ada seorang pria yang pernah menyatakan perasaannya ke kamu, tapi kamu tolak secara mentah-mentah. Ingat?"

Luna menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya dia menutupi mulutnya menggunakan kedua tangannya.

"Nama Samudra nggak mungkin cuma ada satu, kan?"

"Mungkin sih iya, tapi ... kalau memang pria itu adalah orang yang sama. Besar kemungkinan kalau dia itu--"

"Nggak, aku yakin seratus persen kalau mereka itu dua orang yang berbeda," sela Luna cepat.

Luna sangat yakin dengan ucapannya, walau dalam hatinya menolak dengan kenyataan itu.

'Semoga saja bukan dia orangnya,' gumam Luna dalam hati.