Zayana sudah selesai dengan kegiatan ibadahnya. Melipat kembali mukenah yang tadi dipakai olehnya dengan sangat rapi dan gempi. Merapikan kerudung yang tengah ia kenakan saat ini, sebelum kemudian akhirnya memutuskan untuk beranjak pergi.
Zayana berjalan keluar dari masjid tersebut, dan mulai mencari sosok wanita dengan kerelaan hati mengizinkannya untuk meminjamkan mukenah tersebut.
"Permisi, Mba," sapa Zayana pada seorang wanita yang tengah duduk di pelataran masjid tersebut, dengan tangan memainkan gawai. "Maaf, ini mukenah punya mba, terima kasih yah," ucap Zayana dengan badan yang mulai memposisikan diri untuk duduk di dekat wanita baik hati tersebut.
Wanita itu menatap wajah Zayana yang sudah mengambil tempat duduk tepat di sampingnya. "Sama-sama. Udah selesai yah, sholatnya?" tanya wanita itu pada Zayana.
Zayana menganggukkan kepala, sembari bibir melengkungan senyum tipis. "Iya, Mba alhamdulillah sudah," ujar Zayana dengan tatapan mata yang merunduk. Segan untuk berbincang dengan seseorang yang tak dikenalnya sama sekali, bahkan jika harus memulai perbincangan.
Wanita itu melihat Zayana yang sedari tadi terus menerus merunduk, dan tatapan mata begitu tertarik dengan amplop berwarna cokelat yang terletak tepat di pangkuan seseorang tersebut. "Apa Mba berniat mau melamar kerja?" tanya wanita itu memberanikan diri.
Zayana menganggukkan kepala sebagai tanda jawaban. "Iya Mba! Tapi Zay rasa terlalu susah melamar kerja di tempat ini, mungkin belum rezekinya juga," kekehan ringan keluar dari bibir Zayana.
Zayana memainkan amplop berwarna cokelat yang terdapat dalam pangkuannya kali ini, menarik napas dalam-dalam agar merasa ikhlas sebab usahanya kali ini seperti nihil dan tidak membuahkan hasil sama sekali.
"Sekali lagi terima kasih, Mba. Pinjaman mukenahnya sangat membantu, Zay," ucap Zayana dengan senyum tipis yang tercetak pada wajah itu. Beranjak bangun dari tempat duduknya, untuk menghampiri sepatu yang harus ia kenakan kembali.
"Sama-sama, Kak!" Wanita itu tersenyum pada Zayana dan kembali fokus memainkan gawainya itu.
Zayana dengan cepat menggunaka sepatu dan kemudian beranjak pergi untuk kembali mencari lowongan pekerjaan lagi. Ia tidak akan pernah tau dengan kata hasil jika belum sama sekali mencobanya, bukan?
Zayana kembali menulusuri jalan di wilayah tersebut, dan dengan harap sangat untuk bisa mendapatkan pekerjaan secepatnya. Rasa ingin membuktikan pada seluruh anggota keluarga itu semakin besar, seiring dengan umpatan yang terus ia terima dengan sepenuh hati.
Melangkahkan kaki dengan terus menerus untuk mencari pekerjaan hingga tanpa sadar hari kian beranjak sore hari, dengan semburat jingga muncul di ufuk barat.
"Zay pulang aja dulu deh, nanti lanjut besok aja dicari lewat sosial media," gumam Zayana dengan sedikit guratan kecewa pada wajah, tapi berusaha ikhlas dan menerima semuanya itu adalah hal utama yang harus ia lakukan.
Ketika badai ujian menerpa hidup kita tanpa henti, bersabar meski rasanya tertekan akan lebih elok untuk dilakukan. Zayana berusaha untuk menerima dengan lapang dada semua kejadian yang menimpanya di eisode kali ini.
Zayana mulai mencari kendaraan yang akan membawanyaa untuk kembali pulang menuju rumah kediamannya, menebalkan telinga juga fisik untuk kemballi mendapatkan perlakuan yang tak mudah untuk diterima oleh naruni harus kembali dipersiapkan.
-
Zayanaa kini sudah sampai di pelataran rumah kediamannya. Dari jauh terlihat sekali sebuah bentuk keluarga yang sangat bahagia juga harmonis.
