Adam memelankan langkahnya sesaat kedua sorot matanya mendapati tubuh seorang gadis yang masih berjalan dengan langkah pelan menyusuri setiap sisi jalan yang sedikit padat oleh pedagang kaki lima dan beberapa siswa siswi sebaya dengannya meningat ini adalah jam sore pulang sekolah.
Adam melirik sisi tangan gadis itu yang erat menenteng kantong kresek putih dengan beberapa makanan ringan di dalamnya. Adam tersenyum, sekarang ia paham. Hobi seorang Davira Faranisa adalah jajan dan menghabiskan uang sakunya di minimarket. Entah apakah ia akan segera melahap habis semua makanan ringan dan beberapa botol soda serta kotak susu yang ditangkap jelas oleh kedua lensa tajamnya itu, namun yang jelas inilah kedua kalinya Adam memergokki Davira berlaku seperti anak kecil yang suka 'jajan sembarang'.
Ia kini mempercepat langkahnya. Mendekat pada gadis yang masih fokus pada jalanan dan tempat tujuan yang kini terpotret jelas di depan matanya. Halte bus, tempat itulah yang akan menjadi tempat singgah untuk Davira sebelum akhirnya bus datang menjemputnya untuk segera pulang ke rumah.
Gadis itu tersenyum sembari sesekali mengembuskan napasnya lega. Sisa sinar sang surya yang belum benar habis menyinari bumi itu kini tak lagi bisa menerpa tubuh semampainya. Ia sudah berada di dalam bangunan halte dan mengambil kursi di paling pojok. Seakan memberikan ruang pada siapapun agar bisa duduk 'bersamanya' dalam menjemput kepulangan setelah lelah seharian beraktifitas.
Gadis itu merogoh sekaleng soda yang ada di dalam kantong kresek kemudian membuka tutupnya. Niat hati ingin meminumnya, namun siapa sangka jikalau aktivitasnya terhenti hanya sebab kedatangan seorang remaja sebaya yang kini duduk sedikit jauh dari posisi gadis itu berada. Davira menyunggingkan senyumnya, remaja ini benar-benar kokoh dalam tekad bulatnya rupanya.
"Kamu mau makan sebanyak itu?" tanya sembari mencoba membenarkan posisi duduknya. Kemudian menyeka keringat yang turun bercucuran di kedua sisi pelipisnya dengan kasar. Adam menghela napasnya. Mengibas-ibaskan kerah kaos basketnya sesaat setelah hawa gerah benar-benar menguasi dirinya saat ini.
Gadis itu memberi tatapan teduh. Diam sejenak seperti seakan-akan sedang mencoba menimang-nimang keputusan yang ingin ia ambil setelah ini. --dan keputusan itu adalah ... haruskah ia berbagi minuman dengannya? Davira menggeleng. Tidak! Ia tak harus sebaik itu.
"Mau aku anter pulang aja?" tanyannya lagi kala Davira hanya diam tak menanggapi. Gadis itu kembali melirik remaja yang kini jelas memberi tatapan untuknya.
"Udah aku bilang berapa kali kalau aku gak mau?" Gadis itu akhirnya menyela sesaat satu tegukan lolos masuk ke dalam mulut dan membasahi tenggorokannya.
Adam tertawa kecil. "Alasanmu terlalu terburu-buru," katanya mempersingkat.
"Apanya yang terlalu terburu-buru?" protes gadis itu kemudian memutar tubuhnya serong.
"Mengatakan bahwa semua laki-laki itu brengsek," imbuh remaja itu menerangkan. Davira menarik salah satu sisi bibir merah mudanya. Mengembangkan senyum seringai khas milik seorang Davira Faranisa.
"Aku hanya datang sebab ingin menunjukkan bahwa tak semua laki-laki itu sama."
Gadis itu kini bungkam. Menggeleng samar kemudian terkekeh kecil untuk merespon kalimat Adam barusan. "Mustahil," jawabnya tegas. Jujur saja, Davira sedikit muak dengan remaja yang selalu mencuri waktu untuk bisa mengekorinya ini. Davira terganggu dengan cara Adam untuk mendekatinya. Namun, sekarang gadis itu paham akan satu hal. Bahwa Adam, tak akan menyerah hanya sebab satu dua bahkan ribuan penolakan dengan kalimat menyakitkan bernada ketus yang dilontarkan Davira untuknya. Remaja ini ... sangat gigih.
"Bagaimana caranya?" tanya gadis itu berbasa-basi.
Adam mengembangkan senyum miliknya. "Bersamamu."
"Kita harus membuktikannya bersama," lanjutnya merengkan.