Amanda dengan gaya yang masih kanak-kanak tengah bermanja pada orangtuanya itu, dan mereka sangat senang mendengar celotehan dari sang anak bungsu.
Zayana menghentikan langkahnya dan kini memperhatikan dari jauh, bagaimana kehangatan dari keluarganya tersebut.
"Sangat bahagia, dan Zay ... cukup senang untuk sekedar melihat dari jarak jauh," gumam Zayana sembari mengulas senyum tipis. Kembali melangkahkan kaki untuk masuk lebih dalam pada rumah.
Zayana melangkah dengan santai, tangan kanan yang masih membawa berkas lamaran dan bahu yang terselempang tas kecil di sana. "Assalamualaikum," sapa Zayana dengan senyum yang mulai tampil pada wajah.
Amanda menghentikan kegiatan celotehannya, dan semua orang kembali beku saat melihat hadirnya Zayana. Tampilan mata tajam kini terlihat dengan jelas di mata Damar.
"Habis kemana kamu?" tanya Damar pada Zayana dengan tatapan tajam yang ia miliki.
Zayana menunduk takut, bahkan jika harus bersitatap dengan orangtuanya. "Habis ... melamar kerja, Ayah," lirih Zayana. Melihat dari ujung ekor mata, ia dapat melihat jika Damar saat ini tengah melontarkan pandangan tajam.
Zayana masih terus menerus menunduk, hingga akhirnya sebuah suara dari sang adik membuatnya berani untuk mendongak.
"Gimana udah dapet kerjaan belum?" tanya Amanda dengan tangan yang terlipat dii depan dada.
Zayana mendongak untuk menatap wajah dari sang adik, mengulas senyum sebelum akhirnya menjawab pertanyaan dari Amanda. "Belum, Dek! Kamu doain Kak Zay yah, biar bisa secepatnya dapet kerjaan," ucap Zayana dengan nada bicara yang sangat lembut.
Amanda berdecak cukup keras. "Halah! Gue 'kan dulu udah pernah ngomong sama lo tuh Kak, jangan berharap lebih untuk bisa dapet kerja!" bentak Amanda dengan tangan yang masih terlipat depan dada. Menampilkan senyum smirk. "Lo gak nyadar diri apa gimana sihi? Gak akan ada tempat yang mau nerima lo, percaya sama gue," sarkas Amanda tanpa perasaan sama sekali.
Zayana mengerutkan kening agar bisa memahami ucapan dari Amanda yang terdengar sangat tajam. dan tak berperasaan sama sekali dengan mengingatkan akan sebuah keadaan. "Maksud kamu ... gak percaya sama Kak Zay juga kuasa Tuhan, begitu?" tanya Zayana dengan mata memicin.
Nirmala yang sedari tadi duduk di samping Damar kini beranjak berdiri. "Udah Ibu bilang, tapi kamu itu anak yang susah sekali mendengar. Gimana puas belum cari kerja, tapi hasilnya nihil bukan?" tanya Nirmala menantang jawaban Zayana untuk berucap kalimat iya.
Zayana berusaha untuk baik-baik saja, meski kondisi hati kini kembali terluka. Bisakah kalimat keraguan itu tak usah untuk dilontarkan lagi, karena bukan membuatnya semangat dan percaya akan takdir, malah membuat dirinya jatuh kelimpungan untuk mendapatkan keyakinan dalam diri.
Zayana memilin kuat lengan bajunya, untuk menetralkan emosi di dalam hati. "Kenapa kalian bertanya sekaligus diberi bumbu kalimat menjatuhkan?" Tidak habis pikir dengan keluarganya itu, jika ia gagal kali ini bisa jadi usahanya kurang atau ada kesalahan yang perlu diperbaiki. Harusnya ikut melangitkan doa, bukan malah menghina.
Amanda tertawa keras, seolah ada hal lucu yang menggelitik hati. "Ka Zay, pliss! Gue rasa lo itu adalah kenyataan dan fakta, lalu kenapa lo malah bilang bumbu menjatuhkan? Haha, kocak lo!" sarkas Amanda tanpa perasaan sama sekali berucap kalimat tersebut.
Zayana menggelengkan kepala atas pernyataan dari Amanda barusan. "Fakta yah, Dek?" tanya Zayana dengan suara lirih, kembali menekan suatu perasaan tak nyaman di dalam sana.