Davira bungkam. Tertawa lepas sesaat setelah Adam menyelesaikan kalimatnya. Lucu? Tidak. Namun, kalimat itu tak ubahnya bagai bualan seorang pria berhidung belang pada wanita yang ingin tidurinya malam ini. Kalimat itu ... kalimat itu, menggoyahkan Davira Faranisa!
Gadis itu kembali memutar tubuhnya untuk menatap jauh ke depan. Memindah sorot mata yang awalnya menatap Adam kini pergi ke arah lain dengan tatapan kosong tanpa makna. Gadis itu melirik jalanan di sisinya. Bus besar yang akan membawa tubuhnga pulang ke rumah sudah nampak dari kejuahan. Ia merogoh kantong kresek putih yang diletakkan di samping gadis itu. Mengelurkan sebotol kaleng soda dan mendorongnya menggunakan ujung jari jemarinya untuk mendekat ke tempat duduk Adam Liandra Kin.
Remaja itu menoleh sedikit menunduk kemudian tegas memberi sorot matanya pada wajah cantik milik Davira Faranisa. Baiklah, gadis ini memberinha minum?
"Ambilah, soda lebih menyegarkan ketimbang air putih." Lirih suara gadis itu berucap mengiringi kedatang sekaleng soda yang kini sudah apik berdiri di sisi tempat duduk Adam.
"Kamu—"
"Jangan salah paham. Aku cuma gak suka ras sodanya. Aku beli karena ada diskon tadi. Sayang kalau dibuang," jelas memotong kalimat Adam.
Remaja itu tersenyum manis. Meskipun nadanya ketus dan dingin bahkan Davira pun tak menatap dirinya saat ini, namun ... sekaleng soda ini seakan memberinya sebuah tanda berupa lampu hijau yang mengisyaratkan padanya bahwa, Davira mulai luluh hanya sebab kalimat singkat darinya tadi.
"Makasih, aku bakalan—"
"Busnya dateng. Kamu boleh pergi." Davira melirih. Bangkit dari tempat duduknya kemudian masuk ke dalam bus. Meninggalkan Adam yang ikut bangkit namun tak bisa ikut masuk ke dalam bus itu. Remaja itu masih memberi tatapan teduh dengan senyum khas miliknya. Menatap kepergian Davira dengan rasa yang sedikit berbeda kali ini.
Katakan saja hanya sebab sekaleng soda, harapan yang hampir runtuh milik Adam Liandra Kin terhadap gadis incarannya, Davira Faranisa mulai kokoh kembali. Ingat, hanya karena sekaleng soda cinta kian berkembang dan tumbuh membesar.
***LnP***
Davira melangkah masuk ke dalam bus. Melirik sejenak Adam yang kini berdiri sembari menatap masuk ke dalam bus seakan sedang menghantar kepergiaan Davira dengan tatapan sayu miliknya itu. Gadis itu mengabaikan. Memilih duduk di sisi seberang agar Adam tak bisa melihat tubuh semampainya lagi.
Bus itu berjalan. Dengan kecepatan sedang menerobos padatnya jalanan Kota Jakarta. Davira yang sedari tadi hanya duduk sembari bersandar pada kursi bus, kini mulai merogohkan tangannya masuk ke dalam tas gendong miliknya. Mengambil earphone dan menyubatkannya pada kedua lubang telinganya. Kedua tangannya kini erat mengenggam satu buku novel yang sudah dilahapnya setengah. Menyisakan inti konflik dan sebuah akhir cerita yang masih menjadi tanda besar dalam kepala gadis berambut panjang sedikit ikal itu. Sebenarnya sih, Davira bisa saja langsung membuka bagian akhir halaman novelnya kemudian membaca kalimat demi kalimat yang ada untuk mengetahui akhir macam apa yang dituliskan penulis untuk cerita melankolis karangannya itu, namun apa gunanya ia merogoh uang hanya untuk membeli novel yang bahkan isinya saja ia tak tahu?
Kini sorot mata gadis itu mulai fokus pada tatanan kalimat indah yang ada dalam novelnya. Seakan terhanyut dan ikut terbawa masuk, Davira sesekali tersenyum dan merubah ekspresi wajah cantiknya. Mengabaikan orang-orang di sekitarnya yang juga sesekali meliriknya dengan tatapan aneh.
Bus itu semakin mempercepat lajunya di jalanan yang sedikit sepi tak ada lampu merah juga pengendara lain yang berhenti seenak jidatnya sendiri. Perempatan dan pertigaan dilalui bus lancar tanpa hambatan, hingga beberapa menit kemudian bus yang ditumpangi Davira berhenti di salah satu halte. Membukakan pintunya secara otomatis untuk mengijinkan orang-orang yang sudah lama menunggu itu masuk ke dalam.
Davira bergeser di sisi jendela. Entah siapa yang akan duduk di sisinya nanti, gadis itu tak peduli. Aturannya adalah jika ada kursi kosong, maka berbagilah!
Seorang anak laki-laki memilih satu bangku kosong di sisi Davira Faranisa. Duduk rapi dengan kedua tangan ia letakkan di atas kedua pahanya. Anak laki-laki itu melirik gadis yang masih tak acuh dengan keberadaannya. Masih memusatkan segala sorot matanya pada rentetan kalimat yang ada dalam buku novel di genggaman tangannya.
Ia menyenggol sisi bahu Davira. Mencoba menarik perhatian gadis yang kini memutar matanya malas kemudian kasar melepas earphonenya. Davira tak suka, jikalau ada orang asing yang dengan segaja menyentuh atau bahkan hanya menyenggolnya dengan sengaja seperti itu. Gadis itu menoleh. Kini, tatapan matanya berubah. Menatap wajah yang baru saja mengembangkan senyum manis tak ada lesung pipi dengan kedua mata yang menyipit bulan sabit. Wajah itu ... identik dengan Adam Liandra Kin.
"R--af—" Davira menghentikan kalimatnya. Menimang-nimang pikirannya untuk mengingat nama anak laki-laki yang masih tersenyum untuknya itu.
"Raffa!" sahut anak laki-laki itu terkekeh kecil. Ia tak tahu, kalau gadis cantik seusia dengan kakaknya ini adalah gadis pikun bermemori jangka pendek.
"Ah, maaf." Davira tersenyum. Menutup novel yang ada dalam genggamannya kemudian melepas earphone dan menggulungnya rapi. Tubuhnya sedikit serong. Kembali tatapannya meneliti setiap bagian tubuh anak laki-laki yang duduk rapi di sisinya ini. Seragam masih melekat di tubuh jangkungnya. Tas hitam ia gendong di belakang punggung lebar miliknya. Wajahnya sedikit lesu dan terlihat begitu lelah meskipun senyum manis ia paksakan untuk ada menghiasi paras tampannya. Ah, Raffa baru pulang sekolah.
"Kakak naik bus juga akhirnya," katanya lirih sembari membuang tatapannya ke depan.
Davira mengenyitkan dahinya samar. Kalimat itu terdengar seakan anak laki-laki ini selalu menunggunya dengan setia di setiap kedatangan bus yang melalui halte tempatnya singah setelah lelah dalam menjemput ilmu.
"Aku selalu nunggu kakak," ucapnya kemudian. Davira tersenyum tipis. Entah senyuman itu ia tujukan untuk apa, mendengar kalimat anak laki-laki puber di sisinya saja sudah membuatnya tak mengerti maksud dan tujuannya duduk di sisi Davira melihat banyak kursi kosong yang lebih longgar dan leluasa untuk didudukinya ketimbang harus berdesak-desakan dengan tubuh semampai milik Davira Faranisa.
"Kenapa kamu menungguku?"
"Karena aku ingin bertemu dengan kakak lagi." Ia menyahut dengan nada tegas. Tak ada keraguan atau celah yang menjadi jeda kalimatnya itu.
"Kenapa kamu ingin bertemu denganku lagi? Banyak gadis—"
"Karena aku belum menanyakan nama kakak." Lagi-lagi ia memotong kalimat Davira. Membuat gadis itu semakin tak mengerti sirkuit pemikiran anak laki-laki yang satu tahun lebih muda darinya ini.
"Davira Faranisa," sambung Davira tanpa merubah tatapan juga ekspresi wajahnya.
Sekarang muncul satu fakta yang bisa membuatnya menarik satu kesimpulan besar untuk pertemuan keduanya dengan adik semata wayang Adam Liandra Kini, bahwa saudara kembar tak sama usia namun sama wajah dan perawakan fisiknya ini ...memiliki satu sifat yang sama. Yaitu, sama-sama membuat Davira bimbang dan bingung dengan kalimat-kalimat yang terlontar keluar dari celah bibirnya.
Katakan saja seperti, remaja laki-laki yang pandai berbicara untuk merayu seorang gadis yang menjadi incarannya. Apakah Raffa juga sama brengseknya dengan Adam?—Itulah satu pertanyaan besar yang kini muncul dalam pemikiran gadis berparas ayu itu sekarang ini.
...To be Continued...